Memilih yang Terbaik diantara Yang Buruk

By den_bagus on 16.55

komentar (0)

Filed Under:

“Memang tidak ada yang ideal, semuanya buruk, tapi paling tidak kita memilih presiden yang terbaik diantara yang buruk”, ujar sang pengamat politik nasional yang sedang naik daun dalam sebuah forum diskusi. Argumentasi seperti ini juga cukup popular dikalangan gerakan Islam. Dalam bahasa kaedah ushul dikenal dengan ahwanusy-syarrain atau akhofudh-dhororoin : mencari syar’(keburukan) yang lebih ringan atau yang dhoror(bahaya)nya lebih ringan.

Kita tentu setuju bahwa dalam Islam terhadap kewajiban untuk mengangkat Imam (kepala Negara). Jangankah kepala Negara , tiga orang yang melaku perjalanan (safar) harus ada seorang yang diangkat menjadi amir (pemimpin), apalagi ini urusan masyarakat yang lebih banyak dan lebih kompleks.
Namun, kewajiban mengangkat kepala Negara, bukanlah sekedar adanya pemimpin. Tapi juga berhubungan dengan sistem apa yang akan diterapkan oleh sang kepala Negara. Imam (Kepala Negara) diangkat untuk mengurus urusan kaum muslim baik urusan dunia maupun agama. Dan kaum muslim diurus bukan dengan sembarang hukum, tapi wajib dengan hukum Allah SWT. Karena itu kewajiban mengangkat pemimpin tidak bisa dipisahkan dengan sistem yang dijalankan sang pemimpin. Umat Islam wajib memilih pemimpin tentunya pemimpin yang akan menjalankan syariah Islam , bukan yang hukum lain.

Dalam kitab Nizhamul Hukm fi Al Islam, dijelaskan tentang tugas kepala negara (Kholifah): “Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.”

Hal senada disebutkan oleh Imam Al Ramli Muhammad bin Ahmad bin Hamzah “Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.”[, Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i, Juz 7, hal 289]


Sementara saat ini, siapapun kepala negaranya dalam sistem demokrasi yang dianut sekarang oleh Indonesia, jelas bukan untuk menjalankan syariat Islam, tapi hukum (konstitusi) sekuler yang dibuat oleh manusia atas prinsip suara terbanyak di parlemen.

Dalam kondisi sekarang yang wajib kita lakukan adalah mempersiapkan sistem negara yang berdasarkan syariah Islam, yang dikenal dengan sistem Khilafah. Dalam sistem Khilafah yang berlaku adalah syariah Islam. Jadi siapapun pemimpin yang terpilih nanti wajib menjalankan syariah Islam yang menjadi hukum resmi negara.

Rosulullah saw sendiri mencontohkan saat fase Mekkah , ketika sistem Islam memang belum siap karena kekuasaan dan keamanan belum sepenuhnya ditangan umat Islam , Rosulullah saw tidak terlibat sama sekali dalam sistem hukum dan kepemimpinan jahiliyah saat itu. Bahkan saat dibujuk dengan kekuasan (tahta) untuk menjadi pemimpin oleh kafir Quraisy, Rosulullah saw menolak.

Sebab beliau tahu kekuasaan yang diberikan itu bukan untuk menjalankan sistem Islam secara penuh, tetapi sekedar kompromi politik. Rosulullah saw tahu persis konsekuensi menerima bujukan itu berarti mencampurkan antar hak dan batil, sesuatu yang sangat bertentangan dengan prinsip Islam.

Sikap Rosulullah SAW sekaligus mencerminkan penolakan terhadap sikap pragmatisme yang hanya memikirkan bagaimana kekuasaan dapat diraih. Padahal kalau menggunakan logika pragmatisme sekarang, apa salahnya Rosulullah mengambil kekuasaan saat itu, bukankah ada gunanya walaupun sedikit ? Bukankah dengan kekuasan itu, kaum muslim sedikit terlepas dari siksaan ? Bukankah dakwahnya akan lebih lapang ?

Sekali lagi Rosulullah SAW tetap berpegang pada prinsip perjuangan yang tidak mengenal kompromi dan tidak mau terlibat dalam sistem kufur yang ada . Meskipun Rosulullah saw dan sahabat-sahabatnya kemudian harus menghadapi ujian yang berat, berupa hinaan, cercaan, siksaan, hingga pembunuhan.

Penggunaan kaedah ahwanusysyarain maupun akhofudhdhororoin tidak bisa dijadikan alasan membenarkan bergabung dengan sistem kufur. Apa yang disebut syar atau dhoror haruslah berdasarkan syariah Islam bukan semata-mata hawa nafsu kita. Yang disebut dhoror dalam Islam misalnya kalau memang mengancam nyawa. Itupun kalau kondisinya harus memilih dan tidak ada pilihan lain (deadlock).

Menurut pengarang kitab, Nazhm al-Qawâ’id al-Fiqhiyah,di antara dalil kaidah ini adalah QS al-Baqarah:173. Pada ayat ini disinggung dua bahaya. Pertama: bahaya yang mengancam jiwa. Kedua: adalah bahaya memakan bangkai. Kemudian Allah memberikan petunjuk untuk menghindari bahaya yang lebih besar, yaitu bahaya yang mengancam jiwa dengan cara menempuh bahaya yang lebih ringan: memakan bangkai. Itupun tentunya kalau tidak ada pilihan lain.

Sementara kalau sekarang kita tidak memilih apakah itu akan mengancam nyawa ? Apakah sekarang kita sudah tidak ada pilihan lain (deadlock). Tentu saja tidak. Kita tidak dalam kondisi terpaksa (sehingga terancam nyawa ) sehingga harus memilih para calon yang semuanya buruk(berdasarkan syariah Islam). Ini bukan pula kondisi deadlock. Ada hal yang sekarang bisa kita lakukan sesegera dan secepat mungkin , yakni berjuang mewujudkan Khilafah Islam. Semakin cepat kita berjuang dan mewujudkan , tentu saja makin baik..

Apakah kalau kita tidak memilih berarti apatis dan tidak berarti? Tentu saja tidak. Kalaupun kita tidak memilih, bukan berarti diam. Kita justru terus memperjuangkan syariah Islam dengan sungguh-sungguh dan secepat mungkin . Yang salah , kalau sudah tidak memilih kemudian kita bersikap diam tidak melakukan apa-apa.

Pilihan untuk tidak memilih bukan pula tidak berarti. Dihadapan Allah SWT kalau kita tidak memilih karena menghindarkan diri dari keharaman , jelas akan mendapat pahala yang besar. Disamping itu, tidak memilih adalah salah satu bentuk perlawanan terhadap sistem kufur yang ada dan upaya menghilangkan legitimasinya. Sebab kalau seluruh umat Islam tidak memilih , karena pemimpin yang ada tidak menerapkan syariah Islam, tentu saja demokrasi akan kehilangan legitimasinya. Hal ini justru akan mempercepat keruntuhan sistem sekuler yang rusak.

Sebaliknya, dengan partisipasi umat Islam dalam pemilihan ini meskipun sudah tahu pemimpinnya tidak akan menerapkan syariah Islam, justru akan memperkokoh dan memperpanjang umur dari sistem sekuler yang sebenarnya sudah bangkrut.

Seharusnya kita berjuang sekuat tenaga secara maksimal. Yang terjadi sekarang, malah bersikap minimalis . Memilih untuk mendapat sedikit keuntungan , namun sebaliknya telah mengorbankan hal yang prinsip dalam perjuangan yakni sikap istiqomah dan berpegang teguh pada dinul haq (Islam) . Belum lagi , bagaimana bentuk pertanggungjawaban kita dihadapan Allah SWT kelak. Apa jawaban kita kalau Allah SWT bertanya kepada kita nanti : kenapa anda memiliki pemimpin yang tidak menjalankan sistem Islam padahal anda bisa menolaknya ? (Farid Wadjdi)

Selengkapnya...

Haram Memilih Pemimpin Sekular

By den_bagus on 21.26

komentar (1)

Filed Under:

Pemilu Legislatif (Pileg) telah usai digelar. Partai-partai politik kini sibuk mempersiapkan diri menghadapi Pemilu Presiden (Pilpres) yang akan digelar beberapa bulan lagi. Berbagai macam manuver dan lobi politik untuk mendapatkan jatah kekuasaan semakin intens dilakukan. Koalisi antarpartai pun menjadi pilihan wajib, mengingat tidak ada satu pun partai yang mampu meraih suara di atas 50%. Tidak ketinggalan pula partai-partai Islam. Koalisi dengan partai yang berbeda platform dan ideologi menjadi pilihan yang tidak mungkin dihindari jika partai Islam memilih untuk turut berpartisipasi pada pemerintahan baru mendatang. Sebaliknya, jika memilih sebagai partai oposan, partai Islam akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan jatah kekuasaan. Akibatnya, misi yang mereka dengang-dengungkan selama ini, yaitu “mencegah dikuasainya pemerintahan oleh partai sekular dan mewarnai pemerintahan dengan warna Islam” jauh panggang dari api. Untuk itu, tidak ada jalan lain bagi mereka, selain merapat pada partai sekular yang mendapat suara signifikan.
Hanya saja, dengan perolehan suara yang boleh dikatakan mengecewakan, “partai-partai Islam” tidak memiliki posisi tawar yang kuat di hadapan partai-partai nasionalis-sekular. Mereka tidak bisa lagi menentukan arah dan bentuk koalisi, namun harus tunduk di bawah kemauan partai sekular. Keadaan semacam ini tentu telah menjerumuskan mereka ke dalam koalisi pragmatis yang kosong dari ideologi. Akidah dan syariah yang harusnya dijadikan landasan dan tolok ukur perbuatan telah mereka tinggalkan demi kepentingan-kepentingan politik sesaat. Sedihnya lagi, mereka tak segan-segan menakwilkan nash-nash syariah untuk membenarkan tindakan mereka yang jelas-jelas haram.

Realitas di atas setidaknya mendorong umat Islam bertanya, haruskah partai-partai Islam melibatkan diri di dalam Pilpres? Bagaimana pandangan syariah Islam mengenai Pilpres dan koalisi partai Islam dengan partai sekular? Tulisan ini akan mengurai persoalan ini secara lebih rinci dan mendalam.


Alasan dan Kritik

Ada sejumlah alasan penting yang mendorong partai-partai Islam berkoalisi dengan partai sekular. Pertama: alasan yang bersifat pemikiran. Sebagian partai Islam menyakini bahwa koalisi dengan partai sekular dan musyârakah (berkoalisi) dalam pemerintah kufur bukanlah tindakan yang melanggar syariah. Mereka berdalih dengan Perjanjian Hudaibiyah, kaidah ahwanusy-syarrayn dan mashâlihul-mursalah serta argumentasi-argumentasi lain yang sejatinya tidak berhubungan sama sekali dengan persoalan koalisi dan musyârakah.

Perjanjian Hudaibiyah, misalnya, konteksnya adalah perjanjian antarnegara dan sama sekali tidak berkaitan dengan kerjasama partai Islam dengan partai sekular maupun pemerintahan kufur. Kaidah ahwanusy-syarrayn (memilih bahaya yang lebih kecil) juga mereka gunakan tidak pada konteks sebenarnya. Pasalnya, masih ada jalan halal untuk melakukan perubahan di negeri ini. Pemilu, parlemen dan musyârakah dalam pemerintahan kufur bukanlah satu-satunya pilihan bagi partai-partai Islam, lalu dengan semena-mena mereka bisa menggunakan kaidah ahwanusy-syarrayn atau akhdz akhaff adh-dharrayn untuk membenarkan koalisi dengan partai sekular dan musyârakah dengan pemerintahan kufur.

Kedua: alasan yang bersifat politis-pragmatis. Koalisi antarpartai juga dilatar-belakangi oleh kepentingan-kepentingan yang bersifat pragmatis. Biasanya, koalisi ditujukan untuk bekerjasama dalam hal meraih kekuasaan, membentuk pemerintahan baru yang solid, kuat dan legitimated; serta alasan-alasan politis lain yang bersifat pragmatis. Jika koalisi sudah dijalin, partai-partai peserta koalisi berkomitmen untuk terikat dengan butir-butir kesepakatan koalisi, dan berusaha merealisasikan kerjasama tersebut dalam bentuk yang lebih nyata. Adakalanya koalisi antarpartai bersifat permanen dan menyeluruh. Artinya, partai-partai tersebut bekerjasama tidak hanya dalam pemerintahan saja, namun juga di parlemen, dan cakupan koalisinya hampir di segala bidang kehidupan, hingga berakhirnya masa pemerintahan.

Dalam pandangan syariah Islam, kerjasama dan partisipasi harus selalu didasarkan pada akidah dan syariah Islam serta dilakukan untuk tujuan-tujuan yang sejalan dengan akidah dan syariah Islam. Pasalnya, al-Quran telah menggariskan bahwa kerjasama dan partisipasi harus dalam kebaikan dan takwa. Tidak ada kerjasama dan partisipasi dalam perkara-perkara yang bertentangan dengan akidah dan syariah. Oleh karena itu, kerjasama partai Islam dengan partai sekular untuk menegakkan pemerintahan kufur, mengangkat kepala negara yang akan menerapkan hukum-hukum kufur dan berpartisipasi dalam pemerintahan sekular jelas-jelas merupakan partisipasi yang dilarang Islam.

Ada alasan, bahwa koalisi dengan partai sekular merupakan strategi untuk mewarnai pemerintahan mendatang dengan warna Islam. Sesungguhnya alasan seperti ini hanyalah alasan bohong yang tidak sejalan dengan fakta sesungguhnya. Pasalnya, dengan suara yang boleh dikatakan kecil, posisi tawar partai Islam di hadapan partai-partai sekular sangatlah rendah. Jika mereka tetap ingin mendapatkan jatah kekuasaan, partai-partai Islam tersebut harus tunduk dan patuh dengan arahan dan bentuk koalisi yang ditentukan oleh partai-partai besar. Apalagi sejak awal partai-partai Islam dengan tegas telah menyatakan bahwa koalisi dengan partai sekular tidak lagi mempersoalkan platform dan ideologi partai. Artinya, koalisi yang mereka bangun tidak lagi didasarkan pada ideologi Islam (akidah Islam), tetapi kepentingan pragmatis. Padahal bukankah perbuatan yang tidak didasarkan pada akidah dan syariah Islam pasti ditolak oleh Allah Swt.? Apakah partai-partai Islam itu telah melupakan urusan-urusan akhiratnya, sehingga dalam beramal tidak lagi didasarkan pada akidah Islam, tetapi kepentingan pragmatis? Lantas bagaimana mereka bisa menyatakan, bahwa koalisi dengan partai sekular merupakan strategi ampuh untuk mewarnai pemerintahan dengan Islam, sedangkan sejak dini mereka telah mencampakkan ideologi dan syariah Islam demi mendapatkan jatah kekuasaan? Sesungguhnya partai Islam bukanlah pihak yang mewarnai. Mereka adalah pihak yang terwarnai.

Ada pula alasan, koalisi ditujukan untuk mengawal presiden yang terpilih nanti agar selalu sejalan dengan syariah Islam. Sesungguhnya alasan ini juga klise dan menyesatkan. Kenyataan menunjukkan bahwa presiden dan wakil presiden yang didukung oleh partai Islam lebih loyal pada konstitusi dan perundang-undangan kufur daripada pada Islam. Keberpihakan mereka pada kepentingan Islam dan kaum Muslim boleh dikatakan “hampir tidak ada”. Padahal partai-partai Islam ada di sekeliling para penguasa tersebut. Mandegnya UU Pornografi, kasus Ahmadiyyah dan lahirnya undang-undang pro kepentingan korporasi asing merupakan contoh nyata tidak adanya keberpihakan mereka terhadap urusan Islam dan kaum Muslim. Lalu di mana peran partai Islam dalam mempengaruhi kepala negara dan parlemen di negeri ini agar selalu sejalan dengan syariah Islam?

Partai-partai Islam barangkali lupa, bahwa persoalan yang mereka hadapi bukan sekadar moralitas penyelenggara negara yang rusak, tetapi juga rusaknya ideologi dan sistem sekular. Penerapan ideologi dan aturan sekular telah memaksa partai Islam untuk menghilangkan semua identitas dan simbol yang berbau agama. Dalam keadaan semacam ini, partai Islam tidak mungkin lagi melakukan perubahan dengan ideologi dan warna Islam. Pasalnya, sejak awal partai Islam dicegah membawa simbol dan identitas agama dalam urusan pemerintahan dan parlemen. Ironisnya, partai-partai Islam justru rela mencampakkan ideologi dan warna Islam demi bisa berpartisipasi dalam pemerintahan dan parlemen. Akibatnya, umat Islam tidak bisa membedakan lagi, mana yang islami dan mana yang tidak, mana partai Islam dan mana partai sekular.

Ketiga: terkooptasi secara pemikiran. Faktor lain yang melatarbelakangi koalisi partai Islam dengan partai sekular adalah adanya pandangan yang keliru pada partai-partai Islam akibat terkooptasi oleh pemikiran politik sekular. Dalam pandangan mereka, politik diidentikkan dengan how to get power dan to distribute power (bagaimana cara memperoleh dan mendistribusikan sebuah kekuasaan). Pandangan semacam ini telah mendikotomikan partai politik dalam dua klasifikasi besar: (1) partai pemerintah; (2) partai oposisi. Partai pemerintah adalah partai yang berhasil meraih kekuasaan, atau mendapatkan jatah kekuasaan, dan terlibat secara aktif dalam pemerintahan. Sebaliknya, partai oposisi adalah partai yang menempatkan diri sebagai oposisi, dan tidak melibatkan diri dalam pemerintahan (eksekutif). Jika partai politik ingin memiliki peran dalam pemerintahan, ia harus menjadi partai pemerintah. Sebaliknya, jika ia memilih untuk menjadi partai oposisi berarti ia dianggap tidak berperan serta dalam pemerintahan.

Pandangan semacam ini juga menjangkiti partai-partai Islam. Jika partai Islam ingin memberikan pengaruh-pengaruh politiknya di pemerintahan maka ia harus melibatkan diri dalam pemerintahan, tanpa mempertimbangkan lagi halal dan haram. Sebaliknya, jika mereka memilih menjadi partai oposisi, mereka tidak mungkin bisa berperan dan berpartisipasi aktif dalam pemerintahan. Padahal strategi dakwah mereka adalah melakukan perubahan melalui pemerintahan, di samping melalui parlemen. Oleh karena itu, satu-satunya pilihan bagi mereka adalah berkoalisi dengan partai sekular dan ber-musyârakah dengan pemerintahan kufur. Mereka tidak memperdulikan lagi bahwa partai sekular dan pemerintahan yang mereka dukung sesungguhnya adalah musuh sejati mereka.


Wajib Memisahkan Diri

Selama ini ada anggapan bahwa tindakan tidak melibatkan diri dalam pemerintahan adalah bentuk ketidakpedulian dengan nasib bangsa, kontraproduktif, dan pilihan yang tidak bertanggung jawab. Pernyataan ini benar jika penyelenggara urusan pemerintahan dan negara menerapkan dan menjalankan hukum-hukum Islam, dan menjadikan akidah Islam sebagai asas bermasyarakat dan bernegara. Sebaliknya, jika para penyelenggara negara menjalankan aturan-aturan kufur, dan mencampakkan akidah Islam sebagai asas bermasyarakat dan bernegara, maka seorang Muslim justru harus memisahkan diri dari mereka, dan terus berjuang untuk mengubah keadaan tersebut. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لاَ مَا صَلَّوْا

“Akan datang para penguasa. Lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya. Siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa). Siapa saja yang mengingkarinya akan selamat. Siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka).” Para shahabat bertanya, “Tidakkah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat.” (HR Muslim).

Tatkala berkomentar terhadap hadis ini, Imam Nawawi, dalam Syarh Shahîh Muslim menyatakan:

Dalam hadis ini terkandung mukjizat nyata mengenai kejadian yang akan terjadi pada masa depan. Hal ini telah terjadi sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah saw…Adapun makna dari frasa, “Tidakkah kita perangi mereka?” Lalu beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat,” adalah ketidakbolehan memisahkan diri dari para khalifah, jika mereka sekadar melakukan kezaliman dan kefasikan, dan selama mereka tidak mengubah satu pun sendi-sendi dasar Islam.1

Berdasarkan sabda Nabi saw. di atas, melibatkan diri di dalam pemerintahan yang telah melepas sendi-sendi Islam jelas-jelas merupakan perbuatan haram. Kewajiban kaum Muslim sekarang adalah berjuang dengan cara lain—bukan dengan musyârakah—untuk menegakkan kembali supremasi Islam dan kaum Muslim.


Larangan Memilih Pemimpin Sekular

Pada dasarnya, seorang Muslim, baik penguasa maupun rakyat, dilarang menerapkan hukum-hukum selain hukum Allah. Keharaman menerapkan hukum selain hukum Allah telah ditetapkan berdasarkan nash-nash yang tegas. Allah Swt. berfirman:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah orang-orang yang kafir (QS al-Maidah [5]: 44).

Masih banyak ayat-ayat lain yang memiliki pengertian senada.

Adapun berkaitan dengan seorang penguasa, Allah Swt. telah mewajibkan Nabi saw.—dalam kapasitasnya sebagai kepala negara—untuk memerintah manusia hanya dengan hukum Allah semata (Lihat: QS al-Maidah [5]: 48). Allah Swt. juga berfirman:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ

Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka berdasarkan hukum Allah, janganlah mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian hukum yang telah Allah turunkan kepadamu (QS al-Maidah [5]: 49).

Tatkala Rasulullah saw. pernah mengutus Muadz ra. ke Yaman, beliau bertanya kepadanya, “Dengan apa kamu akan memutuskan perkara?” Jawab Muadz, “Dengan Kitabullah.” Rasulullah saw. bertanya lagi, “Jika kamu tidak menemukannya?” Muadz menjawab, “Dengan Sunnah Rasulullah.” Rasulullah saw. kembali bertanya, “Jika kamu tidak menemukannya?” Muadz menjawab, “Saya akan berijtihad dengan pendapat saya.”

Mendengar jawaban yang sangat cerdas ini, Rasulullah saw. langsung memuji Allah, “Segala pujian milik Allah Yang telah memberi taufik kepada utusan Rasul-Nya pada sesuatu yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.”

Nash-nash di atas menunjukkan bahwa seorang kepala negara wajib mengatur urusan rakyat hanya dengan aturan Islam semata. Ia dilarang mengatur urusan rakyat dengan hukum-hukum kufur.

Dari sini pula dapat dipahami, bahwa seorang Muslim dilarang memilih pemimpin yang hendak menerapkan hukum kufur. Alasannya, memilih pemimpin yang akan menerapkan hukum kufur sama artinya dengan membuka jalan bagi penerapan hukum-hukum kufur itu sendiri. Untuk itu, dalam konteks pemilihan presiden dan wakil presiden mendatang, seorang Muslim dilarang melibatkan diri dalam pemilihan presiden dan wakil presiden yang jelas-jelas membuka jalan bagi diterapkannya hukum sekular yang kufur. Seorang Muslim hanya diperkenankan memilih kepala negara yang memiliki komitmen kuat untuk menerapkan syariah Islam, baik di ranah pribadi, masyarakat maupun negara. Hal ini baru bisa terwujud jika kaum Muslim hidup dalam kepemimpinan seorang khalifah dan berada di dalam sistem Khilafah Islamiyah yang menjadikan akidah dan syariah Islam sebagai sendi bermasyarakat dan bernegara. Wallâhu a’lam. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy]

Catatan kaki:

1 Imam Nawawiy, Syarh Shahîh Muslim, XII/243-244.

Selengkapnya...

Soal Jawab Tentang Perjanjian Hudaibiyah

By den_bagus on 01.45

komentar (0)

Filed Under:

Soal:

Ada kelompok atau partai yang menggunakan kasus Perjanjian Hudaibiyah (Sulh Hudaibiyyah)—saat Nabi saw. bersedia melakukan perjanjian damai dengan kaum kafir Quraisy, dengan meninggalkan beberapa hal yang dianggap prinsip, bahkan terkesan merugikan kepentingan Islam dan kaum Muslim—untuk melakukan koalisi atau manuver politik dengan kelompok atau partai sekular, termasuk berkoalisi untuk memerintah atau beroposisi. Bagaimana sesungguhnya fakta hukumnya?

Jawab:

Pertama-pertama harus didudukkan terlebih dulu, bahwa Sulh Hudaibiyyah sebagai dalil tafshîli (kasuistik) harus dipahami dan digunakan sesuai dengan konteks (manath)-nya. Penggunaan dalil tafshîli di luar konteksnya tentu tidak bisa diterima. Hal ini karena akan mengakibatkan hukum atau pandangan yang dihasilkannya bukan lahir dari dalil tersebut. Penggunaan dalil tafshîli di luar konteksnya, disebut syubhat ad-dalil saja tidak layak, apalagi disebut dalil. Karena itu, hukum atau pandangan yang dihasilkannya harus ditolak sebagai hukum dan pandangan syar’i. Karena itulah, konteks Sulh Hudaibiyyah tersebut harus dibaca, dipahami dan digunakan dengan cermat dan tepat, sesuai dengan manath-nya.
Secara faktual, perjanjian ini dilakukan oleh Nabi saw., enam tahun setelah Baginda hijrah ke Madinah, dan Negara Islam berdiri di sana.1 Pada titik ini, menurut Ibn Katsir, tidak ada ikhtilâf.2 Karena itu, dilihat dari segi manath-nya, penjanjian ini jelas dilakukan oleh Nabi saw. dalam kapasitasnya sebagai kepala Negara Islam dengan suku Quraisy, dalam posisinya sebagai negara kafir harbi fi’l[an], yaitu negara yang nyata-nyata memerangi Negara Islam.

Selain fakta di atas, sebagai kepala negara Nabi saw. melakukan sejumlah tindakan dan manuver di antaranya:

Pertama, mobilisasi pasukan sebelum berangkat ke Hudaibiyah. Saat itu Baginda Nabi saw. bukan saja memobilisasi kaum Anshar dan Muhajirin, tetapi juga kabilah-kabilan Arab Badui yang lain, sehingga jumlah mereka, sebagaimana catatan Ibn al-Atsir, mencapai 1300-1500 orang.3

Kedua, keputusan perang (harb) dan gencatan senjata (hudnah) yang diambil Nabi saw. pada saat meneken Sulh Hudaibiyyah ini adalah keputusan negara. Karena itu, konteks tindakan dan manuver Nabi saw. ini jelas dalam konteks negara, bukan konteks kelompok atau partai politik. Karena itu, menggunakan dalil tafshîli dalam kasus Sulh Hudaibiyyah untuk konteks partai atau kelompok jelas tidak relevan dan tidak tepat, karena manath-nya nyata-nyata berbeda.

Dengan demikian, partai atau kelompok Islam tidak bisa menggunakan dalil tafshîli dalam kasus ini untuk membenarkan tindakan atau menuvernya untuk membangun koalisi dengan partai atau kelompok sekular, baik untuk memerintah maupun menjadi oposisi. Mereka beralasan, misalnya, bahwa Nabi saw. pun, melalui Sulh Hudaibiyyah, pernah membentuk koalisi dengan Bani Khuza’ah, yang notabene kafir.4

Partai atau kelompok Islam juga tidak bisa menggunakan dalil tafshîli dalam kasus ini untuk membenarkan tindakan atau menuvernya untuk tidak mengusung syariah, karena Nabi saw. telah menghilangkan klausul-klausul penting, seperti: Bismillâhi ar-Rahmâni ar-Rahîm dan Muhammad Rasûlullâh diubah dengan dengan Bismika Allâhumma dan Muhammad ibn ‘Abdillâh, dengan alasan strategi politik.5

Mereka juga tidak bisa menggunakan dalil tafshîli dalam kasus ini untuk membenarkan kebohongan-kebohongan politik yang mereka lakukan, baik terhadap kawan, lawan maupun publik, dengan alasan Nabi saw. telah melakukannya, karena prinsip al-Habr Hid’ah (perang penuh tipu daya).6

Sebaliknya, Sulh Hudaibiyyah ini harus dilihat secara utuh sebagai strategi politik Nabi saw. yang brilian, dalam kapasitasnya sebagai kepala negara. Bahkan bisa dikatakan ini merupakan kunci kemenangan terbesar yang diberikan oleh Allah Swt.kepada Nabi saw. Meski secara kasatmata tindakan Nabi saw. ini awalnya dianggap merugikan kepentingan Islam dan kaum Muslim, akhirnya Allah justru membuktikan sebaliknya. Setelah peristiwa ini, Abu Bakar pun berkomentar:

Belum pernah Islam mendapatkan kemenangan, sebagaimana yang telah didapatkan melalui Sulh Hudaibiyyah. 7



Pelurusan

Lalu apa sebenarnya yang dilakukan oleh Nabi saw.? Apa motif dari tindakan dan manuver Baginda? Apa pula hasil yang diperoleh oleh Islam dan kaum Muslim setelah peristiwa ini? Pertanyaan-pertanyaan ini penting, agar kita bisa mendudukan peristiwa penting ini secara proporsional dan tepat.

Harus diakui, sejak Negara Islam berdiri di Madinah, kaum kafir memang tidak henti-hentinya berusaha menghancurkan negara yang baru berdiri itu, baik sendirian maupun dengan cara berkoalisi.8 Sebelum Sulh Hudaibiyyah ini terjadi, kaum kafir Quraisy di sebelah utara Madinah dan Yahudi Khaibar di sebelah selatan Madinah telah meratifikasi pakta militer. Jika ini dibiarkan, maka Negara Islam di Madinah posisinya akan benar-benar terancam, dan pada akhirnya bisa dihancurkan. Karena itu, pakta ini harus dihancurkan.

Untuk menghancurkan pakta militer ini, Nabi saw. sengaja tidak ingin berhadap-hadapan langsung, baik dengan kafir Quraisy maupun Yahudi Khaibar, dalam posisi ketika keduanya masih berkoalisi. Nabi saw. juga sengaja tidak menyerang Khaibar, meskipun posisinya lebih lemah, dibandingkan dengan suku Quraisy. Sebab, tindakan seperti ini sangat mudah dibaca musuh. Yang sulit dibaca musuh adalah ketika Nabi saw. memutuskan untuk umrah pada bulan Dzulqa’dah 6 H, tanpa membawa senjata, tetapi dengan jumlah rombongan yang sangat besar. Tujuan Nabi saw. yang sesungguhnya, sebagaimana yang tampak melalui statemen politik beliau, sebenarnya bukanlah umrah, melainkan untuk mendapatkan perjanjian damai tersebut.9

Akhirnya, perjanjian ini pun berhasil diraih oleh Nabi saw. Nabi saw. menugaskan Ali bin Abi Thalib sebagai penulis. Bersama Suhail bin Amr, wakil dari kafir Quraisy, Ali pun menulis titah Baginda Nabi saw. “Tulislah, Bismillâhirrahmânir-rahîm.” Suhail menyela, “Aku tidak mengenal kalimat ini, tetapi tulislah, Bismika-Llâhumma.” Ali pun menulisnya. Setelah itu, Baginda bersabda, “Tulislah, ini adalah naskah perjanjian yang telah disepakati oleh Muhammad utusan Allah dan Suhail bin Amr.” Suhail menyela, “Kalau aku bersaksi bahwa kamu adalah utusan Allah, pasti aku tidak akan memerangimu. Namun, tulislah nama ibu dan ayahmu.” Rasul pun bersabda, “Tulislah, ini adalah naskah perjanjian yang telah disepakati oleh Muhammad bin Abdillah dan Suhail bin Amr.”

Kedua belah pihak sepakat untuk tidak berperang selama 10 tahun. Sebab, masing-masing saling menahan diri satu sama lain. Siapa saja dari kalangan suku Quraisy yang datang kepada Muhammad saw. namun tidak mendapatkan izin dari walinya, ia harus dikembalikan kepada kaum Quraisy. Namun, siapa saja pengikut Muhammad saw. yang datang kepada kaum Quraisy tidak boleh dikembalikan.10

Perjanjian ini, baik dari segi redaksi maupun isinya, sama sekali tidak ada yang melanggar ketentuan syariah, apalagi merugikan kepentingan Islam dan kaum Muslim. Inilah yang ditunjukkan oleh Nabi saw. ketika para Sahabat, sebagaimana yang diwakili oleh Umar, memprotes tindakan Nabi saw. Saat itu dengan enteng Baginda menjawab:

Aku adalah hamba dan utusan-Nya; sekali-kali aku tidak akan menyalahi perintah-Nya. 11


Apa yang dianggap merugikan kepentingan Islam dan kaum Muslim oleh para Sahabat itu tidak lain karena mereka tidak tahu maksud tersembunyi di balik perjanjian tersebut. Mereka baru menyadari hal itu setelah turun surat al-Fath: 1-2 dan 27 dalam perjalanan dari Hudaibiyah ke Madinah. Tepat sekali, setelah itu, mereka bisa melihat hasilnya:

1. Kaum kafir Quraisy berhasil dikunci oleh Nabi saw. dengan perjanjian ini sehingga mereka tidak berkutik, apatah lagi membela kaum Yahudi Khaibar, ketika mereka diserang oleh Negara Islam. Dengan kata lain, Nabi saw. telah berhasil melumpuhkan pakta militer di antara keduanya.

2. Negara Islam berhasil meraih dukungan suku Khuza’ah, yang semula terikat dengan kaum kafir Quraisy. Ini tentu akan menjadi kekuatan tambahan bagi Negara Islam dalam menghadapi ancaman kafir Quraisy, bahkan bisa menjadi front pertahanan terdepan, apalagi posisi Khuza’ah yang sangat dekat dengan Makkah.

3. Dengan penghentian perang selama 10 tahun, dakwah Islam bisa disebarluaskan di tengah-tengah kaum kafir Quraisy dengan sebebas-bebasnya.

4. Kebijakan mengembalikan kalangan suku Quraisy yang datang ke Negara Islam justru bisa menjadi corong-corong Negara Islam yang efektif. Sebab, mereka bisa menyaksikan sendiri bagaimana Islam diterapkan di Madinah, lalu mereka bisa menceritakan pengalaman mereka kepada penduduk Makkah. Ini dikuatkan lagi dengan kebijakan tidak boleh memulangkan kaum Muslim yang datang ke Makkah. Dengan demikian, penyebaran dakwah Islam di Makkah bisa dilakukan secara simultan melalui dua arah, yaitu kaum Muslim yang menetap di sana, dan suku Quraisy yang terpaksa harus dikembalikan dari Madinah.

5. Bagi yang keberatan dikembalikan ke Makkah, karena keimanan dan loyalitasnya pada Islam, namun tidak boleh tinggal di Madinah, sebagaimana kasus Abu Basyir dan kelompoknya, mereka akan memilih tetap setiap pada Negara Islam. Abu Basyir dan kelompoknya inilah yang kemudian menteror dan menghambat jalur perdagangan kaum kafir Quraisy, sehingga menimbulkan kerugian materi yang sangat besar. Inilah yang mendorong mereka untuk membatalkan perjanjian tersebut.

Namun, ibarat nasi, semuanya telah menjadi bubur. Setelah semua tujuan dan target tersebut diraih oleh Nabi saw., meski perjanjian tersebut mereka batalkan sepihak, tetap saja kemenangan besar berpihak kepada Nabi saw. Kemenangan itu ditandai dengan penaklukkan kota Makkah pada tahun 8 H.

Jadi, dari mana kita bisa menyamakan tindakan Nabi saw. selaku kepala negara dengan tindakan kelompok atau partai, lalu menggunakan tindakan beliau dalam kasus Sulh Hudaibiyyah tersebut sebagai justifikasi untuk membenarkan tindakan berkoalisi dengan partai sekular? Sekali lagi, penggunaan dalil seperti ini jelas keliru, bahkan bisa dikatakan membajak dalil.
Na’ûdzubillâh!

Catatan Kaki:

1 Lihat, ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulk, Dar al-Fikr, Beirut, cet. I, 1987, III/212; Ibn Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah¸ Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut, cet. II, 1997, III/336; Ibn al-Atsir, Al-Kâmil fî at-Târîkh, Mu’assasah at-Tarikh al-‘Arabi, Beirut, cet. IV, 1994, I/582; Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Riyadh, cet. I, 2004, I/594; Ibn Khaldun, Al-‘Ibâr wa Dîwân al-Mubtada’ wa al-Khabar îi Ayyâmi al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Ashârahum min Dzawi as-Sulthân al-Akbar, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Riyadh, cet. I, t.t., hlm. 509.

2 Ibn Katsir, Ibid, I/594.

3 Ibn al-Atsir, Ibid, I/582.

4 Ibn Hisyam, Ibid, III/347; Rawwas Qal’ah Jie, Qirâ’ah Siyâsiyyah li as-Sîrah an-Nabawiyyah, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet. I, 1996, hlm. 219; Muhammad Khair Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl fî as-Siyâsah as-Syar’iyyah, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. II, 1996, III/1633.

5 Ibn Hisyam, Ibid, III/346.

6 HR al-Bukhari, Muslim, Ibn Hibban, at-Tirmidzi, al-Baihaqi, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad.

7 Lihat: Syit Mahmud Khatthab, Ar-Rasûl al-Qâ’id, Mansyurat Dar Maktabah al-Hayah, Beirut, t.t., hlm. 193.

8 Upaya kaum kafir untuk menghancurkan Negara Islam ini pernah dilakukan oleh kaum kafir Quraisy sendiri, sebagaimana dalam peristiwa Perang Badar, namun mereka kalah. Upaya yang sama kemudian juga mereka lakukan dengan berkoalisi, yang melibatkan kaum Yahudi dan munafik, sebagaimana peristiwa Perang Khandak.

9 Dalam statemennya, Nabi saw. menyatakan, “Alangkah celakanya kaum kafir Quraisy. Sungguh, peperangan telah membinasakannya. Kalau aku dan bangsa Arab yang lain sedang berkumpul, apa yang bisa mereka perbuat? Jika mereka bisa mengalahkanku, itulah yang sangat mereka harapkan. Jika Allah memenangkan aku atas mereka, mereka akan berbondong-bondong masuk Islam. Jika mereka tidak melakukannya maka perangilah mereka, meskipun mereka dalam kondisi yang kuat.” Lihat: Rawwas Qal’ah Jie, Ibid, hlm. 215.

10 Lihat: Rawwas Qal’ah Jie, Ibid, hlm. 215.

11 Ibn Hisyam, Ibid, III/346.


sumber
Selengkapnya...

Sikap Imam Madzhab terhadap Pendapat Terkuat dan Meninggalkan Pendapat Yang Menyelisihi Sunnah

By den_bagus on 17.03

komentar (0)

Filed Under:

Kiranya akan sangat bermanfaat bagi kita untuk mendengar perkataan para Imam madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi',i dan Madzhab Hambali), Agar kita selalu mengikuti Sunnah dan meninggalkan perkataan serta pendapat-pendapat yang menyelisihi Sunnah walaupun bersumber dari mereka sendiri (Para Imam Madzhab). Hal ini merupakan bantahan terhadap orang-orang yang jauh dari ilmu agama dan selalu taqlid buta, dimana mereka sering berkata " Kalau bukan pendapat Imam Syafi'i, maka aku akan menolaknya" atau "Aku hanya akan mau memakai pendapat Imam Hambali, selainnya maka aku enggan."

Padahal Imam Syafi'i dan Imam Hambali juga Imam-imam yang lain, tidak pernah sekalipun mengajarkan kepada para pengikut-pengikutnya, untuk fanatik buta kepada mereka. Semoga dengan mendengar perkataan-perkataan dari mereka, kita akan semakin Istiqomah dalam menegakkan Sunnah dan meninggalkan pendapat yang menyelisihinya .
Berikut perkataan para Imam-imam tersebut , semoga Allah merahmati mereka :

I. ABU HANIFAH (Imam Madzhab Hanafi)
Yang pertama-tama diantara mereka adalah Imam Abu Hanifah An-Nu'man bin
Tsabit. Para sahabatnya telah meriwayatkan banyak perkataan dan ungkapan darinya, yang semuanya melahirkan satu kesimpulan, yaitu kewajiban untuk berpegang teguh kepada hadits dan meninggalkan pendapat para imam yang
bertentangan dengan hadits tersebut.

1. 'Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku." (Ibnu Abidin di dalam Al-Hasyiyah 1/63)
2. 'Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Intiqa'u fi Fadha 'ilits Tsalatsatil A'immatil Fuqaha'i, hal. 145)
3. Dalam sebuah riwayat dikatakan: 'Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku".
4. Di dalam sebuah riwayat ditambahkan: "Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari".
5. "Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku". (Al-Fulani di dalam Al-lqazh, hal. 50)

II. MALIK BIN ANAS (Imam Madzhab Maliki)
Imam Malik berkata:
1. "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, ambillah dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, tinggalkanlah". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami', 2/32)
2.'Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ". (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)
3.Ibnu Wahab berkata, 'Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang menyelang¬-nyelangi jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, 'Tidak ada hal itu pada manusia. Dia berkata. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya. Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu, maka dia berkata: Apakah itu? Aku berkata: Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi'ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah
Shallallahu AlaihinWaSallam menunjukkan kepadaku dengan kelingkingnya apa yang ada diantara jari¬-jari kedua kakinya. Maka dia berkata, "sesungguhnya hadist ini adalah Hasan,'aku mendengarnya hanya satu jam. Kemudian aku mendengarnya, setelah itu
ditanya, lalu ia memerintahkan untuk menyelang-nyelangi jari-jari.
(Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta'dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

III. ASY-SYAFI'I (Imam Madzhab Syafi'i)
Adapun perkataan-perkataan yang diambil dari Imam Syafi'i di dalam hal ini lebih banyak dan lebih baik, dan para pengikutnya pun lebih banyak mengamalkannya. Di antaranya:
1.Tidak ada seorangpun, kecuali dia harus bermadzab dengan Sunnah Rasulullah dan menyendiri dengannya. Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkannya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bertentangan dengan ucapanku. Maka peganglah sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Inilah ucapanku." (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)
2."Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang."
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)
3.”Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan." (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)
4.”Apabila Hadist itu Shahih, maka dia adalah madzhabku. " (An-Nawawi di dalam AI-Majmu', Asy-Sya'rani,10/57)
5."Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu dari padaku tentang hadist , dan orang¬-orangnya (Rijalull-Hadits). Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya." ( Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi'I, 8/1)
6."Setiap masalah yang didalamnya terdapat kabar dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam adalah shahih …..dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku meralatnya di dalam hidupku dan setelah aku mati." (Al-¬Harawi, 47/1)
7.”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya shahih, maka ketahuilah, sesungguhnya akalku telah bermadzhab dengannya (Hadits Nabi). "
(Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu'addab)
8.Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu mengikutiku." (ibnu Asakir, 15/9/2)

AHMAD BIN HAMBAL (Imam Madzhab Hambali) '
Imam Ahmad adalah salah seorang imam yang paling banyak mengumpulkan sunnah dan paling berpegang teguh kepadanya. Sehingga ia membenci penulisan buku-buku yang memuat cabang-cabang (furu’ ) dan pendapat. Oleh karena itu ia berkata:
1. "Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi'i, Auza'i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil." (Al¬ Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I'lam, 2/302)
2. "Pendapat Auza'i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits. Red.)" (Ibnul Abdl Brr di dalam Al-Jami`, 2/149)
3. "Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran. " (Ibnul Jauzi, 182).

Allah berfirman: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (An-Nisa:65),
dan firman-Nya:
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih. " (An-Nur:63).

(Di sadur dari Mukaddimah Kitab Shifatu Shalatiin Nabii shallallahu 'alaihi wa sallam, karya Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin AI-Albani rahimahullah dengan sedikit perubahan)
sumber
Selengkapnya...

Memahami Hakikat Kemaslahatan 2

By den_bagus on 00.45

komentar (0)

Filed Under:

Merupakan anugerah yang besar yang diberikan kepada manusia adalah ia dijadikan sebagai makhluk yang mulia. Zat Yang Maha Kuasa telah memberikan segala kebutuhannya, baik kebutuhan di dunia maupun di akherat. Sebagai bukti akan hal tersebut, Dia telah mengutus para Rasul dan mengatur kehidupan ini dengan aturan yang selalu selaras dengan situasi dan kondisi. Bila melihat rentetan perjalanan syariat, maka dapat kita temukan adanya keselarasan antara syariat yang berlaku dengan kondisi yang berada pada saat itu. Hal ini bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan dan mencegah mafsadah. Di samping itu, perubahan dalam syariat, adanya nasakh, hingga risalah Muhammadiyyah semakin menambah kuat tentang adanya landasan dalam mengambil keputusan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan umat.

Tingkatan hukum didasarkan pada perbedaan tingkatan kemaslahatan, setiap maslahat yang besar, maka ia termasuk kategori wajib dan tingkatan di bawahnya adalah sunnat dan seterusnya. Demikian juga mafsadah, jika ia termasuk mafsadah yang besar, maka ia termasuk kategori haram dan begitu tingkatan seterusnya. Oleh karena itu, pahala dan siksa bertautan dengan tingkatan maslahah dan mafsadah. Seorang Muslim harus meyakini, Allah SWT tidak akan memerintahkan sesuatu perbuatan kecuali mengandung unsur maslahah, baik bersifat segera atau bersifat mendatang. Pada umumnya, maslahah dan mafsadah dapat diketahui manusia, kecuali beberapa perkara yang tidak bisa diketahui, karena ia bersifat ta'abbudi.

Hakekat Maslahah dan Mafsadah
Pada dasarnya, Maslahat adalah suatu makna tentang kenikmatan dan sebab-sebab yang membawa kepada kenikmatan. Sedangkan mafsadah adalah sesuatu yang membawa kesengsaraan dan sebab-sebab yang membawa dampak kesengsaraan.

Dalam pandangan syara', pemaknaan seperti ini tidak sesuai dengan hadits Rasul saw., "Surga dikelilingi dengan sesuatu yang tidak menyenangkan dan neraka dikelilingi dengan sesuatu yang menyenangkan." (HR Muslim).

Maka, terkadang sebab-sebab kemaslahatan merupakan mafsadah, akan tetapi ia diperintah karena ia termasuk sesuatu yang menuju suatu kemaslahatan yang lebih tinggi seperti hukum potong tangan dan sebagainya. Jika kita memperhatikan dengan baik, syariat Islam selalu menjaga kemaslahatan dalam pengambilan hukum. Hukum Allah selalu berdasarkan maslahah. Hal itu merupakan anugerah dan rahmat dari-Nya, bukan merupakan kewajiban yang harus Dia lakukan.

Seperti yang dikatakan oleh Asy Syathibi, bahwa hukum Allah berdasarkan maslahah syara', dan bukan kemaslahatan yang berdasarkan pada keinginan manusia. Manusia tidak mampu menemukan maslahah kecuali ada perantara syara'. Pendapati ini didukung oleh Al Amidi, Al Ghazali dan lain-lainnya.


Sebagaian Asy'ariyyah dan imam Ar Razi mengingkari pendapat tersebut. Mereka mengingkari jika hukum Allah tergantung dengan adanya ba'its (pendorong), artinya hukum Allah itu tergantung kepada maslahah. Mereka berpendapat illat merupakan tanda adanya hukum dan bukan penentu suatu hukum, karena Allah SWT bersifat sempurna dan tidak membutuhkan penyempurna.

Akan tetapi mereka sependapat apabila hukum yang diciptakan Allah itu mengandung maslahah. Adapun dalil yang rajih adalah pendapat pertama, sebab menurut dalil istiqra' hukum Allah selalu didasarkan pada suatu maslahah.

Definisi Maslahah
Menurut etimologi, maslahah mengandung dua makna:
1. Ia merupakan bentuk masdar yang bermakna shalaah, yaitu suatu perkara jika dilihat dari segi penggunaannya, ia berada dalam keadaan yang sempurna, seperti pena berfungsi sebagai alat tulis dan sebagainya. Ketika dikatakan maslahah, berarti mengandung makna menolak mafsadah.
Berdasarkan makna ini, maka arti maslahah sama dengan arti manfaat.
2. Perbuatan yang mengandung kemaslahatan dan menolak terhadap mafsadah. Ditinjau dari arti kedua, maslahah merupakan antonim dari mafsadah dan manfaat merupakan antonim dari dharar. Pemaknaan maslahah menurut arti kedua termasuk dalam bentuk majaz mursal dengan alaqah sababiyyah dan musabbabiyyah.

Sedangkan menurut terminologi, para pakar usul fiqh mendefinisikan maslahah di dalam dua tempat:
a. Ketika mereka mereka mengartikan makna munasib, yaitu suatu illat yang mengandung maslahah.
b. Ketika mereka membahas maslahah sebagai dalil syara':

1. Menurut Al Ghazali, yaitu menarik kemaslahatan dan menolak dharar (perkara yang membahayakan) atau dengan istilah lain menjaga maqhasid al syariah.
2. Menurut al Thufi, yaitu sebab yang menghantarkan kepada tujuan syara', baik berbentuk ibadah atau adat.

Segi persamaan dan perbedaan antara kedua ta'rif di atas:
- Kedua ta'rif sesuai dengan ta'rif lughawi.
- Kedua ta'rif membedakan antara tujuan syara' dengan tujuan manusia.
- Dalam ta'rif Al Ghazali didasarkan adanya munasib, disamping itu ia juga membagi maslahah menurut pandangan syara' menjadi: maslahah mulghah, mu'tabarah dan mursalah, baik mulâimah atau gharibah. Menurut beliau, maslahah mu'tabarah termasuk dalam bab qiyas dan ia tidak mengambil maslahat gharibah sebagai hujjah. Sedangkan maslahah mulâimah bisa sebagai hujjah dengan syarat ia termasuk jenis perbuatan syara' yang di perbolehkan.
- Sedangkan ta'rif At Thufi tidak membagi maslahah berdasarkan tinjauan syara', sehingga mungkin bisa terjadi pertentangan antara nash syara' dengan maslahah. Berbeda dengan Al Ghazali yang menjadikan maslahah sebagai dalil hukum apabila tidak ada nash yang berkaitan dengan hukum tersebut. Oleh karena itu, menurut At Thufi maslahah selalu didahulukan daripada nash dan ijma' dengan cara takhsis dan bayan, bukan dengan cara mengesampingkan keduanya (nasakh).

Pembagian Maslahah

Dari segi tempat:
1. Duniawi, seperti memperoleh kenikmatan yang sifatnya mubah
2. Ukhrawi, seperti melakukan ibadah
3. Gabungan antara keduanya, seperti mengeluarkan sedekah. Karena bila dilihat dari orang yang mengambil, ia merupakan bagian dunia sedangkan bagi pemberi, ia merupakan bagian dari akherat.

Dari segi tingkatan atau derajat.
1. Dharuriyat
2. Hajiyat
3. Tahsiniyat

Dari segi ruang lingkup.
1. Bersifat umum, seperti membunuh kafir zindiq.
2. mayoritas.
3. individu

Dari segi tinjauan syara'.
1. Mu'tabarah
2. Mulghah
3. Mursalah

Maslahah ada yang bersifat tetap, seperti maslahat dalam ibadah dan ada yang bersifat kondisional, seperti maslahat dalam muamalat dan adat.

Di samping itu maslahah juga terbagi menjadi: maslahah hakiki, yaitu kenikmatan dan kesenangan dan maslahah majazi, yaitu perantara yang menghantarkan kepada kenikmatan dan kesenangan.


Perbedaan antara Dharurat dengan Maslahat
Dharurat adalah suatu tingkat kebutuhan yang amat sangat penting, karena bisa mengancam jiwa, harta dan lain-lainnya. Sedangkan maslahat lebih bersifat umum, karena ia bertujuan untuk menarik manfaat atau menolak kerusakan. Maka maslahat bisa mencakup tiga tingkatan, yaitu dharurat, hajiyat dan tahsiniyat Berbeda dengan dharurat, ia merupakan salah satu tingkatan dari ketiga pembagian tersebut.

Imam Ghazali mengunakan istilah istishlah bukan dengan mashalih mursalah, karena mashalih mursalah hanya mengandung makna mashlahat saja, berbeda dengan istishlah, ia merupakan proses pembentukan hukum yang didasarkan pada maslahat. Di antara nama-nama yang serupa maslahah adalah maslahah mursalah, munasib mursal, istishlah, istidlal bil mursal, dan istidlal. Dasar-dasar yang mendorong untuk menggunakan maslahat adalah usaha untuk memperoleh kemaslahatan, menolak kerusakan, saddudz dzara'i' dan adanya perubahan dari segi waktu dan kondisi.

Teori Maslahat menurut Asy Syatibi
Meskipun menurut sejarah, Asy Syatibi bisa dibilang termasuk ulama periode akhir, akan tetapi ?a lebih terkenal dengan sebutan bapak maqashid. Dengan secara terperinci dan dibuktikan dengan dalil-dalil, ia mampu menyusun maqhasid dengan baik. Ini bukan berarti bahwa maqashid pada dekade sebelumnya belum muncul, karena sejak Al Juwaini dan Ghazali maqashidpun sudah ada.

Oleh karena itu, Asy Syatibi dalam maqasidnya banyak mengambil dari ulama' terdahulu, seperti Al Ghazali, Al Juwaini, Al Qarafi dan Ibnu Abd As Salam. Bahkan Imam Al Ghazali menduduki peringkat pertama dalam maqashid Asy Syatibi, yaitu sekitar empat puluh tempat Asy Syatibi menyebut Al Ghazali dalam Muwafaqot.

Membahas tentang teori maqashid Asy Syatibi berarti harus mempelajari dan mengakaji kitab Muwafaqot dan kitab Al I'tisham secara utuh dan menyeluruh agar hasil yang diperoleh bisa maksimal. Untuk mendapatkan hal tersebut membutuhkan kemampuan, tenaga , waktu dan yang super ekstra, wa lastu ahlan bidzâlik.

Dalam tulisan ini, saya hanya mengambil beberapa sample untuk sedikit mengetahui maqashid Asy Syatibi. Dalam kitab Muwafaqot bagian kedua, maqhasid Asy Syathibi terbagi menjadi dua bagian, Maqhashid syara' dan maqashid mukallaf. Maqhashid Syara' terbagi menjadi empat bagian, yaitu

1. Syariat berdasarkan pada kemaslahtan manusia di dunia dan di akherat,
2. Syariat memberikan pemahaman kepada mukallaf bahwa Al-Quran bisa dipaham lewat Lisan arab, karena ia diturunkan dalam bahasa Arab,
3. Syariat sebagai pembebanan terhadap mukallaf
4. Syariat diturunkan untuk ditaati dan seorang mukallaf termasuk objek dalam hukum syara' sehingga ia bisa masuk ke dalam aturan-aturannya.

Beberapa sample tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pembebanan dalam syariat Islam dimaksudkan untuk menjaga maqhasid syariah, yaitu dharurat, hajiyat dan tahsiniyat. Dari setiap bagian tersebut mempunyai lima bagian, yaitu menjaga agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Dharuriyat merupakan pokok dalam syariat sedangkan hajiyat dan tahsiniyat merupakan sifat pelengkap. Dengan kata lain dharurat merupakan pokok dari hajiyat dan hajiyat merupakan pokok dari tahsiniyat, sehingga ada sebuah kaedah Asy Syathibi, "Al Mukammilu lil mukammili mukammilun" mukammil pertama adalah tahsiniyat, mukammil kedua adalah hajiyat dan mukammil ketiga adalah dharuriyat.


2. Maslahat di dunia dapat ditinjau dari dua dimensi, yaitu dari segi realita yang ada dan dari hubungan khitab syara' terhadap maslahat tersebut. Menurut tinjauan pertama, maslahat tidak akan terlepas dari adanya beban atau kesusahan, baik dalam skala kecil atau besar, demikian halnya dengan mafsadah. Oleh karena itu, maslahat yang di anggap adalah maslahat yang lebih kuat menurut pandangan adat. Dan mafsadah yang harus ditinggalkan adalah mafsadah yang lebih kuat. Sedangkan maslahat yang dii'tibar menurut pandangan syara' adalah maslahat yang murni yang tidak tercampur dengan mafsadah.


3. Syara' tidak membebani mukallaf di luar kemampuannya, karena syara' menginginkan kemudahan dan memberikan keringanan, seperti adanya rukhshah di samping itu adanya ijma' yang menyatakan bahwa pembebanan syariat bukan untuk membuat masyaqqot.

4. Tujuan syara' memasukkan seorang mukallaf menjadi objek hukum adalah agar ia bisa menjadi hamba Allah yang baik, karena banyak dalil yang menjelaskan tentang hal tersebut.

5. Mendahulukan maslahat umum daripada maslahat individu. Ini merupakan kaedah yang berdasar pada dalil istiqra' dari nash.

6. Menolak di antara dua bahaya yang paling berat, seperti qishash dan had.

7. Maqhashid syariah terbagi menjadi dua, yaitu ashliyyah dan tâbiah. Maqhashid ashliyyah adalah maqhashid yang memperhatikn kemaslahatan hajat hidup orang banyak secara mutlak. Maqhashid ini terbagi menjadi dua: dharuriyyah ainiyyah dan dharuriyyah kifaiyyyah. Sedangkan maqhashid tâbiah adalah maqashid yang yang memperhatikan kebutuhan individu. Dalam maqhashid ini seseorang boleh melakukan pekerjaan sesuai keinginannnya, misalnya apakah ia ingin menjadi pedagang ataukah petani. Maqhashid tâbiah kedudukannya sebagai pelengkap dari maqhashid ashliyyah.

8. Syarat taklif dalam syariat adalah adanya kemampuan seseorang terhadap beban yang diberikan kepadanya. Setiap beban yang ia tidak mampu, maka taklif tersebut tidak dibenarkan menurut syara'. walaupun secara hukum akal diperbolehkan. Akan tetapi pendapat ini ditentang kelompok Hanafiyyah dan Mu'tazilah yang mengatakan tidak boleh secara hukum akal membebani seorang mukakallaf di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, jika sepintas ada taklif dari syara' kemudian taklif tersebut di luar batas kemampuan kita maka langkah yang diambil adalah mengembalikan pembebanan tersebut terhadap sawabiq, lawahiq atau qarain. Contoh sawabiq "maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". (QS. 2:132). Untuk lebih lanjut lihat contohnya dalam Muwafaqot.

Dalam kitab Al I'tisham Asy Syathibi juga memberikan pendapatnya tentang maslahat. Pendapat tersebut tertuang ketika membahas perbedaan antara bid'ah, mashalih mursalah dan istihsan.

Asy Syathibi dalam buku tersebut memberikan sepuluh contoh mashalih mursalah, kemudian ia memberikan kesimpulan:
1. Maslahah mursalah bisa dibuat dalil, jika selaras dengan tujuan syara' dan tidak ada dalil yang melarangnya.
2. Dalam bidang ibadah selalu merujuk kepada sifat ta'abbudi. Misalnya, debu (membuat badan kotor ketika tayammum) bisa menggantikan air (membuat badan bersih dalam berwudhu), Dalam sebagian shalat sunnat disunnatkan berjamah (shalat ied, shalat gerhana, shalat istisqa') berbeda dengan sebagian shalat sunnat yang lain. Sedangkan dalam bidang adat merujuk pada kemaslahatan selagi dalam koridor syara'.
3. Mashalih mursalah termasuk perantara yang menjaga dharuriyat al khamsah dan bertujuan menghilangkan masyaqqot.

sumber : revolusidamai

Selengkapnya...

Memahami Hakikat Kemaslahatan 1

By den_bagus on 00.40

komentar (0)

Filed Under:

Maslahat (al-mashlahah, bentuk pluralnya al-mashâlih) adalah mashdar (gerund) mim dari kata shalaha–yashlahu wa yashluhu–shulûhan wa shalâh[an]; bisa juga dari kata shaluha–yashlahu–shulûhan wa shalâh[an]. Secara bahasa artinya adalah lawan dari fasâd (kerusakan). Karena itu, ishlâh dan istishlâh adalah lawan dari ifsâd dan istifsâd; maslahat adalah lawan dari mafsadat.

Di dalam Mu’jam al-Wasîth dikatakan shalaha shalâhan wa shulûh[an], artinya fasad (kerusakan) hilang darinya. Sesuatu yang bermanfaat dan sesuai dikatakan: yashlahu laka. Juga dinyatakan, mashlahah adalah ash-shalâh dan manfaat.

Abu al-‘Abbas al-Fayyumi dalam Mishbâh al-Munîr fî Gharîb asy-Syarh al-Kabîr mengatakan, “wa ashlahtuhu fa shalaha wa ashlaha adalah membawa ash-shalâh, yaitu kebaikan (al-khayr) dan yang benar/sesuai (ash-shawâb). Di dalam perkara tersebut terdapat mashlahah, yaitu terdapat kebaikan (al-khayr).”
Dengan demikian, maslahat secara bahasa dapat dimaknai sebagai manfaat, kebaikan dan jauh dari kerusakan. Jadi, maslahat itu meliputi salah satu dari dua sisi atau keduanya sekaligus: sisi mendatangkan manfaat atau kebaikan serta sisi menghilangkan/mencegah kerusakan (mafsadat) dan bahaya (madharat)—jalb al-manâfi’ aw al-khayr wa daf’u al-mafâsid aw al-madharrah.

Al-Quran dan as-Sunnah di banyak tempat menggunakan kata ishlâh sebagai lawan dari isfsâd. (Lihat, misalnya: QS al-Baqarah [2]: 11; al-A’raf [7]: 85 dan asy-Syu’ara’ [26]: 152. Adapaun di dalam hadis, misalnya, Abdurrahman bin Sanah mendengar Rasul saw. pernah bersabda:

بَدَأَ الإِِسْلاَمُ غَرِيبًا، ثُمَّ يَعُودُ غَرِيبًا كَمَا بَدَأَ، فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَنِ الْغُرَبَاءُ؟ قَالَ: الَّذِينَ يُصْلِحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ

“Islam itu awalnya asing, kemudian akan kembali menjadi asing seperti awalnya. Karena itu, beruntunglah orang yang asing.” Ditanyakan, “Ya Rasulullah, siapa orang yang asing itu?” Beliau bersabda, “Mereka yang melakukan perbaikan pada saat masyarakat melakukan rusak (HR Ahmad).

Jadi, al-Quran dan as-Sunnah menggunakan kata ishlâh dan ash-shalâh—yang merupakan asal dari mashlahah—dalam makna bahasanya, yaitu lawan dari ifsâd dan fasâd. Kata mashlahah sendiri tidak ditemukan di dalam nash baik al-Quran maupun as-Sunnah. Hal itu menunjukkan bahwa syariah tidak mendefinisikan kata mashlahah secara spesifik dan tidak mengalihkan pengertian dan maknanya dari makna bahasanya.

Dalam perkembangannya, istilah maslahat ini jadi menonjol dalam kajian ushul fikih dan para ulama ushul fikih. Akhirnya, istilah mashlahah menjadi salah satu istilah yang populer dalam kajian ushul fikih dan memiliki pengertian tersendiri yang lebih khusus daripada makna bahasanya.

Ibn Qudamah di dalam Rawdhah an-Nâzhir wa Jannah al-Munâzhir menyatakan, mashlahah adalah mendatangkan manfaat dan menolak bahaya (jalb al-manfa’ah wa daf’u al-madharrah).

Imam al-Ghazali berkata di dalam al-Mustashfâ fî ‘Ilm al-Ushûl:

Maslahat pada dasarnya adalah ungkapan tentang mendatangkan manfaat dan menolak madarat. Yang kami maksudkan bukan itu. Jalb al-manfa’ah wa daf’u al-madharrah adalah maksud/tujuan makhluk dan kebaikan makhluk ada dalam pencapaian maksud/tujuan mereka. Akan tetapi, yang kami maksudkan dengan mashlahah adalah penjagaan atas maksud/tujuan syariah. Maksud/tujuan syariah dari makhluk ada lima: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan (nasab) dan harta mereka. Semua hal yang menjelaskan penjagaan lima dasar ini adalah maslahat. Semua yang melalaikan pokok-pokok ini adalah mafsadat. Sebaliknya, menolaknya, yaitu menolak semua hal yang mengabaikan pokok-pokok itu, adalah maslahat.

Menurut Imam asy-Syathibi dalam Al-Muwâfaqât, pada dasarnya syariah ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (mashâlih al-‘ibâd), baik di dunia maupun di akhirat. Kemudian Beliau membagi maslahat—yang juga disebut maqâshid—menjadi tiga jenis: maslahat dharûriyah, hâjiyat dan tahsîniyat. Disebut dharûriyah karena maslahat ini harus ada dalam menegakkan kemaslahatan agama dan dunia; jika tidak ada maka kemaslahatan dunia tidak akan berjalan lurus; ia akan berjalan di atas kerusakan, kacau dan kehidupan hilang. Dharûriyah terdiri dari menjaga agama, jiwa, keturunan (nasab), harta dan akal. Disebut hâjiyat karena hal itu diperlukan untuk merealisasikan kelapangan dan menghilangkan kesempitan dan kesukaran, contohnya rukhshah. Adapun tahsîniyat maknanya adalah mengambil kebaikan (perhiasan-perhiasan) tradisi dan menjauhi kondisi yang kotor; semua itu dihimpun oleh bagian akhlak mulia, seperti bersuci, menutup aurat, berhias, ber-taqarrub dengan amalan sunnah, sedekah, dsb.


Hukum Syariah Pasti Membawa Maslahat

Allah Swt. mengutus Rasul saw dengan membawa risalah sebagai rahmat:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (QS al-Anbiya’ [21]: 107).

Allah menyatakan, tidak ada tujuan lain dari diutusnya Rasul saw., kecuali sebagai rahmat. Rasul diutus dengan membawa risalah. Artinya, risalah Islam ini diturunkan tidak lain sebagai rahmat. Jadi keberadaan risalah yang diterapkan di tengah-tengah manusia, itulah rahmat.

Allah SWT juga berfirman:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا

Kami menurunkan dari al-Quran sebagai penawar dan rahmat bagi orang-orang Mukmin (QS al-Isra’ [17]: 82).

Kedua ayat ini menunjukkan maksud yang dituju dari diturunkannya risalah dan al-Quran, yaitu sebagai obat dan rahmat. Hal itu adalah tujuan yang ingin dicapai, hasil dari penerapannya. Rahmat maknanya adalah mendatangkan manfaat dan menolak mafsadat. Itulah maslahat. Jadi, rahmat, yakni maslahat, itulah maksud atau tujuan hasil diterapkannya risalah.

Penetapan sesuatu sebagai maslahat atau bukan hanya diserahkan pada syariah. Syariahlah yang mendatangkan maslahat. Syariah pula yang menentukan mana yang maslahat bagi manusia karena yang dimaksud maslahat adalah maslahat bagi manusia sebagai manusia. Maslahat bagi individu sekalipun adalah maslahat baginya sebagai manusia, bukan sebagai individu. Penentuan maslahat itu tidak boleh diserahkan pada akal semata. Sebab, akal terbatas, tidak mengetahui fakta dan hakikat manusia sehingga tidak bisa mengetahui hakikat maslahat dan mafsadat bagi manusia. Manusia dengan akalnya hanya bisa menduga sesuatu sebagai maslahat atau mafsadat. Namun, sering manusia salah menilai: manfaat dianggap mafsadat dan madarat dianggap maslahat. Penilaian manusia itu juga bisa berubah-ubah seiring waktu, tempat dan kondisi. Karena itu, menyerahkan penentuan maslahat dan mafsadat pada akal justru mengundang bahaya. Pasalnya, akal bisa saja menentukan sesuatu sebagai maslahat, padahal justru madarat. Jika sudah demikian, bencana pun menjadi keniscayaan.

Allah Swt. mengingatkan bahwa manusia memang tidak mengetahui hakikat maslahat dan mafsadat itu; hanya Allah sajalah yang mengetahuinya. Allah Swt. berfirman:

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagilian. Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui (QS al-Baqarah [2]: 216).

Karena itu, penentuan maslahat itu harus dikembalikan pada syariah, bukan pada akal. Imam Izzuddin bin Abdus Salam di dalam Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm halaman 13 menyatakan, “Kebanyakan maslahat dan mafsadat dunia diketahui dengan akal.”

Beliau berkata pada halaman 14, “Maslahat dan mafsadat dunia sama sekali tidak sebanding dengan maslahat dan mafsadat akhirat.”

Beliau juga berkata di halaman 13, “Adapun maslahat dan mafsadat dunia dan akhirat maka tidak bisa diketahui kecuali dengan syariah.”

Walhasil, maslahat adalah apa yang dituntut atau dibolehkan oleh syariah; mafsadat adalah apa saja yang dilarang dan tidak dibolehkan oleh syariah. Dalam hal ini, para Sahabat telah memberikan contoh yang bisa kita teladani. Rafi’ bin Khadij berkata, pamannya berkata—ketika Rasul saw. melarang mereka dari muzâra’ah/mukhâbarah, yaitu menyewakan lahan pertanian:

نَهَانَا رَسُولُ اللهِ عَنْ أَمْرٍ كَانَ لَنَا نَافِعًا وَطَوَاعِيَةُ اللهِ وَرَسُولِهِ أَنْفَعُ لَنَا

Rasulullah saw. telah melarang kami dari satu perkara yang bermanfaat bagi kami, tetapi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya lebih bermanfaat bagi kami (HR Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ahmad).
WaLlâh a’’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]
sumber: revolusidamai

Selengkapnya...

 Blog Terbaik News & Journalism - Top Blogs Philippines Malaysian Topsites - TopMalaysia.OrG Journalist Blogs - Blog Catalog Blog Directory Indonesian Muslim Blogger