BANGKITLAH DENGAN ISLAM!

By den_bagus on 20.58

komentar (0)

Filed Under:


[Al-islam 507] Setidaknya ada dua peristiwa penting pada pekan ini yang perlu dicatat. Pertama, peristiwa yang terkait dengan sejarah, yakni Hari Kebangkitan Nasional, yang biasa diperingati setiap tanggal 20 Mei. Tahun ini Hari Kebangkitan Nasional memasuki peringatan ke-102. Artinya, sejak tanggal 20 Mei 1908–tanggal lahirnya organisasi Boedi Oetomo–ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional, perjalanan ’kebangkitan nasional’ telah memasuki tahun ke-102. Kedua, peristiwa politik, yakni mencuatnya kembali isu terorisme pasca pemburuan sekaligus penembakan sejumlah orang yang diduga teroris oleh aparat Densus 88 yang menewaskan beberapa orang. Yang menarik, di tengah kritikan terhadap langkah-langkah aparat kepolisian yang makin ’brutal’ dalam memperlakukan para ’teroris’ (padahal mereka baru sebatas diduga), Presiden SBY melontarkan pernyataan yang tak kalah kontroversialnya. Merespon apa yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam menangani kasus terorisme baru-baru ini, Presiden SBY lalu mengaitkan tindakan para teroris ini dengan keinginan mereka untuk mendirikan Negara Islam.

Ironi Kebangkitan

Terkait dengan peristiwa pertama, meski ’kebangkitan nasional’ sudah berjalan seabad lebih, dari tahun ke tahun, negeri ini bukan makin bangkit, tetapi justru makin terpuruk di segala bidang. Contoh kecil, di bidang pendidikan, hampir berbarengan dengan Peringatan Hari Pendidikan Nasional setiap tanggal 2 Mei, kondisi dunia pendidikan di negeri ini boleh dikatakan makin memburuk. Terakhir, hal ini ditandai oleh banyaknya siswa yang tidak lulus dalam Ujian Nasional (UN). Bahkan menurut data dari Kementerian Pendidikan Nasional, tahun 2010 ini sebanyak 267 sekolah tingkat SMA di seluruh Indonesia, 100% siswanya tidak lulus UN (Republika.co.id, 28/4). Di tingkat SMP kondisinya lebih parah lagi; sebanyak 561 SMP/MTs di seluruh Indonesia, 100% siswanya juga dinyatakan tidak lulus UN (Detik.com, 5/5). Kenyataan ini belum ditambah dengan makin mahalnya biaya pendidikan. Akibatnya, puluhan juta orang miskin tidak dapat sekolah.

Di bidang hukum/peradilan, yang mengemuka akhir-akhir malah merajalelanya mafia hukum/peradilan. Di bidang politik/pemerintahan, kasus-kasus korupsi bukan malah berkurang, tetapi makin banyak dan beragam dengan berbagai modus. Wajar jika menurut survei PERC, tahun ini 2010 ini pun–sebagaimana tahun lalu–Indonesia masih memegang rekor sebagai negara terkorup di Asia Pasifik (Metronews.com, 10/3).

Di bidang ekonomi, negeri yang kaya-raya dengan sumberdaya alam ini pun masih menyisakan sekitar 100 juta penduduk miskin menurut kategori Bank Dunia (Okezone, 18/8/2009). Parahnya lagi, rakyat ini harus menanggung beban utang luar negeri yang tahun 2010 ini mendekati Rp 2000 triliun (Kompas.com, 16/5).

Di bidang kesehatan, bahkan akhir-akhir ini mencuat kembali sejumlah kasus gizi buruk di berbagai daerah, yang tentu berkaitan langsung dengan masalah kemiskinan.

Jika demikian keadaannya, tentu setiap orang di negeri ini layak bertanya: lalu apa makna Hari Kebangkitan Nasional yang telah melawati usia lebih dari satu abad ini jika kebangkitan yang diharapkan semakin jauh dari harapan?

Wacana Negara Islam

Adapun terkait dengan yang kedua, sebetulnya upaya sejumlah kalangan, termasuk pejabat negara, mengaitkan isu terorisme dengan wacana pendirian Negara Islam bukanlah hal baru. Karena itu, pernyataan SBY di atas hanyalah pengulangan belaka.

Sebagaimana diketahui, Presiden SBY dalam keterangan persnya di Bandara Halim Perdanakusumah, Senin (17/5), sebelum bertolak ke Singapura dan Malaysia, menegaskan tujuan dari para teroris adalah mendirikan Negara Islam. Padahal, menurut SBY, pendirian Negara Islam sudah rampung dalam sejarah Indonesia. Aksi teroris juga bergeser dari target asing ke pemerintah. Ciri lain, menurut Presiden, para teroris menolak kehidupan berdemokrasi yang ada di negeri ini. Padahal demokrasi adalah sebuah pilihan atau hasil dari sebuah reformasi. Karena itu, menurut Presiden, keinginan mendirikan Negara Islam dan sikap anti demokrasi tidak bisa diterima rakyat Indonesia (Okezone.com, 17/5).

Ada sejumlah hal yang menarik untuk dicatat dari pernyataan SBY di atas. Pertama: Negara Islam adalah negara yang menjadikan Islam sebagai asasnya dan syariah Islam sebagai aturan segala aspek kehidupan. Hal ini bukanlah persoalan sejarah, atau masalah diterima oleh mayoritas rakyat banyak atau tidak. Ini adalah masalah kewajiban dalam agama. Sudah seharusnya siapapun yang menjadi Muslim terikat pada syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupannya; termasuk bernegara, politik, ekonomi dan pendidikan. Kewajiban ini merupakan konsekuensi keimanan dan kecintaan seorang Muslim kepada Allah SWT dan Rasul-Nya yang seharusnya dijadikan teladan. Semuanya itu diwujudkan dengan terikat pada hukum-hukum Allah SWT yang bersumber dari Al-Quran dan as-Sunnah. Allah SWT berfirman:

]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً[

Hai orang-orang yang beriman, masukkan kalian ke dalam Islam secara total (QS al-Baqarah [2]: 208).

Saat menafsirkan ayat di atas, Imam Ali ash-Shabuni menegaskan, bahwa ayat tersebut memerintahkan kaum Muslim untuk melaksanakan seluruh hukum Islam; tidak boleh melaksanakan hanya sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain.

Lagi pula, dalam berbagai kesempatan Presiden SBY sering mengatakan kita harus menjadikan Rasulullah saw. sebagai teladan kehidupan kita. Ini sejalan dengan firman Allah SWT:

]لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ[

Sesungguhnya pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang baik bagi kalian (QS al-Ahzab [33]: 21).

Rasul saw. tentu saja harus diteladani dalam seluruh aspeknya, termasuk dalam upayanya mendirikan Negara Islam (Daulah Islam) di Madinah. Bahkan beliau sendirilah yang menjadi kepala negaranya.

Kita pun masih ingat ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membacakan sambutan pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) V, Jumat (7/5) di Jakarta. Dalam pidatonya, Presiden sendiri mengatakan Islam hadir sebagai jalan kehidupan manusia dan rahmat bagi seluruh alam. Tuntunan al-Quran dan as-Sunnah adalah pedoman hidup dan jalan yang lurus untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Rasulullah pun telah mencontohkan tatanan peradaban yang dibangun atas dasar iman dan takwa. “Kita memiliki tugas sejarah untuk membangun dan mengembalikan kejayaan Islam!” tegas Presiden saat itu.

Kita juga ingat, ketika SBY memberikan kata sambutannya dalam Forum Ekonomi Islam Sedunia di Jakarta (2 /3/2009). Saat itu SBY mengajak negara-negara Islam mengatasi krisis dengan bersatu; negara-negara Islam akan bisa mengenang kembali kejayaan Abad 13. Tentu, kalau kita berbicara tentang kejayaan Islam Abad 13, tidak bisa dilupakan bahwa kejayaan Islam saat itu terjadi karena adanya Negara Islam–yang dikenal dengan Khilafah Islam–yang menjalankan syariah Islam.

Selain itu, kewajiban menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai pedoman hidup tentu bukan hanya dalam masalah ibadah ritual, moral atau individual saja, tetapi dalam seluruh aspek kehidupan. Di sinilah letak wajibnya menegakkan institusi negara yang akan menerapkan syariah Islam secara keseluruhan. Sebab, mustahil melaksanakan kewajiban syariah Islam secara keseluruhan kalau negaranya tidak berdasarkan Islam. Ini sesuai dengan kaidah ushul fikih:

] ماَ لاَ يَتِمُّ اْلوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ[

Selama suatu kewajiban tidak sempurna kecuali karena adanya sesuatu maka sesuatu itu wajib pula adanya.

Kedua: Meskipun mendirikan Negara Islam adalah kewajiban agama, kita sepakat secara realita sosiologis, apakah Negara Islam tegak atau tidak sangat bergantung pada masyarakat; bergantung pada dukungan dan kesadaran masyarakat. Sistem apapun akan berjalan tegak dan baik kalau didukung oleh kesadaran masyarakat. Sistem demokrasi yang saat ini masih kita jadikan panutan bisa berjalan karena masyarakat kita masih mendukungnya. Artinya, kita tentu tidak bisa menolak perubahan kalau ternyata rakyat Indonesia yang mayoritas Islam ini kemudian mendukung penegakkan Negara Islam.

Namun, kita setuju bahwa upaya membangun kesadaran masyarakat untuk menegakkan Negara Islam dilakukan bukan dengan jalan teror. Jalan ini bukanlah jalan yang ditempuh oleh Rasulullah saw. Jalan ini bahkan bisa kontraproduktif. Bagaimana mungkin rakyat akan mendukung syariah Islam kalau mereka ditakut-takuti dengan bom atau pembunuhan?

Hizbut Tahrir termasuk yang menginginkan Negara Islam global berupa Khilafah Islam. Namun, dengan sangat tegas Hizbut Tahrir menentukan garis perjuangannya yang tidak menggunakan jalan kekerasan atau mengangkat senjata (non violence).

Ketiga: Adalah kesalahan besar mengaitkan kewajiban penegakan Negara Islam dengan tindakan terorisme. Mungkin ada yang menempuh jalan kekerasan dalam memperjuangkan tegaknya Negara Islam. Akan tetapi hal itu tidak bisa digeneralisasi bahwa yang menginginkan tegaknya Negara Islam adalah teroris. Jika demikian logikanya, ketika banyak koruptor yang ditangkap dan mereka adalah pendukung sistem sekular, maka bisa dikatakan bahwa mendukung sistem ini pasti adalah seorang koruptor. Karena itu, kita melihat ada agenda busuk di balik pengaitan ini, yakni agar masyarakat kemudian takut, tertipu dan akhirnya tidak setuju dengan penegakan Negara Islam. Upaya ini memang secara sistematis dilakukan oleh kekuatan-kekuatan penjajah yang khawatir akan kebangkitan Islam. Sebab, tegaknya Negara Islam, apalagi dalam wujud Negara Islam global (Khilafah Islam) sangat ditakuti oleh Barat. Mereka tahu persis, tegaknya Khilafah akan menghentikan agenda penjajahan mereka di Dunia Islam.

Karena itu, tentu sangat kita sayangkan kalau SBY terjebak dalam propaganda Barat ini yang mengaitkan terorisme dengan upaya penegakan syariah Islam atau Negara Islam.

Bangkit Hanya dengan Islam

Harus dikatakan, bahwa jika bangsa ini benar-benar ingin bangkit, maka kunci kebangkitan itu adalah Islam. Tanpa Islam bangsa ini akan makin tepuruk. Tanpa ideologi dan sistem Islam kondisi negeri ini akan makin memburuk. Tanpa Negara Islam (Khilafah Islam) yang menerapkan syariah Islam umat ini tak akan pernah bangkit dan akan tetap tertinggal.

Karena itu, perubahan adalah hal yang niscaya. Apalagi jika itu perubahan ke arah yang lebih baik. Allah SWT sendiri telah berfirman:

]إِنَّ اللهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ[

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada dalam suatu kaum hingga kaum itu sendiri yang mengubahnya (QS ar-Ra’du [13]: 11).

Karena itu, sangat bodoh siapapun yang tidak mau berubah dan gigih mempertahankan status-quo yang buruk. Karena itu pula, kita mempertanyakan sikap-sikap mempertahankan sistem demokrasi dan Kapitalisme yang jelas-jelas di depan mata tampak kebobrokannya. Padahal ada sistem yang lebih baik di depan matanya. Itulah sistem Islam. Itulah Khilafah Islam yang menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu a’lam. [al-islam]
Selengkapnya...

Ulama Empat Mazhab Mewajibkan Khilafah

By den_bagus on 05.06

komentar (0)

Filed Under:


Kewajiban Menegakkan Khilafah

Pada dasarnya, para ulama empat mazhab tidak pernah berselisih pendapat mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang bertugas melakukan tugas ri’âyah suûn al-ummah (pengaturan urusan umat).

Imam al-Qurthubi, seorang ulama besar dari mazhab Maliki, ketika menjelaskan tafsir surah al-Baqarah ayat 30, menyatakan, “Ayat ini merupakan dalil paling asal mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut di kalangan umat Islam maupun di kalangan ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham (Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).Al-’Allamah Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii, mengatakan,

“Para imam mazhab telah bersepakat, bahwa kaum Muslim wajib mengangkat seorang khalifah.”
(Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, XII/205)

Ulama lain dari mazhab Syafii, Imam al-Mawardi, juga menyatakan,

“Menegakkan Imamah (Khilafah) di tengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada Ijmak Sahabat.
(Imam al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 5)

Imam ‘Alauddin al-Kasani, ulama besar dari mazhab Hanafi pun menyatakan,

“Sesungguhnya mengangkat imam agung (khalifah) adalah fardhu. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq mengenai masalah ini. Penyelisihan oleh sebagian kelompok Qadariah mengenai masalah ini sama sekali tidak bernilai karena persoalan ini telah ditetapkan berdasarkan Ijmak Sahabat, juga karena kebutuhan umat Islam terhadap imam yang agung tersebut; demi keterikatan dengan hukum; untuk menyelamatkan orang yang dizalimi dari orang yang zalim; untuk memutuskan perselisihan yang menjadi sumber kerusakan dan kemaslahatan-kemaslahatan lain yang tidak akan terwujud kecuali dengan adanya imam.”
(Imam al-Kassani, Badâ’i ash-Shanai’ fî Tartîb asy-Syarâi’, XIV/406)

Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, ulama mazhab Hanbali, juga menyatakan,

“Ayat ini (QS al-Baqarah [2]: 30) adalah dalil atas kewajiban mengangkat imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati untuk menyatukan pendapat serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang kewajiban tersebut di kalangan para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham dan orang yang mengikutinya.”
(Imam Umar bin Ali bin Adil, Tafsîr al-Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, 1/204)

Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebuah riwayat yang dituturkan oleh Muhammad bin ‘Auf bin Sufyan al-Hamashi, menyatakan,

“Fitnah akan muncul jika tidak ada imam (khalifah) yang mengatur urusan manusia.”
(Abu Ya’la al-Farra’i, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm.19)

Imam Abu Muhammad Ali bin Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri dari mazhab Zhahiri menyatakan,

“Para ulama sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu dan keberadaan seorang imam itu merupakan suatu keharusan, kecuali an-Najdat. Pendapat mereka benar-benar telah menyalahi Ijmak dan pembahasan mengenai mereka telah dijelaskan sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa tidak boleh ada dua imam (khalifah) bagi kaum Muslim pada satu waktu di seluruh dunia baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka berada di satu tempat atau di dua tempat.”
(Imam Ibn Hazm, Marâtib al-Ijmâ’, 1/124)

Di tempat lain, Imam Ibnu Hazm mengatakan,

“Mayoritas Ahlus-Sunnah, Murjiah, Syiah dan Khawarij bersepakat mengenai kewajiban menegakkan Imamah (Khilafah). Mereka juga bersepakat, bahwa umat Islam wajib menaati Imam/Khalifah yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa Rasulullah saw.”
(Ibnu Hazm, Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, IV/87)

Taqarrub kepada Allah yang Paling Agung

Upaya menegakkan Khilafah Islamiyah termasuk aktivitas taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah yang paling agung. Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyyah mengatakan,

“Yang wajib adalah menjadikan kepemimpinan (imârah) sebagai bagian dari agama dan sarana untuk bertaqarrub kepada Allah. Taqarrub kepada Allah dalam hal imârah (kepemimpinan) yang dilakukan dengan cara menaati Allah dan Rasul-Nya adalah bagian dari taqarrub yang paling utama.”
(Imam Ibnu Taimiyah, As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, hlm. 161)

Al-’Allamah Ibnu Hajar al-Haitami juga menyatakan,

“Ketahuilah juga bahwa para Sahabat ra. seluruhnya telah berijmak bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya masa kenabian adalah wajib. Bahkan mereka telah menjadikan kewajiban ini sebagai kewajiban yang paling penting. Buktinya, para Sahabat lebih menyibukkan diri dengan perkara ini dibandingkan dengan mengurusi jenazah Rasulullah saw. Perselisihan mereka dalam hal penentuan (siapa yang berhak menjadi imam) tidaklah merusak ijmak yang telah disebutkan tadi.”
(Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, 1/25)

Sayangnya, mayoritas umat Islam sekarang justru lebih menyibukkan diri dengan amal-amal sunnah, semacam zikir jama’i, gerakan sedekah, shalat dhuha, puasa sunnah dan lain-lain dibandingkan dengan melibatkan dirinya dalam perjuangan menegakkan Khilafah Islamiyah. Ironisnya lagi, sebagian mereka malah menganggap perjuangan menegakkan Khilafah Islamiyah tidak lebih agung dan mulia daripada amal-amal sunnah tersebut. Tidak hanya itu, mereka juga menganggap para pengemban dakwah Khilafah sebagai orang-orang yang tidak memiliki ketinggian ruh dan akhlaq. Padahal menegakkan Khilafah Islamiyah dan sibuk dalam aktivitas ini termasuk dalam bagian dari upaya mendekatkan diri kepada Allah yang paling agung.

Tegaknya Khilafah: Janji Allah

Ulama empat mazhab juga telah menyatakan bahwa tegaknya Khilafah Islamiyah adalah janji Allah SWT kepada orang-orang Mukmin. Pasalnya, al-Quran telah menyebutkan janji ini (tegaknya kekhilafahan Islam) dengan jelas dan gamblang. Allah SWT berfirman;

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa
(QS an-Nur [24]: 55)

Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat di atas, menyatakan,

“Inilah janji dari Allah SWT kepada Rasulullah saw., bahwa Allah SWT akan menjadikan umat Nabi Muhammad saw. sebagai khulafâ’ al-ardh; yakni pemimpin dan pelindung manusia. Dengan merekalah (para khalifah) akan terjadi perbaikan negeri dan seluruh hamba Allah akan tunduk kepada mereka.”
(Imam Ibnu Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, VI/77)

Imam ath-Thabari juga menyatakan,

“Sungguh, Allah akan mewariskan bumi kaum musyrik dari kalangan Arab dan non-Arab kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih. Sungguh pula, Allah akan menjadikan mereka sebagai penguasa dan pengaturnya.”
(Imam ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, XI/208)

Janji agung ini tidak hanya berlaku bagi orang-orang yang beriman dan beramal salih pada generasi Sahabat belaka, namun berlaku juga sepanjang masa bagi orang-orang Mukmin yang beramal salih. Imam asy-Syaukani berkata,

“Inilah janji dari Allah SWT kepada orang yang beriman kepada-Nya dan melaksanakan amal salih tentang Kekhilafahan bagi mereka di muka bumi, sebagaimana Allah pernah mengangkat sebagai penguasa orang-orang sebelum mereka. Inilah janji yang berlaku umum bagi seluruh generasi umat. Ada yang menyatakan bahwa janji ini hanya berlaku bagi Sahabat saja. Sesungguhnya, pendapat semacam ini tidak memiliki dasar sama sekali. Alasannya, iman dan amal salih tidak hanya khusus ada pada Sahabat saja, namun bisa saja dipenuhi oleh setiap generasi dari umat ini.”
(Imam asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/241)

Dari uraian para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa tegaknya Khilafah Islamiyah adalah janji Allah SWT. Ini berarti bahwa Khilafah Islamiyah pasti akan ditegakkan atas izin Allah SWT. Seorang Muslim wajib mengimani bahwa Khilafah Islamiyah pasti akan tegak kembali. Seorang Muslim tidak diperkenankan sama sekali menyatakan bahwa perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah adalah perjuangan utopis, khayalan, mustahil, romantisme sejarah dan lain sebagainya. Pernyataan-pernyataan semacam itu merupakan bentuk pengingkaran dan peraguan terhadap janji Allah SWT. Siapa saja yang mengingkari dan meragukan janji Allah maka akidahnya telah rusak dan binasa. Al-Quran telah menyatakan dengan jelas, bahwa janji Allah SWT pasti ditunaikan:
السَّمَاءُ مُنْفَطِرٌ بِهِ كَانَ وَعْدُهُ مَفْعُولا

Langit pun menjadi pecah-belah pada hari itu karena Allah. Janji Allah pasti terlaksana (QS al-Muzammil [73]: 18).

لا يُخْلِفُ اللَّهُ وَعْدَهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٦)

Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS ar-Rum [30]: 6).

Lalu mengapa kita tidak bersegera melibatkan diri dalam perjuangan yang penuh keagungan dan keberkahan ini?
Lalu mengapa kita tidak bersegera melibatkan diri dalam perjuangan yang penuh keagungan dan keberkahan ini?

Benar, perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah merupakan perjuangan penuh keagungan dan keberkahan. Pasalnya, ini adalah perjuangan yang direstui, yang dinyatakan oleh para ulama mu’tabar, dan dinaungi oleh janji Allah SWT, dan keberhasilannya menjadi sebab tegaknya hukum-hukum Allah SWT secara syâmil, kâmil dan mutakâmil.

Wallâh al-Muwaffiq ilâ Aqwam ath-Thâriq.

sumber
Selengkapnya...

Harapan Umat Kepada Nahdlatul Ulama (NU)

By den_bagus on 23.12

komentar (0)

Filed Under:


Umumnya, pertahanan yang didasarkan kepada keyakinan agama akan sangat kuat, karena menurut ajaran Islam orang hanya boleh mengorbankan jiwanya untuk ideologi agama.” (KH. A. Wahid Hasyim)

Salah satu organisasi massa terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), baru saja melaksanakan Muktamar Nasional yang ke-32 . Hasilnya, KH Sahal Mahfudz terpilih kembali sebagai Rais Aam PBNU 2010-2015. Sedangkan Ketua Umum PBNU terpilih Prof Dr Said Agil Siradj. Seperti biasa Muktamar NU selalu mendapat perhatian berbagai pihak, baik dalam negeri maupun luar negeri. Kehadiran Presiden SBY membuka Muktamar kali ini menunjukkan posisi penting NU secara politik. Bisa dimengerti kalau berbagai kekuatan politik, baik langsung atau tidak bermain setiap kali muktamar.NU pun tidak lepas dari perhatian kekuatan asing. Sebagai organisasi massa keagamaan terbesar di Indonesia, sikap NU dan massanya tentu sangat berpengaruh terhadap kondisi perpolitikan maupun kenegaraan Indonesia. Corak Islam Indonesia pun sering disandarkan kepada pemikiran NU. Suara yang mengatasnamakan NU-pun menjadi sangat penting untuk dijadikan alat legitimasi berbagai kepentingan. Tentu saja mereka ingin memastikan garis pemikiran maupun kebijakan NU tidak bertentangan dengan kepentingan-kepentingan mereka.

Tidak heran upaya keras untuk meliberalkan NU sangat tampak, lewat infiltrasi pemikiran maupun lewat orang-orang tertentu yang dikenal dibina oleh Barat. Kelompok liberal ini-yang bukan mustahil melakukan infiltrasi ke tubuh NU-berusaha keras untuk menghalangi penegakan syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) . Mereka menginginkan Indonesia menjadi negara sekuler yang berpaham liberal dan pluralisme. Hal-hal yang jelas melenceng dari garis pemikiran utama NU seperti dalam Anggaran Dasar NU Pasal 2 ayat 2 tentang tujuan berdirinya NU disebutkan: “Menegakkan Syari’at Islam menurut haluan Ahlussunnah wal Jamaah”.

Sikap istiqomah dari NU menjadi sangat penting agar tidak menjadi alat kekuatan politik asing untuk menghancurkan umat Islam dan mengokohkan kepentingan penjajahan asing di Indonesia. Bukankah NU tidak bisa dipisahkan dari perjuangan melawan penjajahan? Bukan tidak mungkin NU digunakan oleh kekuatan-kekuatan asing justru untuk menghancurkan dan menghalangi perjuangan penegakan syariah Islam yang mengancam penjajahan asing .Karena itu, umat sangat berharap ada sikap tegas dari NU untuk menolak segala bentuk pemikiran sepilis (sekulerisme-pluralisme-liberalisme) yang akan menghancurkan umat dan bangsa ini.

Tentu saja kuncinya, NU harus tetap berpegang tegung pada posisi keulamaannya yang sangat mulia. Para ulama adalah pewaris para nabi. Kita tahu tugas utama para nabi termasuk Rasulullah SAW adalah untuk menegakkan tauhid dan hukum -hukum Allah SWT (syariah Islam). Hal yang sama tentu menjadi tugas para ulama saat ini .

Peran, tugas, fungsi, dan tanggung jawab para ulama dalam upaya membangkitkan umat menuju tegaknya kembali izzul Islam wal muslimin sangatlah besar. Untuk membangkitkan umat adalah penting bagi kita semua untuk menyadari bahwa seluruh problem berbagai bidang yang dihadapi umat sekarang, berpangkal pada tidak adanya kehidupan Islam di mana di dalamnya diterapkan syariah di bawah kepemimpinan seorang khalifah yang dapat melindungi umat dari berbagai serangan dan gangguan.

Pentingnya menjadikan syariah Islam sebagai dasar negara ini dengan gamblang dinyatakan oleh KH A.Wahid Hasyim ,salah satu tokoh NU yang terkemuka “Kalau presiden adalah seorang Muslim, maka peraturan- peraturan akan mempunyai ciri Islam dan hal itu akan besar pengaruhnya. Tentang Islam sebagai agama negara, hal ini akan penting artinya bagai pertahanan negara. Umumnya, pertahanan yang didasarkan kepada keyakinan agama akan sangat kuat, karena menurut ajaran Islam orang hanya boleh mengorbankan jiwanya untuk ideologi agama.”, tegas KH. A. Wahid Hasyim (BJ. Boland, “Pergumulan Islam di Indonesia” (1985)

Dalam perjuangan ini ulama sebagai pewaris para nabi (waratsatul anbiya) yang memiliki tanggung jawab yang sangat besar dalam meneruskan risalah nabiyullah Muhammad SAW, semestinya mengambil peran aktif dalam membimbing dan mengarahkan umat hingga cita-cita perjuangan tersebut benar-benar dapat diujudkan. Adalah besar harapan umat kepada ulama-ulama yang ada di NU untuk bersama-sama umat siap menjadi garda terdepan dalam perjuangan menegakkan syariah dan khilafah serta membela para pejuangnya.

Sesungguhnya, kedudukan para ulama dalam Islam merupakan kedudukan yang agung. Sungguh, al-Qur’an telah memuji ulama dengan mengatakan: “Yang takut kepada Allah dari para hamba-Nya itu hanyalah para ulama” (TQS. Fâthir [35] : 28). Para ulama merupakan pewaris para nabi, dimana di pundak mereka ada tanggung jawab mengemban risalah Islam kepada semua manusia; mengoreksi para penguasa; melakukan amar makruf nahi munkar; dan mendampingi tentara melakukan penaklukan (futuhat) .Dan demikianlah keberadaan ulama salaf (ulama generasi awal). Mereka menolak untuk berdiri-apalagi mengemis-di depan pintu penguasa. Akan tetapi, para penguasalah yang mendatangi para ulama untuk meminta nasihat dan mengambil pendapatnya.

Nasehat Imam al-Ghazali (Ihya ‘Ulumuddin, juz 7, hal. 92). penting untuk kita perhatikan: “Dulu tradisi para ulama mengoreksi dan menjaga penguasa untuk menerapkan hukum Allah SWT. Mereka mengikhlaskan niat. Pernyataannya pun membekas di hati. Namun, sekarang terdapat penguasa yang zhalim namun para ulama hanya diam. Andaikan mereka bicara, pernyataannya berbeda dengan perbuatannya sehingga tidak mencapai keberhasilan. Kerusakan masyarakat itu akibat kerusakan penguasa, dan kerusakan penguasa akibat kerusakan ulama. Adapun kerusakan ulama akibat digenggam cinta harta dan jabatan. Siapapun yang digenggam cinta dunia niscaya tidak akan mampu menguasai kerikilnya, apalagi untuk mengingatkan para penguasa dan para pembesar” (Farid Wadjdi)

NU : Perlawanan Terhadap Penjajah, Perjuangan Syariah dan Khilafah

Ada dua hal yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah NU perlawanan terhadap penjajahan, perjuangan syariah dan khilafah. Nahdlatoel Oelama lahir pada 31 Januari 1926 M./16 Rajab 1344 H. di Surabaya yang dipimpin oleh Rais Akbar Choedratoes Sjech KH. Hasjim Asj’ari. Nama Nahdlatoel Oelama merupakan kelanjutan dari nama gerakan dan nama sekolah yang pernah didirikan Nahdlatoel Wathan pada 1335 H./1916 M. di Surabaya.

Kehadiran Nahdlatoel Oelama pada periode Kebangkitan Kesadaran Nasional Indonesia mempunyai kesamaan dengan organisasi Islam yang sezaman. NU berjuang ingin menegakkan kembali kedaulatan umat Islam sebagai mayoritas. NU ingin pula menegakkan syari’ah Islam. Kebangkitan Nahdlatoel Oelama merupakan jawaban terhadap Politik Kristenisasi penjajah pemerintah kolonial Belanda yang berusaha menegakkan Hukum Barat.

Tantangan imperialis Barat, dengan Politik Kristenisasi dan upaya memberlakukan Hukum Barat, menjadikan seluruh organisasi Islam, Sjarikat Dagang Islam, Sjarikat Islam, Persjarikatan Moehammadijah, Persjarikatan Oelama, Persatoean Oemat Islam, Matla’oel Anwar, Persatoean Islam, Nahdlatoel Oelama, Perti, Al-Waslijah, serta Djamiat Choir dan Al-Irsjad, berjuang menuntut Indonesia Merdeka dan menegakkan Syariah Islam.(Ahmad Mansur Suryanegara, 2009. Api Sejarah)

Perjuangan NU juga tidak bisa dilepaskan dari cita-cita besar menjadikan Islam sebagai agama negara , menjadi dasar negara , menuju sebuah negara Islam . KH Wahid Hasyim memang memanfaatkan rancangan Pembukaan yang diusulkan tersebut sebagai suatu titik tolak untuk pengaturan lebih lanjut menuju suatu negara Islam. “Kalau presiden adalah seorang Muslim, maka peraturan- peraturan akan mempunyai ciri Islam dan hal itu akan besar pengaruhnya. Tentang Islam sebagai agama negara, hal ini akan penting artinya bagai pertahanan negara. Umumnya, pertahanan yang didasarkan kepada keyakinan agama akan sangat kuat, karena menurut ajaran Islam orang hanya boleh mengorbankan jiwanya untuk ideologi agama.”, tegas KH. A. Wahid Hasyim, salah seorang tokoh NU terkemuka (BJ. Boland, “Pergumulan Islam di Indonesia” (1985)

Dalam peran internasionalnya NU juga tidak bisa dipisahkan dari perjuangan penegakan Khilafah yang menjadi agenda penting umat Islam saat itu. Sebagai respon terhadap keruntuhan khilafah sebuah komite didirikan di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1924 diketuai oleh Wondosoedirdjo (kemudian dikenal sebagai Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA. Wahab Hasbullah(salah satu pendiri NU). Tujuannya untuk membahas undangan kongres khilafah di Kairo

Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan menyelenggarakan Kongres Al-Islam Hindia III di Surabaya pada tanggal 24-27 Desember 1924, Keputusan penting kongres ini adalah melibatkan diri dalam pergerakan khilafah dan mengirimkan utusan yang harus dianggap sebagai wakil umat Islam Indonesia ke kongres dunia Islam. Kongres ini memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kairo yang terdiri dari Suryopranoto (SI), Haji Fakhruddin (Muhammadiyah) dan KHA. Wahab dari kalangan tradisi .

Karena ada perbedaan pendapat dengan kalangan Muhammadiyah, KHA. Wahab dan 3 penyokongnya mengadakan rapat dengan kalangan ulama senior dari Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem, dan Pati. Mereka sempat mendirikan Komite Merembuk Hijaz. Komite ini dibangun dengan 2 maksud, yakni mengimbangi Komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke kalangan pembaharu, dan menyerukan kepada Ibnu Sa’ud], penguasa baru di Arab Saudi agar kebiasaan beragama yang benar dapat diteruskan . Komite inilah yang diubah namanya menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat ini tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai persoalan utama.( Bandera Islam, 16 Oktober 1924 ; Noer, Deliar (3 Maret 1973). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES) (Salman Iskandar,Mediaumat.com )

Selengkapnya...

NASRANI PUN MENGAKUI KHILAFAH

By den_bagus on 00.25

komentar (0)

Filed Under:

Bahwa Islam mengatur masalah kenegaraan sebenarnya sudah banyak dibahas oleh para fuqaha (ahli ilmu fiqih), jadi bukanlah hal yang asing. Demikian pula dikalangan para pengamat Islam dari Barat (orientalis) banyak diantara mereka mengakui bahwa Islam dan negara adalah satu hal yang tidak bisa dipisahkan.

Abdul Muta'al Muhammad al Jabari mengumpulkan pendapat para orientalis Nasrani dalam bukunya Nizhamul Hukm fi Al-Islam bi aqlaami Falaasifatin Nashara mengungkapkan antara lain:

Lorafa Gialery:
Islam itu adalah agama dan negara. Dan sekalipun Barat yang kini maju dengan memisahkan agama dari negara, tetapi Islam tetap tidak memisahkan agama dari negara.

Gustav Grembown:
Penobatan Khalifah kaum muslimin disepakati dengan ijma'. Hal ini telah diperinci oleh para fuqaha.

Bernad Lewis:
Sebelum Khilafah runtuh, para Sultan (Khalifah) adalah penguasa tanpa saingan yang hampir seluruh kaum muslimin bergabung dengannya.

M. Dhyauddin Rayyis juga mengumpulkan beberapa pendapat para orientalis dalam bukunya An Nadlariyat As-Siyasah al Islamiyah antara lain:

Thomas Arnold:
Nabi seorang kepala agama dan kepala negara.

R. Gibb:
Sejak saat itu sudahlah menjadi jelas, bahwa Islam bukanlah semata-mata keyakinan agama individual, tetapi sudah mewajibkan pembentukan suatu masyarakat yang mandiri, yang memiliki bentuk pemerintahan yang mandiri serta memiliki konstitusi dan sistem pemerintahan yang khusus.

Sementara itu dari kalangan fuqaha Islam terdahulu, masalah ini bisa dilihat dari berbagai buku yang mereka buat. Buku tersebut antara lain :

Imam Al-Ghazali:
"Oleh karena itu, dikatakan bahwa agama dan kekuasaan adalah bagai saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah fondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi akan runtuh, sedang segala sesuatu yang tidak berpenjaga akan hilang lenyap".
(Lihat Imam Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I'tiqad, halaman 199).

Muhammad bin Al-Mubarrak :
"Al-Qur'an mengandung hukum-hukum yang mustahil dapat diterapkan tanpa adanya pemerintahan dan negara (Islam) yang mengambil dan menerapkan hukum-hukum itu. Maka sesungguhnya mendirikan negara dan menjalankan tugas pemerintahan dan kekuasaan adalah bagian substansial dari ajaran Islam. Islam tidak akan tegak sempurna tanpa negara dan bahkan keislaman kaum muslimin pun tidak akan sempurna tanpa negara".
(Lihat Muhammad bin Al-Mubarrak, al-Hukmu wa ad-Daulah, halaman 11).

Syaikh Abdurrahman al-Jaziri :
"Para Imam (yaitu Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad)-Rahimahullah - telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardlu, dan bahwa kaum muslimin wajib mempunyai seorang imam (khalifah) yang akan menegakkan syi'ar-syi'ar agama, dan menolong orang-orang yang dizhalimi".
(Lihat Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh `Ala al-Madzahib al- Arba'ah, Juz V halaman 614).

Imam Ibnu Hazm:
"Seluruh golongan Ahlus Sunnah, Murji'ah, Syi'ah dan Khawarij, telah sepakat mengenai kewajiban Imamah dan bahwa ummat wajib menta'ati Imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah, dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syari'at yang dibawa Rasulullah SAW". (Lihat Ibnu Hazm, al-Fashlu fil Milal wa al-ahwa an-Nihal, juz 4, hal 87).

Imam al-Qurthubi:
"Tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya perkara itu (yakni kewajiban Khilafah) baik diantara ummat maupun diantara para imam, kecuali pendapat al-Asham -yang tuli (Arab: `asham"-tuli) terhadap syari'at- dan siapa saja yang mengambil dan mengikuti pendapatnya".
(Lihat Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, juz 1, hal. 264).

Ibnu Khaldun:
"Sesungguhnya pengangkatan Imam adalah wajib, hal ini telah diketahui secara syar'i berdasarkan ijma' shahabat dan tabi'in dan para shahabat Rasulullah Saw ketika beliau wafat mereka bergegas membai'at Abu Bakar r.a. dan menerima pandangannya dalam setiap urusan mereka dan yang demikian ini terjadi setiap masa. Tidak pernah dibiarkan kekacauan di tengah-tengah manusia pada setiap masa dan penetapan hal tersebut berdasarkan ijma' menunjukkan wajibnya pengangkatan Imam". (Lihat Ibnu Khaldun, Muqoddimah,halaman 127).

Imam al Mawardi:
"Pengangkatan Imam yang ditegakkan di tengah-tengah umat adalah wajib berdasarkan ijma' (Lihat Imam Al-Mawardi, Ahkamus-Sulthoniyah, halaman 5).

Ibnu Taimiyah :
"Wajib mengangkat Penguasa (Imarah) secara agama hal ini akan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sesungguhnya mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam pemerintahan adalah dengan taat kepada Allah SWT dan taat kepada Rasulullah Saw."
(Lihat Ibnu Taimiyah, as-Siyasah as-Syar'iyah, halaman 161).
"Wajib diketahui manusia bahwa adanya wilayatul amr (perintah) bagi manusia adalah kewajiban yang paling agung dalam agama. Bahkan tidak tegak agama dan juga persoalan dunia tanpanya (pemerintahan)."
(Lihat Ibnu Taimiyah, Majmu'ul Fatawa, halaman 390).
sumber
Selengkapnya...

APA SEBENARNYA TUJUAN DIDIRIKANNYA NU?

By den_bagus on 09.08

komentar (3)

Filed Under:

Ternyata Berdirinya NU dan Muhammadiyah berhubungan dengan respon para ulama terhadap penghapusan khalifah di Turki sebagai permasalahan serius kaum muslimin.Silahkan disimak..

oleh : Hartono Ahmad Jaiz

Untuk apa dan kenapa NU didirikan? Masalah ini sering jadi bahan pertanyaan bagi orang-orang, lebih-lebih ketika ada masalah-masalah yang janggal ataupun mencengangkan bagi masyarakat, sedang masalah itu timbul atau dilakukan oleh orang-orang NU. Bahkan di kalangan NU, hatta pemimpinnya ataupun elitnya pun perlu mencurahkan tenaga dan fikiran secara tersendiri untuk menjawab ataupun menangkis pandangan orang tentang untuk apa sebenarnya NU didirikan. Sebagaimana Abdurrahman Wahid telah berupaya menulis artikel untuk menangkis sebisa-bisanya tentang pandagan para sejarawan tentang berdirinya NU.
Oleh karena itu, setelah dikemukakan upaya Gus Dur/ Abdurrahman Wahid dalam menangkis pandangan para sejarawan, maka kini pada gilirannya ditampilkan penuturan para sejarawan mengenai kenapa NU didirikan.

Karel A. Steenbrink menulis seputar berdirinya NU sebagai berikut:

Ketika di Surabaya didirikan panitia yang berhubungan dengan penghapusan khalifah di Turki[1] Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah (yang nantinya mendirikan NU, pen) juga menjadi anggota bersama Mas Mansur (tokoh yang masuk persyarikatan Muhammadiyah sejak 1922, pen). Beberapa rencana panitia ini untuk menghadiri muktamar dunia Islam[2] tertunda, karena terjadi peperangan Wahabi di Saudi Arabia.

Beberapa waktu kemudian muktamar tersebut terlaksana meski dalam bentuk yang berbeda. Pada saat itu Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah mengundurkan diri dari kepanitiaan. Pengunduran diri itu disebabkan dia tidak jadi dikirim sebagai utusan karena pengetahuan bahasa yang kurang, di samping pengalaman dunia yang tidak cukup luas. Menurut kelompok lainnya, dia tidak dikirim karena dia akan membela kemerdekaan mazhab Syafi’i di kota Mekkah yang saat itu dikuasai Wahabi. Dan memang, yang dikirim ke Mekkah hanyalah mereka yang menolak taqlid dan dicap Wahabi, termasuk di antaranya Mas Mansur[3]

Karel A Steenbrink melanjutkan tulisannya: “Abdul Wahab Hasbullah kemudian membentuk panitia sendiri yang bernama “Comite merembuk Hijaz.” Bermula dari komite ini, pada tanggal 31 Januari 1926 didirikan Nahdlatul Ulama. Nahdlatul Ulama (NU) memang muncul sebagai protes terhadap gerakan reformasi, juga dari kebutuhan untuk mempunyai organisasi yang membela mazhab Syafi’i dan menyaingi organisasi Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Memang, tiga tahun kemudian Wahab Hasbullah bersama kawan-kawannya dari NU berangkat ke Mekkah untuk membicarakan persoalan yang berhubungan dengan ibadat dan pengajaran agama menurut mazhab Syafi’i. Pada saat itu, Raja Ibnu Saud menjanjikan tidak akan bertindak terlalu keras dan memahami keinginan NU tersebut.”[4]

Kalau ungkapan itu dikemukakan oleh peneliti Belanda, ternyata persepsi yang hampir sama ditulis pula oleh peneliti Indonesia, H Endang Saifuddin Anshari MA seperti yang ia tulis:

“Pada tanggal 31 Januari 1926 Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya, di bawah pimpinan Syaikh Hasyim Asy’ari, sebagai reaksi terhadap gerakan pembaharuan yang dibawa terutama oleh Muhammadiyah dan lain-lain. Usahanya antara lain memperkembangkan dan mengikuti salah satu dari keempat mazhab fiqh. Tahun 1952 memisahkan diri dari Masyumi dan sejak itu resmi menjadi Partai Politik Islam.”[5]

Kegiatan politik praktis NU mulai surut ketika memfusikan diri ke dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan) 1973. Lalu ditegaskan bahwa NU bukan wadah bagi kegiatan politik praktis dalam Munas (Musyawarah Nasional)nya di Situbondo Jawa Timur 1983, dan diperkuat oleh Muktamar NU 1984 yang secara eksplisit menyebut NU meninggalkan kegiatan politik praktisnya.

Dalam Muktamar ke-27 di Situbondo, NU dengan tegas menerima asas tunggal Pancasila dan menyatakan kembali kepada khittah 1926 yang berarti meninggalkan kegiatan politik praktis.[6]

Perkembangan berikutnya, pada bulan Juni 1998, PBNU memfasilitasi lahirnya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Kebijakan tersebut mengundang pro dan kontra di kalangan warga NU sendiri. Akibatnya, lahirlah Partai Nahdlatul Ummat (PNU), Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan Partasi Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI). Sementara itu, sebagian cukup besar warga NU yang lain tetap bertahan di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar.

Perkembangan berikutnya lagi, Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden RI. Melalui Muktamar pada Nopember 1999, Abdurrahman Wahid lengser sebagai ketua umum PBNU, yang telah dijabatnya selama 15 tahun. Kepemimpinan beralih dari ‘duet’ KH Ilyas Rucjhiat-KH Abdurrahman Wahid ke tangan KHMA Sahal Mahfudz- (Rais Aam Syuriyah PBNU)-KH Hasyim Muzadi (Ketua Umum Tanfidziyah PBNU).[7]

Musykilat seputar berdirinya NU

Kembali pada persoalan awal, Untuk melacak lebih cermat tentang sebenarnya untuk apa didirikannya NU, perlu disimak apa yang ditulis oleh Dr Deliar Noer. Menurutnya, penghapusan kekhalifahan di Turki menimbulkan kebingungan pada dunia Islam pada umumnya, yang mulai berfikir tentang pembentukan suatu khilafat baru. Masyarakat Islam Indonesia bukan saja berminat dalam masalah ini, malah merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Kebetulan Mesir bermaksud mengadakan kongres tentang khilafat pada bulan Maret 1924, dan sebagai sambutan atas maksud ini suatu Komite Khilafat didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA Wahab Hasbullah. Kongres Al-Islam ketiga di Surabaya bulan Desember 1924 antara lain memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kongres Kairo, terdiri dari Surjopranoto (Saerkat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah) serta KHA Wahab dari kalangan tradisi.

Tetapi kongres di Kairo itu ditunda[8], sedangkan minat orang-orang Islam di Jawa tertarik lagi pada perkembangan di Hijaz di mana Ibnu Sa’ud berhasil mengusir Syarif Husein dari Mekkah tahun 1924. Segera setelah menangani ini pemimpin Wahabi itu mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktek beragama sesuai dengan ajarannya, walaupun ia tidak melarang pelajaran mazhab di Masjid al-Haram. Tindakannya ini sebagian mendapat sambutan baik di Indonesia, tetapi sebagian juga ditolak. Tetapi dengan kemenangan Ibnu Sa’ud ini, baik Mekkah maupun Kairo berebut kedudukan khalifah.[9]

Suatu undangan dari Ibnu Sa’ud kepada kaum Islam di Indoesia untuk menghadiri kongres di Mekkah dibicarakan di kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan di kongres Al-Islam kelima di Bandung (6 Februari 1926). Kedua kongres ini kelihatannya didominasi oleh golongan pembaharu Islam. Malah sebelum kongres di Bandung suatu rapat antara organisasi-organisasi pembaharu di Cianjur, Jawa Barat (8-10 Januari 1926) telah memutuskan untuk mengirim Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan Kiyai Haji Mas Mansur dari Muhammadiyah ke Mekkah untuk mengikuti kongres.

Pada kongres di Bandung yang memperkuat keputusan rapat di Cianjur, KHA Abdul Wahab (Hasbullah, pen) atas nama kalangan tradisi memajukan usul-usul agar kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun kuburan, membaca do’a seperti dalail al-khairat[10], ajaran mazhab, dihormati oleh kepala negeri Arab yang baru dalam negaranya, termasuk di Mekkah dan Madinah. Kongres di Bandung itu tidak menyambut baik usul-usul (Wahab Hasbullah) ini, sehingga Wahab dan tiga orang penyokongnya keluar dari Komite Khilafat tersebut di atas. Wahab selanjutnya mengambil inisiatif untuk mengadakan rapat-rapat kalangan ulama Kaum Tua, mulanya ulama dari Surabaya, kemudian juga dari Semarang, Pasuruan, Lasem dan Pati. Mereka bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut Komite Merembuk Hijaz. Komite inilah yang diubah menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat ini masih tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai pokok pembicaran utama.[11]

Deliar Noer menjelaskan suara Kaum Tua (NU, organisasi baru muncul) sebagai berikut:

Bani Sa’ud An-Nadjdi di zaman dahulu terkenal dengan aliran Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab, menurut kitab-kitab tarikh... Belum lagi diketahui dengan pasti aliran apa yang dianut Raja Sa’ud sekarang (masih Wahabi atau bermazhab empat), tetapi khabar mutawatir menyebutkan mereka merusak pada qubah-qubah, melarang Dalail al-Khairat dan sebagainya.

...Kita kaum Muslimin, meskipun kaum tua, juga ada merasa ada mempunyai hak yang berhubungan dengan tanah (suci) dalam hal agama, karena di situ ada Qiblat dan (tempat) kepergian haji kita dan beberapa bekas-bekas Nabi kita bahkan quburannya juga. Walhal, kita ada anggap Sunnat-Muakkad ziarah di mana qubur tersebut.[12]

Organiasi baru ini (NU) menekankan keterikatannya pada mazhab Syafi’i dan memutuskan untuk berusaha sungguh-sungguh guna menjaga langsungnya kebiasaan bermazhab di Mekkah dan di Indonesia. Sebaliknya dikatakan bahwa tidak terkandung maskud apapun untuk menghalangi mereka yang tidak mau mengikuti mazhab Syafi’i.

Rapat (komite Hijaz/ NU) bulan Januari 1926 itu memutuskan untuk mengirim dua orang utusan menghadap Raja Ibnu Sa’ud untuk mempersembahkan pendapat organisasi tentang masalah mazhab, serta juga mengadakan seruan kepada raja tersebut untuk mengambil langkah-langkah guna kepentingan mazhab serta memperbaiki keadaan perjalanan haji.(Utusan itu akan terdiri dari Kiyai Haji Khalil dari Lasem dan Kiyai Haji Abdul Wahab dari Surabaya. Menurut Bintang Islam, IV, 1926, No 6, hal 96-98, Nahdlatul Ulama akan meminta Ibnu Sa’ud agar:

... tidak melarang kepada siapapun orang yang menjalankan mazhab Syafi’i.

...melarang atau sehingga menyiksa barang siapa yang mengganggu atau menghalang-halangi perjalanannya mazhab Syafi’i.

...menetap adakan angkatan ziarah ke Medinah al-Munawarah dan ziarah di beberapa quburnya syuhada dan bekas-bekas mereka itu.

...tidak mengganggu orang yang menjalankan wirid zikir yang benar atau wirid membaca Dalail al-Khairat atau Burdah atau mengaji kitab fiqh mazhab Syafi’i, seperti Tuhfah, Nihayah, Bajah.

... memelihara qubur Rasulullah saw sebagaimana yang sudah-sudah.

...jangan sampai merusak qubah-qubahnya syuhada...dan qubahnya aulia atau ulama...

...mengadakan tarif biaya barang-barang atau orang-orang yang masuk pada pelabuhan Jeddah dan tarif ongkos-ongkosnya orang haji mulai Jeddah terus Madinah...

...melarang Syeikh-syeikh haji Mekkah turun (datang) ke Tanah Jawa perlu mencari jama’ah haji sebab jalan yang demikian itu menghilangkan kehebatan Tanah Mekah dan kemudian umumnya orang-orang Mekkah, serta menjadikan tambahnya ongkos-ongkos...., lebih utama dalam pemerintahan mengadakan satu Komite pengurus haji di Mekkah).[13]

Suatu odiensi dengan Raja Ibnu Sa’ud juga diminta dengan perantaraan Konsulat Belanda di Jeddah, tetapi kedua orang utusan itu tak dapat berangkat karena terlambat memesan tempat di kapal. Sebagai gantinya Nahdlatul Ulama mengawatkan isi keputusan rapat mereka kepada kepala negara Saudi dengan tambahan permintaan agar isi keputusan ini dapat dimasukkan ke dalam undang-undang Hijaz.

Tidak ada jawaban terhadap permintaan ini. Dalam pada itu Nahdlatul Ulama beranggapan bahwa kongres Islam di Mekkah tahun 1926 yang dihadiri oleh Tjokroaminoto dan Mansur sebagai suatu “kegagalan” oleh sebab itu tidak ada sebuah pun masalah agama dibicarakan.

Tak lama sesudah kongres Al-Islam keenam di Surabaya dalam bulan September 1926 (kongres ini mengubah kedudukannya menjadi cabang kongres Islam di Mekkah), Nahdlatul Ulama melahirkan sikap tidak setujunya dengan kongres tersebut serta terhadap pemerintahan Ibnu Sa’ud. Organisasi ini (NU) malah menghasut kaum Muslimin agar membenci ajaran Wahabi serta penguasanya di Tanah Suci, dan menyarankan orang-orang agar jangan pergi naik haji.[14]

Tetapi pada tahun berikutnya Nahdlatul Ulama mengutus delegasi ke Mekkah. Pada tanggal 27 Maret 1928 Nahdlatul Ulama mengumumkan bahwa Abdul Wahab dan Ustadz Ahmad Ghanaim Al-Amir (Al-Misri) akan pergi ke Mekkah sebagai perutusan mereka. Dalam bulan itu juga keduanya berangkat; Abdul Wahab singgah di Singapur untuk mempropagandakan pendiriannya di kalangan orang Islam di Pulau itu, dan sampai di Tanah Suci tanggal 17 April 1928. Pada tanggal 13 Juni 1928 mereka diterima oleh Raja. Pada kesempatan ini kedua utusan tersebut juga meminta Raja Ibnu Sa’ud agar membuat hukum yang tetap di Hijaz. Mereka mohon jawaban terhadap seruan mereka.

Dalam jawabannya, berupa surat, Raja mengatakan bahwa perbaikan di Hijaz memang merupakan kewajiban tiap pemerintahan di negeri itu. Ia menambahkan akan memperbaiki keadaan perjalanan haji sejauh perbaikan ini tidak melanggar ketentuan Islam. Ia juga sependapat bahwa kaum Muslimin bebas dalam menjalankan poraktek agama dan keyakinan mereka, kecuali urusan yang Tuhan Allah mengharamkan dan tiada terdapat sesuatu dalil dari Kitab-Nya Tuhan Allah dan tiada sunnat Rasulullah saw, dan tidak ada dalam mazhabnya orang dulu-dulu yang saleh-saleh, dan tidak dari sabda salah satu imam empat.[15]

Surat resmi balasan Raja Saudi kepada NU

Untuk menghindari berbagai interpretasi dari berita-berita yang berkembang tentang isi surat Raja Ibn Sa’ud, baik dari kalangan NU maupun non NU, maka di sini dikutip secara utuh surat resmi Raja Saudi kepada NU:

بسم الله الرحمن الرحيم
KERAJAAN HIJAZ, NEJD DAN SEKITARNYA

Nomor: 2082 – Tanggal 24 Dzulhijjah 1346H.

Dari : Abdul Aziz bin Abdur Rahman Al-Faisal
Kepada Yth. Ketua Organisasi Nahdlatul Ulama di Jawa
Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari dan Sekretarisnya Syaikh Alawi bin Abdul Aziz ( semoga Allah melindungi mereka).

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته.

Surat saudara tertanggal 5 Syawwal 1346H telah sampai kepada kami. Apa yang saudara sebutkan telah kami fahami dengan baik, terutama tentang rasa iba saudara terhadap urusan ummat Islam yang menjadi perhatian suadara, dan delegasi yang saudara tugaskan yaitu H. Abdul Wahab, Sekretaris I PBNU, dan Ustadz Syaikh Ahmad Ghanaim Al-Amir, Penasihat PBNU telah kami terima dengan membawa pesan-pesan dari saudara.

Adapun yang berkenaan dengan usaha mengatur wilayah Hijaz, maka hal itu merupakan urusan dalam negeri Kerajaan Saudi Arabia, dan Pemerintah dalam hal itu berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan segala kemudahan bagi jemaah haji di Tanah Suci, dan tidak pernah melarang seorang pun untuk melakukan amal baik yang sesuai dengan Syari’at Islam.

Adapun yang berkenaan dengan kebebasan orang, maka hal itu adalah merupakan suatu kehormatan, dan alhamdulillah, semua Ummat Islam bebas melakukan urusan mereka, kecuali dalam hal-hal yang diharamkan Allah, dan tidak ada dalil yang menghalalkan perbuatan tersebut, baik dari Al-Qur’an, Sunnah, Mazhab Salaf Salih dan dari pendapat Imam empat Mazhab. Segala hal yang sesuai dengan ketentuan tersebut, kami lakukan dan kami laksanakan, sedang hal-hal yang menyelisihinya, maka tidak boleh taat untuk melakukan perbuatan maksiat kepada Allah Maha Pencipta.

Tujuan kita sebenarnya adalah da’wah kepada apa yang dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw dan inilah agama yang kami lakukan kepada Allah. Alhamdulillah kami berjalan sesuai dengan faham ulama Salaf yang Salih, mulai dari Sahabat Nabi hingga Imam empat Mazhab.

Kami memohon kepada Allah semoga memberi taufiq kepada kita semua ke jalan kebaikan dan kebenaran serta hasil yang baik. Inilah yang perlu kami jelaskan. Semoga Allah melindungi saudara semua.

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته.

Tanda tangan dan stempel[16]

Demikianlah surat Raja Abdul Aziz membalas surat Ketua PBNU, 13 Juni 1928, 24 Dzulhijjah 1346H.



(Gambar surat Raja/ scan surat)



Masalah Kitab Dalail al-Khairat

Nahdlatul Ulama, baik secara perorangan kiyai-kiyainya maupun secara organisasi, dalam sejarahnya telah dengan gigih mempertahankan wiridan dengan membaca Kitab Dalail al-Khairat. “Perjuangan” mereka itu bukan hanya di Indonesia di depan kalangan kaum pembaharu, namun bahkan sampai ke Raja Saudi dengan jalan mengirimkan surat yang di antara isinya mempertahankan wiridan dari kitab karangan orang mistik./ shufi dari Afrika Utara, Al-Jazuli itu. Meskipun demikian, kaum pembaharu di Indonesia tidak menggubris upaya-upaya kaum Nahdliyin/ NU itu. Demikian pula Raja Saudi tidak menjawabnya secara khusus tentang Kitab Dalail al-Khairat itu.

Untuk memudahkan pembaca, maka di sini diturunkan fatwa tentang boleh tidaknya membaca atau mewiridkan Kitab Dalail al-Khairat itu dari Lajnah Daimah kantor Penelitian Ilmiyah dan Fatwa di Riyadh. Ada pertanyaan dan kemudian ada pula jawabannya, dikutip sebagai berikut:



Soal kelima dari Fatwa nomor 2392:

Soal 5: Apa hukum wirid-wirid auliya’ (para wali) dan shalihin (orang-orang shalih) seperti mazhab Qadyaniyah dan Tijaniyah dan lainnya? Apakah boleh memeganginya ataukah tidak, dan apa hukum Kitab Dalail al-Khairat?

Jawab 5: Pertama: Telah terdapat di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits nash-nash (teks) yang mengandung do’a-do’a dan dzikir-dzikir masyru’ah (yang disyari’atkan). Dan sebagian ulama telah mengumpulkan satu kumpulan do’a dan dzikir itu, seperti An-Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar , Ibnu as-Sunni dalam Kitab ‘Amalul Yaum wallailah, dan Ibnul Qayyim dalam Kitab Al-Wabil As-Shoib, dan kitab-kitab sunnah yang mengandung bab-bab khusus untuk do’a-do’a dan dzikir-dzikir, maka wajib bagimu merujuk padanya.

Kedua: Auliya’ (para wali) yang shalih adalah wali-wali Allah yang mengikuti syari’at-Nya baik secara ucapan, perbuatan, maupun i’tikad (keyakinan). Dan adapun kelompok-kelompok sesat seperti At-Tijaniyyah maka mereka itu bukanlah termasuk auliya’ullah (para wali Allah). Tetapi mereka termasuk auliya’us syaithan (para wali syetan). Dan kami nasihatkan kamu membaca kitab Al-Furqon baina auliya’ir Rahman wa Auliya’is Syaithan, dan Kitab Iqtidhous Shirothil Mustaqiem Limukholafati Ash-habil Jahiem, keduanya oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Ketiga: Dari hal yang telah dikemukakan itu jelas bahwa tidak boleh bagi seorang muslim mengambil wirid-wirid mereka dan menjadikannya suatu wiridan baginya, tetapi cukup atasnya dengan yang telah disyari’atkan yaitu yang telah ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Keempat: Adapun Kitab Dalail al-Khairat maka kami nasihatkan anda untuk meninggalkannya, karena di dalamnya mengandung perkara-perkara al-mubtada’ah was-syirkiyah (bid’ah dan kemusyrikan). Sedangkan yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah terkaya darinya (tidak butuh dengan bid’ah dan kemusyrikan yang ada di dalam Kitab Dalail Al-Khairat itu).

Wabillahit taufiq. Washollallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad, wa alihi washohbihi wasallam.

Al-Lajnah Ad-Da’imah lil-Buhuts al-‘Ilmiyyah wal Ifta’:

Ketua Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, anggota Abdullah bin Ghadyan, anggota Abdullah bin Qu’ud.[17]



Dalam Kitab Dalail al-Khairat di antaranya ada shalawat bid’ah sebagai berikut:

اللهم صل على محمد حتى لايبقى من الصلاة شيء وارحم محمدا حتى لايبقى من الرحمة شيء .



“Ya Allah limpahkanlah keberkahan atas Muhammad, sehingga tak tersisa lagi sedikitpun dari keberkahan, dan rahmatilah Muhammad, sehingga tak tersisa sedikitpun dari rahmat.”

Lafadh bacaan shalawat dalam Kitab Dalail Al-Khairat di atas menjadikan keberkahan dan rahmat, yang keduanya merupakan bagian dari sifat-sifat Allah, bisa habis dan binasa. Ucapan mereka itu telah terbantah oleh firman Allah:

قل لو كان

بمثله مددا ( الكهف: 109)



“Katakanlah, ‘Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (Al-Kahfi: 109).[18]

Dari kenyataan usulan resmi NU kepada Raja Saudi Arabia yang ingin agar tetap dibolehkan membaca dzikir dan wiridan yang diamalkan oleh sebagian orang NU di antaranya do’a-do’a dalam Kitab Dalailul Khiarat (tentunya termasuk pula dzikir-dzikir aneka aliran thariqat/ tarekat), dan kenyataan fatwa ulama resmi Saudi Arabia, maka sangat bertentangan. NU menginginkan untuk dilestarikan dan dilindungi. Sedang ulama Saudi menginginkan agar ditinggalkan, karena mengandung bid’ah dan kemusyrikan, sedang penganjurnya yang disebut syaikh pun digolongkan wali syetan. Hanya saja kasusnya telah diputar sedemikian rupa, sehingga balasan surat Raja Saudi Arabia yang otentiknya seperti tercantum di atas, telah dimaknakan secara versi NU yang seolah misi NU itu sukses dalam hal direstui untuk mengembangkan hal-hal yang NU maui. Hingga surat Raja Saudi itu seolah jadi alat ampuh untuk menggencarkan apa yang oleh ulama Saudi disebut sebagai bid’ah dan kemusyrikan.

Di antara buktinya, bisa dilihat ungkapan yang ditulis tokoh NU, KH Saifuddin Zuhri sebagai berikut:

“Misi Kyai ‘Abdul Wahab Hasbullah ke Makkah mencapai hasil sangat memuaskan. Raja Ibnu Sa’ud berjanji, bahwa pelaksanaan dari ajaran madzhab Empat dan faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada umumnya memperoleh perlindungan hukum di seluruh daerah kerajaan Arab Saudi. Siapa saja bebas mengembangkan faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah ajaran yang dikembangkan oleh Empat Madzhab, dan siapa saja bebas mengajarkannya di Masjidil Haram di Makkah, di Masjid Nabawi di Madinah dan di manapun di seluruh daerah kerajaan.[19]

Apa yang disebut hasil sangat memuaskan, dan bebasnya mengembangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itulah yang dipasarkan oleh NU di masyarakat dengan versinya sendiri. Sebagaimana pengakuan Abdurrahman Wahid, didirikannya NU itu untuk wadah berorganisasi dan mengamalkan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah versinya sendiri. Versinya sendiri yaitu yang memperjuangkan lestarinya tradisi mereka di antaranya yang telah diusulkan dengan nyata-nyata bukan hanya di dalam negeri tetapi sampai di Saudi Arabia yaitu pengamalan wirid Kitab Dalail Al-Khairat dan dzikir-dzikir lainnya model NU di antaranya tarekat-tarekat. Akibatnya, sekalipun ulama Saudi Arabia secara resmi mengecam amalan-amalan yang diusulkan itu ditegaskan sebagai amalan yang termasuk bid’ah dan kemusyrikan, namun di dalam negeri Indonesia, yang terjadi adalah sebaliknya. Seakan amalan-amalan itu telah mendapatkan “restu” akibat penyampaian-penyampaian kepada ummat Islam di Indonesia yang telah dibikin sedemikian rupa (bahwa misi utusan NU ke Makkah sukses besar dan direstui bebas untuk mengamalkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah) sehingga amalan-amalan itu semakin dikembangkan dan dikokohkan secara organisatoris dalam NU. Bahkan secara resmi NU punya lembaga bernama Tarekat Mu’tabarah Nahdliyin didirikan 10 Oktober 1957 sebagai tindak lanjut keputusan Muktamar NU 1957 di Magelang. Belakangan dalam Muktamar NU 1979 di Semarang ditambahkan kata Nahdliyin, untuk menegaskan bahwa badan ini tetap berafiliasi kepada NU.[20]

Setelah bisa ditelusuri jejaknya dari semula hingga langkah-langkah selanjutnya, maka tampaklah apa yang mereka upayakan –dalam hal ini didirikannya NU itu untuk apa-- itu sebenarnya adalah untuk melestarikan dan melindungi amalan-amalan yang menjadi bidikan kaum pembaharu ataupun Muslimin yang konsekuen dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tanpa adanya organisasi yang menjadi tempat berkumpul dan tempat berupaya bersama-sama secara maju bersama, maka amalan mereka yang selalu jadi sasaran bidik para pembaharu yang memurnikan Islam dari aneka bid’ah, khurafat, takhayul, dan bahkan kemusyrikan itu akan segera bisa dilenyapkan bagai lenyapnya kepercayaan Animisme yang sulit dikembang suburkan lagi. Menyadari akan sulitnya dan terancamnya posisi mereka ini baik di dalam negeri maupun di luar negeri terutama ancaman dari Saudi Arabia, maka mereka secara sukarela lebih merasa aman untuk bergandeng tangan dengan kafirin dan musyrikin, baik itu kafirin Ahli Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani, maupun kafirin anti Kitab yaitu PKI (Komunis) dan anak cucunya, serta musyrikin yaitu Kong Hucu, Hindu, Budha; dan Munafiqin serta kelompok nasionalis sekuler anti syari’at Islam ataupun kelompok kiri anti Islam.

Untuk itulah dia lahir atau dilahirkan, sepanjang data dan fakta yang bisa dilihat dan dibuktikan, namun bukan berarti hanya untuk itu saja. Bagaimana pula kalau ini justru dijadikan alat oleh musuh Islam untuk kepentingan mereka?


--------------------------------------------------------------------------------

[1] Pada tahun 1924 kekhalifahan di Turki dihapuskan oleh pemerintahan Mustafa Kemal Attaturk yang sekuler dengan menamakan pemerintahannya Republik Turki, diproklamirkan 19 Oktober 1923. Langkah pertama sekulerisasi adalah penghapusan Islam sebagai agama resmi negara, kedua penghapusan lembaga kesultanan, dan berikutnya penghapusan kekhalifahan, menyusul digantinya syari’at Islam dengan hukum positif ala Barat. Lalu digantinya huruf Arab dengan huruf Latin dan dilarangnya “pakaian Arab”. Rakyat Turki, terutama aparat pemerintah, harus menggunakan pakaian ala Eropa. Bacaan ibadah harus menggunakan bahasa Turki, namun tidak berlangsung lama, karena protes datang dari berbagai ulama di dalam maupun luar negeri. (lihat Leksikon Islam, Pustazet Perkasa, Jakarta, 1988, jilid 2, halaman 733).

[2] Muktamar Dunia Islam itu disebut Kongres Khilafah yang akan diadakan di Kairo pada bulan Maret 1925. Kongres luar biasa di Surabaya (Desember 1924, yang diikuti Wahab Hasbullah tersebut di atas, pen) membicarakan perutusan Indonesia ke Kongres Khilafah di Kairo. Lalu dalam bulan Agustus 1925 diadakan kongres bersama SI (Sarikat Islam) – Al-Islam di Yogyakarta. Cokroaminoto (dari CSI) dan KH Mas Mansur (dari Muhammadiyah) ditunjuk sebagai utusan Komite Kongres Al-Islam yang akan diadakan pada 1 Juni 1926 di Makkah atas prakarsa Raja Ibn Sa’ud. Soal pemerintahan di Makkah dan Madinah akan menjadi acara. (Lihat Leksikon Islam, 1, halaman 340).

[3] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, LP3ES, Jakarta, cetakan pertama, 1986, halaman 67, merujuk pula pada Sekaly, Les deux congres generaux de 1926. Pada saat itu gelar Wahabi diberikan kepada semua kamum ”modernis”, yang tidak lagi mau terikat kepada mazhab tertentu. Orang Syafi’i takut, bahwa maqam Imam Syafi’i akan dibongkar dan bahwa ajarannya tidak lagi boleh diajarkan di Mekkah, padahal Mekkah untuk kelompok tradisional pada waktu itu tetap merupakan perguruan yang paling disukai.

[4] Steenbrink, ibid, halaman 68.

[5] H Endang Saifuddin Anshari, MA, Wawasan Islam, Rajawali, Jakarta, cetakan pertama, 1986, halaman 263- 264.

[6] Leksikon Islam, 2, halaman 520.

[7] M Said Budairy, 75 Tahun NU, Ujian Berat Khittah, Republika, Rabu 31 Januari 2001, halaman 6.

[8] Deliar Noer mengutip Bendera Islam, 22 Januari 1925. Konferensi tersebut ditunda oleh karena peperangan masih berkecamuk di Hijaz, sehingga akan sukar bagi negeri Arab ini untuk datang. Lagi pula, beberapa negeri Islam lain meminta panitia bersangkutan di Kairo untuk mendapat berbagai macam keterangan tentang konferensi dan agar mengirim missi ke negeri-negeri tersebut. Di samping itu Mesir juga menghadapi pemilihan umum.

[9] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta, cetakan ketiga, 1985, halaman 242-243.

[10] Menurut catatan Deliar Noer, ini merupakan koleksi do’a yang berasal dari seorang mistikus Afrika Utara di abad ke-15, Al-Jazuli. Taha Husein, seorang pengarang terkenal di Mesir dan pernah menjadi menteri pendidikan negeri tersebut, ketika masa mudanya menjadi murid Muhammad Abduh di Al-Azhar, pernah mengecam ayahnya membaca Dalail al-Khairat. Katanya ini menyebabkan “waktu terbuang secara bodoh”. Lihat Taha Husein, Al-Ayyam, II (Kairo: Dar al-Maarif, tiada tanggal), hal. 123. Lihat pula masalah Dalail al-Khairat pada buku yang Anda baca ini selanjutnya.

[11] Deliar Noer, ibid, halaman 243, mengutip Utusan Nahdlatul Ulama, Tahun I No. I (1 Rajab 1347H; yaitu 14 Desember 1928), hal 9.

[12] Deliar, ibid hal 244, mengutip Utusan Nahdlatul Ulama, ibid, hal 9.

[13] Deliar, ibid, hal 244.

[14] Deliar Noer, ibid, halaman 245

[15] Surat ini bertanggal 24 Zulhijjah 1346 H (13 Juni 1928), No 2082, Lihat Utusan Nahdlatul Ulama, Tahun 1, No 1, dikutip Deliar Noer, halaman 246.

[16] Al-Arkhabil, Tahun 5, vol 8, Sya’ban 1420H Nopember 1999, LIPIA, Jakarta, halaman 22.

[17] Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah lilbuhuts al-‘ilmiyyah wal Ifta’, Darul ‘Ashimah, Riyadh, cetakan 3, 1419H, halaman 320-321.

[18] Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Minhajul Firqah an-Najiyah wat Thaifah al-Manshuroh, diterjemahkan Ainul Haris Umar Arifin Thayib Lc menjadi Jalan Golongan yang Selamat, Darul Haq, Jakarta, cetakan I, 1419H, 171-172.

[19] KH Saifuddin Zuhri, Sejarah kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, PT Al-Ma’arif, Bandung, cetakan ketiga, 1981, halaman 611.

[20] Hartono Ahmad Jaiz, Mendudukkan tasawuf, Gus Dur Wali? , Darul Falah, Jakarta, cetakan kedua, 1420H/ 2000M, halaman 121.
sumber
Selengkapnya...

Goal Setting Penerapan Syari’at Islam (Maqâshid asy-Syar’iy)

By den_bagus on 06.01

komentar (0)

Filed Under:

Untuk melihat lebih jauh tentang potensi penerapan syari’at Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, perlu kita kaji tujuan luhur penerpaan syari’at Islam dalam memelihara kehidupan masyarakat dengan hukum-hukum yang dapat ditargetkan dan diandalkan untuk memelihara aspek-aspek penting Paling tidak ada 8 aspek dalam kehidupan luhur masyarakat manusia yang dipelihara dalam penerapan syari’at Islam, yaitu (lihat Muhammad Husain Abdullah, Dirasat fil Fikri al Islami, 1990, hlm. 61):
1. Memelihara keturunan, yakni dengan mensyariatkan nikah dan mengharamkan perzinaan, serta menetapkan berbagai sanksi hukum terhadap para pelaku perzinaan itu, baik hukum jilid maupun rajam. Dengan itu, kesucian dan kebersihan serta kejelasan keturunan terjaga (Lihat: TQS an-Nisa’: 1; TQS ar-Rum: 21; TQS an-Nur: 2).

Cobalah bandingkan dengan sistem demokrasi yang memberikan kebebasan pribadi, kebebasan berperilaku, kebebasan berhubungan seksual (freesex), homoseks, lesbianisme, dan sebagainya yang mereka anggap sebagai bagian dari HAM. Semua itu berujung pada ketidakjelasan keturunan, perselingkuhan, brokenhome, keterputusan hubungan kekeluargaan, dan merebaknya berbagai penyakit kelamin dan AIDS. Kejadian-kejadian demikian bukan hanya merugikan kaum muslim melainkan seluruh kemanusiaan. Sebaliknya, dengan Islam hal tersebut ditiadakan dalam kehidupan. Keuntungan pun akan dirasakan oleh setiap manusia baik muslim atau non muslim.

2. Memelihara akal, yakni dengan mencegah dan melarang dengan tegas segala perkara yang merusak akal seperti minuman keras (muskir) dan narkoba (muftir) serta menetapkan sanksi hukum terhadap para pelakunya. Di samping itu, Islam mendorong manusia untuk menuntut ilmu, melakukan tadabbur, ijtihad, dan berbagai perkara yang bisa mengembangkan potensi akal manusia dan memuji eksistensi orang-orang berilmu (Lihat: TQS al-Maidah: 90-91; TQS az-Zumar: 9; TQS al- Mujadilah: 11 ). Pemeliharaan akal demikian dilakukan bagi setiap orang tanpa memandang agamanya apa. Bila demikian, kemaslahatannya pun akan dirasakan oleh semua manusia siapapun dia. Secara kolektif hal ini sangat meminimumkan social cost yang harus dibayar oleh umat manusia.

Bandingkan dengan cara-cara penanganan pemerintahan kapitalis yang selalu bersikap kompromistis (pemecahan jalan tengah) yang telah menghabiskan bermilyar dolar tanpa hasil yang nyata. Mereka melarang konsumsi alkohol tetapi tidak menutup pabriknya. Uang dan kebebasan memiliki harta merupakan dorongan kuat bagi para bandar ekstasi dan mafia obat bius untuk tetap melakukan bisnis barang yang sangat merusak generasi anak manusia. Ditemukannya pabrik ekstasi terbesar baru-baru ini di Tangerang tidak jelas bagaimana ujungnya.

3. Memelihara kehormatan, yakni dengan melarang orang menuduh zina, mengolok, menggibah, melakukan tindakan mata-mata, dan menetapkan sanksi-saksi hukum bagi para pelakunya. (Lihat: TQS an-Nur: 4; TQS al-Hujurat: 10-12). Selain itu, Islam mendorong manusia untuk menolong orang yang terkena musibah dan memuliakan tamu. Aturan demikian bukan hanya untuk sesama kaum muslim, melainkan juga untuk setiap manusia.

Bandingkan dengan kebebasan berbicara dan berperilaku yang diberikan demokrasi kapitalistik. Kebebasan semacam ini membuat manusia tidak menghormati sesamanya, anak tidak menghormati orang tuanya, istri tidak menghormati suaminya, bahkan manusia tidak menghormati tuhannya. Tidak sedikit orang-orang Amerika yang membuat parodi dan film yang melecehkan Yesus Kristus maupun tuhan mereka yang lain. Pastur dan gereja adalah bahan olokan dan ejekan yang biasa.

4. Memelihara jiwa manusia, yakni dengan menetapkan sanksi hukuman mati bagi orang yang telah membunuh tanpa hak, dan menjadikan hikmah dari hukuman itu (qishash) adalah untuk memelihara kehidupan (Lihat: TQS al-Baqarah: 179). Kalaupun tidak dikenai hukum Qishash, yang berlaku adalah hukum diat. Berdasarakan diat ini keluarga korban berhak atas ganti rugi yang wajib diberikan pihak keluarga pembunuh sebesar 1000 dinar (4250 gram emas) atau 100 ekor onta atau 200 ekor sapi (lihat Abdurrahman Al Maliki, Nizham Uqubat,Dâr al-Ummah, hlm. 87 - 121). Dengan syariat Islam jiwa setiap orang terjaga, mulai dari janin hingga dewasa. Dengan syariat Islam setiap warga negara Islam apapun suku, ras dan agamanya dipelihara dan dijamin keselamatan jiwanya.

Bandingkan dengan harga murah nyawa manusia di berbagai penjara di sejumlah negara yang menganut sistem demokrasi dan sistem hukum pidana Barat. Bandingkan dengan murahnya nyawa dalam pandangan para pemilik pabrik senjata dan para pedagang senjata internasional yang senantiasa membuat berbagai rekayasa untuk menyulut peperangan di berbagai belahan dunia. Demi dolar, mereka tidak memperdulikan harga nyawa manusia. Bahkan, mereka lebih menyayangi nyawa ikan paus daripada nyawa anak Adam. Lihat bagaimana mereka begitu sungguh-sungguh melindungi ikan paus , dengan alasan untuk melestarikannya. Sebaliknya, bagaimana mereka, dengan alasan teroris, membunuh ribuan nyawa pejuang-pejuang Islam di Palestina. Perang Dunia I dan II, Perang Vietnam, Perang Teluk, Perang Bosnia, Perang Kosovo, Perang Albania, embargo terhadap Irak, pembantaian muslim Palestina, Penghancuran Afghanistan, Chechnya dan Dagestan adalah secuil bukti nyata tak terbantahkan.

5. Memelihara harta, yakni dengan menetapkan sanksi hukum terhadap tindakan pencurian dengan hukuman potong tangan yang akan mencegah manusia dari tindakan menjarah harta orang lain. (Lihat: TQS al-Maidah: 38). Demikian pula peraturan pengampunan (hijr), yakni pencabutan hak mengelola harta bagi orang-orang bodoh dengan menetapkan wali yang akan memelihara harta yang bersangkutan (Lihat: TQS an-Nisa 5; TQS al-Baqarah: 282). Islam juga melarang tindakan belanja berlebihan, yakni belanja pada perkara haram (Lihat: TQS al-Isra’: 29; TQS al-An’am: 141; TQS al-Isra’: 26-27). Ketetapan Islam demikian diperuntukkan bagi semua warga negaranya, tanpa memandang agamanya. Karena itu, siapapun orang yang hidup dalam naungan syariat Islam terpelihara hartanya dan terjamin haknya untuk menjalankan usaha.

Bandingkan dengan sistem demokrasi yang memberikan kebebasan kepemilikan sebagai bagian dari HAM yang membuat orang menghalalkan segala cara demi uang. Penipuan, penyuapan, sabotase, perampokan, pencurian, penjebolan bank melalui internet, apa yang terkenal dengan white colar crime hingga perebutan harta di pengadilan adalah hal biasa. Hukuman penjara bu­kanlah penyelesaian. Bahkan, tidak jarang, penjara adalah “ajang training dan penambahan wawasan” bagi para pelaku tindak kriminal. Tindak kriminal dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi, dari yang terang-terangan hingga yang paling tersembunyi, dari yang kasar hingga yang paling halus, adalah dalam rangka memenuhi kebiasaan nafsu hidup mewah bangsa-bangsa kapitalis penganut demokrasi. Mereka terbiasa membelanjakan hartanya sekadar untuk bersenang-senang (just for fun ) , hura-hura dan kegiatan-kegiatan yang tidak berguna: pesta, minum, main perempuan, hingga penggunaan narkoba. (Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan paparan numerik tentang berbagai bentuk kehidupan sia-sia bangsa Amerika gembong demokrasi, silakan baca buku Andrew L. Saphiro, Amerika Nomor Satu). Realitas demikian merugikan semua orang, baik muslim ataupun bukan.

6. Memelihara agama, yakni dengan melarang murtad serta menetapkan sanksi hukuman mati bagi pelakunya jika tidak mau bertobat kembali kepangkuan Islam (Lihat TQS al-Baqarah: 217 dan Hadis Nabi). Sekalipun demikian, Islam tidak memaksa orang untuk masuk Islam (Lihat: TQS al-Baqarah: 256). Melalui hukum syariat seperti ini kaum muslim terjamin untuk melaksanakan ajaran agananya. Demikian pula orang non-muslim bebas untuk menjalankan agamanya tanpa ada paksaan dari siapapun. Negara menjaminnya, masyarakat Islam memberikannya hak.

Bandingkan dengan sistem demokrasi yang memberikan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang—apalagi disertai dengan paradigma bahwa dalam beragama jangan gunakan akal—telah membuat tidak sedikit anak bangsa mereka terperosok ke dalam agama yang tidak masuk akal dan sekte-sekte sesat yang, antara lain, menyajikan bunuh diri massal sebagai solusi dalam mengatasi problema hidup mereka. Padahal, Allah Swt. sebagai Pencipta manusia, alam semesta, dan kehidupan telah menganugerahi naluri fitri beragama (Lihat: TQS ar-Rum: 30) dan akal (Lihat: TQS al-A’raf: 179; TQS an-Nahl: 78) agar manusia dapat berjalan menempuh kehidupannya di jalan agamanya yang lurus.

7. Memelihara keamanan, yakni dengan menetapkan hukuman berat sekali bagi mereka yang mengganggu keamanan masyarakat, misalnya dengan memberikan sanksi hukum potong tangan plus kaki secara silang serta hukuman mati dan disalib bagi para pembegal jalanan (Lihat: TQS al-Maidah: 33). Hukum syariat demikian diberikan kepada semua warga negara, baik muslim atau non-muslim tanpa diskriminatif. Bahkan, siapapun yang mendalami syariat Islam akan menyimpulkan bahwa keamanan merupakan salah satu kebutuhan pokok kolektif warga yang dijamin oleh Daulah Islamiyah.

Bandingkan dengan sistem hukum pada negara-negara demokrasi dan penganut sistem hukum Barat yang tidak tegas terhadap para pengganggu keamanan masyarakat. Akibatnya, para residivis bisa menjadi raja preman di luar penjara. Bahkan, sudah sangat masyhur bahwa mafia dan kelompok gangster justru memiliki hubungan “persahabatan” dengan polisi sehingga keberadaan perampok, penjahat, jalanan, dan berbagai mafia kejahatan tetap eksis di seluruh dunia.

8. Memelihara negara, yakni dengan menjaga kesatuannya dan melarang orang atau kelompok orang melakukan pemberontakan (bughat) dengan mengangkat senjata melawan negara (Lihat: TQS al-Maidah: 33 dan Hadis Nabi). Juga hadits Nabi Muhammad saw: “Siapa yang datang kepada kalian dimana urusan pemerintah kalian di tangan seorang amir, lalu dia berusaha memecah belah jama’ah kalian, maka potonglah leher orang itu” (lihat An Nabhani, Nizhomul Hukmi fil Islam). Paradigma dasarnya Islam hendak menyatukan seluruh umat manusia, bukan memecah-belahnya.

Bandingkan dengan sistem demokrasi yang memberikan hak untuk menentukan nasib sendiri dari suatu bangsa atau daerah. Hal itu sering dipakai sebagai alat untuk melakukan gerakan sparatis. Apa yang terjadi di Indonesia dan Irak adalah contoh nyata. Barat mengopinikan kepada dunia bahwa masing-masing bangsa berhak untuk hidup merdeka. Mereka ikut campur dengan motif-motif politik ataupun ekonomi untuk mengambil untung dari konflik antara suatu daerah atau etnis dengan pemerintahan pusat tersebut. Apalagi Konggres AS siap meratifikasi UU Perlindungan Minoritas yang memberikan kewenangan kepada Angkatan Bersenjata AS untuk mengintervensi negara mana pun yang dianggap melakukan penindasan kepada minoritas. Kini dunia Islam dipecahbelah, dikerat-kerat menjadi lebih dari 50 negara.

Nampaklah, setiap hukum Islam bila diterapkan akan menghasilkan goal setting seperti itu. Kesemuanya itu akan dirasakan dan menjadi hak setiap orang yang tunduk kepada aturan syariat Islam tersebut, baik muslim ataupun bukan. Dengan demikian, melalui penerapan syariat Islam secara total kemaslahatan akan dirasakan oleh semua umat manusia. Islam benar-benar merupakan rahmatan lil ‘âlamîn.
sumber
Selengkapnya...

SYARIAT ISLAM RAHMAT BAGI SELURUH MANUSIA

By den_bagus on 05.48

komentar (0)

Filed Under:

Bila sebelum era 90-an pembicaraan tentang syariat Islam sangatlah ditabukan, kini syariat Islam mulai lagi menjadi wacana. Hal ini sangat logis, di satu sisi sistem kapitalisme yang kini diterapkan di dunia gagal memanusiakan manusia bahkan berhasil menciptakan kehidupan manusia sebagai kehidupan hewani di hutan belantara. Pada sisi lain, kesadaran umat untuk kembali berpegang teguh kepada ajaran Islam yang dianutnya semakin tumbuh. Sekalipun hal ini cukup menggembirakan, namun bukan berarti tanpa masalah. Salah satunya adalah perlu sosialisasi tentang makna syariat Islam yang dimaksud.
Syariat (asy Syarîah) secara bahasa berarti sumber air minum (mawrid al mâ` li al istisqâ) atau jalan lurus (at tharîq al mustaqîm). Sedangkan, menurut istilah syar’iy syariat itu bermakna perundang-undangan yang diturunkan Allah swt. bagi hamba-hamba-Nya baik dalam persoalan akidah, ibadah, akhlak, mu’amalah dan sistem kehidupan untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Syariat Islam merupakan syariat Allah Dzat Maha Bijaksana bagi semua manusia yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan Rabb-nya, dirinya sendiri dan sesama manusia. Wujud Kesadaran

Semua kita sadar, Indonesia masih dalam krisis multidimensional. Tentu, semua ini merupakan produk dari sistem hidup dan kehidupan yang selama ini diterapkan. Yaitu, sistem kapitalisme dalam segala bidang. Karenanya, untuk keluar dari krisis ini tidak dapat bila hanya ganti orang dengan membiarkan sistem yang selama ini berlaku.

Persoalannya adalah sistem mana yang akan dipilih. Memilih sistem kapitalisme sama saja dengan mempertahankan kerusakan dan krisis. Sebab, bukan hanya di Indonesia, AS sebagai gembong kapitalisme mengalami hal serupa. Dalam buku America Number One, Andrew L. Saphiro memaparkan bahwa Amerika nomor satu dalam segala-galanya: dalam sains dan teknologi, ekonomi, serta kriminal, hutang, pelanggaran HAM, diskriminasi, kesenjangan, penyimpangan perilaku sosial, peredaran obat terlarang dan obat bius. Sementara itu, pilihan Sosialisme-Komunisme tidak rasional. Alasannya, sistem tersebut telah hancur sekalipun baru berkuasa 74 tahun. Bila demikian, alternatif terakhir adalah Islam. Jadi, tuntutan ditegakkannya syariat Islam dilandasi oleh kesadaran terhadap krisis dan kepekaan terhadap solusi terbaiknya. Pilihan ini ditopang oleh bukti sejarah tentang kehandalam syariat Islam dalam memecahkan berbagai persoalan manusia lebih dari 12 abad.

Syariat Islam datang dalam rangka memecahkan masalah bagi kemaslahatan semua elemen masyarakat. Sekedar menyebut contoh, ketika Islam menetapkan sebuah sistem ekonomi yang berlandaskan pada prinsip syariat, maka sistem itu adalah untuk seluruh masyarakat tanpa memandang muslim ataupun non muslim. Ketentuan larangan riba dan judi serta penggunaan mata uang dinar dan dirham akan membuat ekonomi masyarakat tumbuh secara nyata (bukan semu seperti dalam sistem ekonomi kapitalisme yang ditopang oleh kegiatan ekonomi ribawi dan perjudian sebagaimana tampak dalam perdagangan saham dimana keduanya menghasilkan buble economy yang sangat rentan terhadap gejolak) dan stabil karena bertumpu pada kegiatan ekonomi riil serta ditopang oleh mata uang yang juga benar-benar kuat dan tidak mudah mendapat tekanan inflasi dan depresiasi. Ketika ekonomi secara umum gonjang-ganjing sejak Indonesia mengalami krisis, lembaga keuangan syariat menunjukkan ketegarannya. Atau ketentuan syariat Islam dalam banyak hadits bahwa komoditas milik umum seperti minyak, hutan, gas alam, emas dan barang mineral lain adalah milik umum yang karenanya harus dikelola oleh negara. Hasilnya, diberikan kepada seluruh rakyat baik langsung maupun tidak langsung melalui pendidikan dan kesehatan murah bahkan gratis akan membuat rakyat merasakan manfaat dari kekayaan sumberdaya alam yang dimilikinya. Tidak seperti saat ini. Berikutnya, pertumbuhan ekonomi yang nyata dan stabil akan menghasilkan kesejahteraan bagi semua dan memupus jurang atau ketimpangan sosial-ekonomi diantara anggota masyarakat. Kebaikan sistem ekonomi Islam ini dirasakan oleh warga, siapapun dia, muslim ataupun non muslim.

Realitas menunjukkan bahwa sistem ekonomi sekarang ini bukan hanya tidak mampu menyelesaikan masalah tapi malah dari waktu ke waktu justru menciptakan masalah. Lebih dari lima puluh tahun memimpin Indonesia, kapitalisme –terlepas dari para birokrat bermental korup- membuat lebih dari 100 juta rakyat Indonesia jatuh ke jurang kemiskinan, 47 juta menganggur, jutaan anak terpaksa putus sekolah, hutang negara makin menumpuk, pajak kian mencekik leher, beban hidup semakin berat. Semua akibat buruk ini dirasakan oleh seluruh rakyat, muslim ataupun non muslim. Siapa yang suka dengan sistem yang melahirkan keburukan-keburukan seperti ini?

Begitu juga, syariat Islam menetapkan adanya pendidikan bermutu yang tegak berdasarkan paradigma Islam dimana pendidikan diorientasikan pada pembentukan kepribadian, penguasaan tsaqofah Islam dan penguasaan sains dan teknologi, diselenggarakan gratis atau biaya murah, semua itu dinikmati oleh setiap warga negara, muslim dan non muslim (Al Baghdady, 1996). Sebaliknya, sistem pendidikan sekuler yang amburadul, mahal dan arah yang berganti-ganti saat ini menghasilkan sosok manusia yang diragukan kualitasnya terlihat dari maraknya perkelahian pelajar, seks bebas dan penyalahgunaan narkoba. Siapa yang merasa aman dalam dunia pendidikan seperti ini?

Sementara, kemampuan sistem Islam menjaga keamanan, jiwa, harta dan kehormatan melalui penerapan (‘uqûbat) Islam dimana para pelaku pelacuran, perampokan termasuk koruptor, pezina, peminum-minuman keras, pembunuh dihukum setimpal (Abdurrahman Maliky, 1990). Hal ini akan membuat kriminalitas menurun dan segala penyakit sosial turun drastis atau dapat ditekan serendah mungkin. Semua kebaikan ini akan dinikmati oleh setiap warga. Pada sisi lain, hukum yang diterapkan sekarang terbukti gagal melindungi warga masyarakat. Setiap hari lembaran media massa menyajikan nyawa mudah melayang, harta dan kehormatan terancam, kriminalitas meningkat dimana-mana, pornografi merajalela, pelacuran menjamur, hamil di luar nikah seakan dipandang biasa, penyalahgunaan narkotika menjadi menu sehari-hari. Sebagai contoh beberapa waktu yang lalu polisi mengungkap pabrik ekstasi di Tangerang seluas 2500 meter persegi. Siapa yang merasa nyaman dan mau tetap mempertahankan sistem seperti ini?

Kapitalisme, di satu sisi memang menghasilkan kemajuan material lebih dari yang bisa diberikan oleh sosialisme. Tapi, di sisi lain sistem ini telah menciptakan kondisi yang dalam banyak hal justru bertentangan dengan hakikat eksistensi manusia: kesenjangan ekonomi, kehidupan materialistik dan proses dehumanisasi. Dengan prinsip survival of the fittest dimana the might is right membuat yang kuat makin menindas yang lemah, hukum rimba berlaku. Syariat Islam menghentikan semua itu. Kemajuan material tidak boleh dihalang-halangi sepanjang didapat melalui jalan yang benar dan dikembangkan sesuai syariah. Hasilnya, kemajuan material bisa dicapai, kepuasaan spiritual tak terabaikan dan keadilan terujudkan. Dengan syariat Islam, manusia akan tumbuh menjadi makhluk yang mengabdi kepada Sang Khaliq semata, hidup sejahtera, bahagia lahir-batin, baik individual maupun komunal. Pengabdian kepada Allah swt. diujudkan terus di tengah gemerlap kemajuan material, karena semua tatanan berjalan sesuai syariat Islam.

Selain itu, secara syar’iy, setiap muslim dituntut untuk menerapkan syariat Islam secara keseluruhan. Banyak sekali nash-nash yang menjelaskan hal ini. Diantaranya adalah firman Allah Swt.:

]وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ[

Apa saja yang diberikan oleh Rasul kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (TQS al-Hasyr [59]: 7).

Kata mâ yang terdapat pada ayat di atas berbentuk umum, artinya mencakup seluruh bentuk perintah dan larangan Allah. Sementara itu, seluruh perintah dan larangan Allah Swt. tersebut dikemukakan dalam bentuk yang bersifat pasti (jazm). Dengan demikian, apa saja yang dibawa oleh Rasulullah saw.—berupa perintah Allah yang mencakup seluruh al-Quran dan Sunnah Nabi saw.—harus diterima (diterapkan) oleh kaum Muslim. Sebaliknya, apa saja yang dilarang Rasulullah saw.—berupa larangan Allah yang mencakup seluruh al-Quran dan Sunnah Nabi saw.—harus ditinggalkan oleh kaum Muslim. Dalam hal ini, pihak yang dibebani hukum adalah individu, jamaah, dan negara (para penguasa), karena seruannya berbentuk umum, yakni ditujukan kepada seluruh orang Mukmin.

Meskipun ayat ini menjelaskan tentang masalah hatra fa’i Bani Nadhir, tetapi yang paling penting (‘ibrah) adalah bentuk umumnya ayat tersebut, sebagaimana kaidah ushul menyatakan:

‘Ibrah itu adalah atas keumuman lafazh, bukan kekhususan sebab (turunnya ayat).

Begitu pula firman Allah Swt. berikut:

]وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا[

Tidaklah patut bagi pria Mukmin dan tidak pula bagi wanita Mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada pilihan yang lain tentang urusan mereka. Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya dia telah benar-benar tersesat. (TQS al- Ahzâb [33]: 36).

Berdasarkan alur berpikir seperti tadi, nampak bahwa tuntutan formalisasi syariat Islam lahir dari kesadaran akan kebobrokan akibat tatanan hidup selama ini dan wujud tanggung jawab untuk menata kehidupan baru yang lebih baik dengan tegaknya syariat Islam bagi semua menuju masyarakat modern yang beradab. Disamping merupakan kesadaran akan kewajiban dari Allah Pencipta manusia untuk menegakkan hukum-hukum-Nya demi kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.
{mospagebreak}

Pengertian Rahmatan Lil Âlamîn

Allah SWT berfirman:

]وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ[

“Dan tiadalah Kami utus engkau (ya Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” (TQS. AL Anbiya 107).

Syaikh An Nawawi Al Jawi dalam tafsir Marah Labid (Tafsir Munir) Juz II/ 47 menafsiri ayat itu sebagai berikut: Tidaklah Kami utus engkau wahai makhluk yang paling mulia dengan berbagai peraturan (bisyarâi’) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam, melainkan dalam rangkan rahmat Kami bagi seluruh alam dalam agama maupun dunia, sebab manusia dalam kesesatan dan kebingungan. Maka Allah SWT mengutus Sayyidina Muhammad saw. sehingga beliau saw. menjelaskan jalan menuju pahala, menampilkan dan memenangkan hukum-hukum syari’at Islam, membedakan yang halal dari yang haram. Dan setiap Nabi sebelum beliau saw. manakala didustakan oleh kaumnya, maka Allah membinakan mereka dengan berbagai siksa, namun bisa kaum Nabi Muhammad mendustakannya, Allah SWT mengakhirkan adzab-Nya hingga datangnya maut dan Allah SWT mencabut ketetapan-Nya membinasakan kaum pendusta Rasul. Inilah umumnya tafsiran para mufasirin.

Jelaslah bahwa rahmat Allah SWT ini bukanlah berkaitan dengan pribadi Muhammad saw. sebagai manusia, tapi dia sebagai rasul yang diutus dengan membawa suatu syari’at yang memang paling unggul dibandingkan aturan-aturan atau agama yang ada di dunia, sebagaimana firman-Nya:

]هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللهِ شَهِيدًا[

“Dialah Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak, agar Dia menangkan agama itu atas semua agama-agama lainnya. Dan cukuplah Allah sebagai saksi” (TQS. Al Fath 28).

Dalam tafsir Shofwatut Tafasir Juz II/253, Al Ustadz Muhammad Ali As Shobuni memberikan catatan: Allah SWT tidak berfirman wama arsalnaka illa rahmatan lilmukminin, tetapi ..lil ‘alamin, sebab Allah SWT menyayangi seluruh makhluk-Nya dengan mengutus Muhammad saw. Kenapa demikian? Sebab, dia saw. datang kepada mereka dengan membawa kebahagiaan yang besar, keselamatan dari kesengsaraan tiada tara, dan mereka mendapatkan dari tangannya kebaikan yang banyak baik dunia maupun akhirat, dia mengajarkan mereka setelah kebodohan mereka, dan memmberikan petunjuk atas kesesatan mereka, dan itulah rahmat bagi seluruh alam, bahkan orang yang menolak risalahnya sekalipun (kuffar), masih dirahmati dengan kedatangannya lantaran Allah SWT mengakhirkan siksaan atas mereka dan mereka tidak disapu bersih oleh adzab Allah sebagaimana kaum terdahu seperti ditimpa gempa, gitenggelamkan dan lain-lain.

Dengan demikian, pengertian rahmatan lil ‘âlamîn itu terwujud dalam realitas kehidupan tatkala Muhammad Rasulullah saw. mengimplementasikan seluruh risalah yang dia bawa sebagai rasul utusan Allah SWT. Lalu bagaimana jika Rasul telah wafat. Rahmat bagi seluruh alam itu akan muncul manakala kaum muslimin mengimplementasikan apa yang telah beliau bawa, yakni risalah syari’at Islam dengan sepenuh keyakinan dan pemahaman yang bersumber pada Al Qur’an dan As Sunnah. Manakala umat Islam telah jauh dari kedua sumber tersebut (beserta sumber hukum yang lahir dari keduanya berupa ijma’ sahabat dan qiyas syar’iyyah) dan telah hilang pemahamannya terhadap syari’at Islam, maka tidak mungkn umat ini menjadi rahmat bagi seluruh alam, Justru dunia rugi lantaran kelemahan pemahaman kaum muslimin terhadap syariat Islam. Oleh kerena itu, berbagai upaya untuk menutupi syari at Islam dan upaya menghambat serta menentang diterapkannya syariat Islam pada hakikatnya adalah menutup diri dan mengahalangi rahmat bagi seluruh alam.
{mospagebreak}

Goal Setting Penerapan Syari’at Islam (Maqâshid asy-Syar’iy)

Untuk melihat lebih jauh tentang potensi penerapan syari’at Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, perlu kita kaji tujuan luhur penerpaan syari’at Islam dalam memelihara kehidupan masyarakat dengan hukum-hukum yang dapat ditargetkan dan diandalkan untuk memelihara aspek-aspek penting Paling tidak ada 8 aspek dalam kehidupan luhur masyarakat manusia yang dipelihara dalam penerapan syari’at Islam, yaitu (lihat Muhammad Husain Abdullah, Dirasat fil Fikri al Islami, 1990, hlm. 61):

1. Memelihara keturunan, yakni dengan mensyariatkan nikah dan mengharamkan perzinaan, serta menetapkan berbagai sanksi hukum terhadap para pelaku perzinaan itu, baik hukum jilid maupun rajam. Dengan itu, kesucian dan kebersihan serta kejelasan keturunan terjaga (Lihat: TQS an-Nisa’: 1; TQS ar-Rum: 21; TQS an-Nur: 2).

Cobalah bandingkan dengan sistem demokrasi yang memberikan kebebasan pribadi, kebebasan berperilaku, kebebasan berhubungan seksual (freesex), homoseks, lesbianisme, dan sebagainya yang mereka anggap sebagai bagian dari HAM. Semua itu berujung pada ketidakjelasan keturunan, perselingkuhan, brokenhome, keterputusan hubungan kekeluargaan, dan merebaknya berbagai penyakit kelamin dan AIDS. Kejadian-kejadian demikian bukan hanya merugikan kaum muslim melainkan seluruh kemanusiaan. Sebaliknya, dengan Islam hal tersebut ditiadakan dalam kehidupan. Keuntungan pun akan dirasakan oleh setiap manusia baik muslim atau non muslim.

2. Memelihara akal, yakni dengan mencegah dan melarang dengan tegas segala perkara yang merusak akal seperti minuman keras (muskir) dan narkoba (muftir) serta menetapkan sanksi hukum terhadap para pelakunya. Di samping itu, Islam mendorong manusia untuk menuntut ilmu, melakukan tadabbur, ijtihad, dan berbagai perkara yang bisa mengembangkan potensi akal manusia dan memuji eksistensi orang-orang berilmu (Lihat: TQS al-Maidah: 90-91; TQS az-Zumar: 9; TQS al- Mujadilah: 11 ). Pemeliharaan akal demikian dilakukan bagi setiap orang tanpa memandang agamanya apa. Bila demikian, kemaslahatannya pun akan dirasakan oleh semua manusia siapapun dia. Secara kolektif hal ini sangat meminimumkan social cost yang harus dibayar oleh umat manusia.

Bandingkan dengan cara-cara penanganan pemerintahan kapitalis yang selalu bersikap kompromistis (pemecahan jalan tengah) yang telah menghabiskan bermilyar dolar tanpa hasil yang nyata. Mereka melarang konsumsi alkohol tetapi tidak menutup pabriknya. Uang dan kebebasan memiliki harta merupakan dorongan kuat bagi para bandar ekstasi dan mafia obat bius untuk tetap melakukan bisnis barang yang sangat merusak generasi anak manusia. Ditemukannya pabrik ekstasi terbesar baru-baru ini di Tangerang tidak jelas bagaimana ujungnya.

3. Memelihara kehormatan, yakni dengan melarang orang menuduh zina, mengolok, menggibah, melakukan tindakan mata-mata, dan menetapkan sanksi-saksi hukum bagi para pelakunya. (Lihat: TQS an-Nur: 4; TQS al-Hujurat: 10-12). Selain itu, Islam mendorong manusia untuk menolong orang yang terkena musibah dan memuliakan tamu. Aturan demikian bukan hanya untuk sesama kaum muslim, melainkan juga untuk setiap manusia.

Bandingkan dengan kebebasan berbicara dan berperilaku yang diberikan demokrasi kapitalistik. Kebebasan semacam ini membuat manusia tidak menghormati sesamanya, anak tidak menghormati orang tuanya, istri tidak menghormati suaminya, bahkan manusia tidak menghormati tuhannya. Tidak sedikit orang-orang Amerika yang membuat parodi dan film yang melecehkan Yesus Kristus maupun tuhan mereka yang lain. Pastur dan gereja adalah bahan olokan dan ejekan yang biasa.

4. Memelihara jiwa manusia, yakni dengan menetapkan sanksi hukuman mati bagi orang yang telah membunuh tanpa hak, dan menjadikan hikmah dari hukuman itu (qishash) adalah untuk memelihara kehidupan (Lihat: TQS al-Baqarah: 179). Kalaupun tidak dikenai hukum Qishash, yang berlaku adalah hukum diat. Berdasarakan diat ini keluarga korban berhak atas ganti rugi yang wajib diberikan pihak keluarga pembunuh sebesar 1000 dinar (4250 gram emas) atau 100 ekor onta atau 200 ekor sapi (lihat Abdurrahman Al Maliki, Nizham Uqubat,Dâr al-Ummah, hlm. 87 - 121). Dengan syariat Islam jiwa setiap orang terjaga, mulai dari janin hingga dewasa. Dengan syariat Islam setiap warga negara Islam apapun suku, ras dan agamanya dipelihara dan dijamin keselamatan jiwanya.

Bandingkan dengan harga murah nyawa manusia di berbagai penjara di sejumlah negara yang menganut sistem demokrasi dan sistem hukum pidana Barat. Bandingkan dengan murahnya nyawa dalam pandangan para pemilik pabrik senjata dan para pedagang senjata internasional yang senantiasa membuat berbagai rekayasa untuk menyulut peperangan di berbagai belahan dunia. Demi dolar, mereka tidak memperdulikan harga nyawa manusia. Bahkan, mereka lebih menyayangi nyawa ikan paus daripada nyawa anak Adam. Lihat bagaimana mereka begitu sungguh-sungguh melindungi ikan paus , dengan alasan untuk melestarikannya. Sebaliknya, bagaimana mereka, dengan alasan teroris, membunuh ribuan nyawa pejuang-pejuang Islam di Palestina. Perang Dunia I dan II, Perang Vietnam, Perang Teluk, Perang Bosnia, Perang Kosovo, Perang Albania, embargo terhadap Irak, pembantaian muslim Palestina, Penghancuran Afghanistan, Chechnya dan Dagestan adalah secuil bukti nyata tak terbantahkan.

5. Memelihara harta, yakni dengan menetapkan sanksi hukum terhadap tindakan pencurian dengan hukuman potong tangan yang akan mencegah manusia dari tindakan menjarah harta orang lain. (Lihat: TQS al-Maidah: 38). Demikian pula peraturan pengampunan (hijr), yakni pencabutan hak mengelola harta bagi orang-orang bodoh dengan menetapkan wali yang akan memelihara harta yang bersangkutan (Lihat: TQS an-Nisa 5; TQS al-Baqarah: 282). Islam juga melarang tindakan belanja berlebihan, yakni belanja pada perkara haram (Lihat: TQS al-Isra’: 29; TQS al-An’am: 141; TQS al-Isra’: 26-27). Ketetapan Islam demikian diperuntukkan bagi semua warga negaranya, tanpa memandang agamanya. Karena itu, siapapun orang yang hidup dalam naungan syariat Islam terpelihara hartanya dan terjamin haknya untuk menjalankan usaha.

Bandingkan dengan sistem demokrasi yang memberikan kebebasan kepemilikan sebagai bagian dari HAM yang membuat orang menghalalkan segala cara demi uang. Penipuan, penyuapan, sabotase, perampokan, pencurian, penjebolan bank melalui internet, apa yang terkenal dengan white colar crime hingga perebutan harta di pengadilan adalah hal biasa. Hukuman penjara bu­kanlah penyelesaian. Bahkan, tidak jarang, penjara adalah “ajang training dan penambahan wawasan” bagi para pelaku tindak kriminal. Tindak kriminal dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi, dari yang terang-terangan hingga yang paling tersembunyi, dari yang kasar hingga yang paling halus, adalah dalam rangka memenuhi kebiasaan nafsu hidup mewah bangsa-bangsa kapitalis penganut demokrasi. Mereka terbiasa membelanjakan hartanya sekadar untuk bersenang-senang (just for fun ) , hura-hura dan kegiatan-kegiatan yang tidak berguna: pesta, minum, main perempuan, hingga penggunaan narkoba. (Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan paparan numerik tentang berbagai bentuk kehidupan sia-sia bangsa Amerika gembong demokrasi, silakan baca buku Andrew L. Saphiro, Amerika Nomor Satu). Realitas demikian merugikan semua orang, baik muslim ataupun bukan.

6. Memelihara agama, yakni dengan melarang murtad serta menetapkan sanksi hukuman mati bagi pelakunya jika tidak mau bertobat kembali kepangkuan Islam (Lihat TQS al-Baqarah: 217 dan Hadis Nabi). Sekalipun demikian, Islam tidak memaksa orang untuk masuk Islam (Lihat: TQS al-Baqarah: 256). Melalui hukum syariat seperti ini kaum muslim terjamin untuk melaksanakan ajaran agananya. Demikian pula orang non-muslim bebas untuk menjalankan agamanya tanpa ada paksaan dari siapapun. Negara menjaminnya, masyarakat Islam memberikannya hak.

Bandingkan dengan sistem demokrasi yang memberikan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang—apalagi disertai dengan paradigma bahwa dalam beragama jangan gunakan akal—telah membuat tidak sedikit anak bangsa mereka terperosok ke dalam agama yang tidak masuk akal dan sekte-sekte sesat yang, antara lain, menyajikan bunuh diri massal sebagai solusi dalam mengatasi problema hidup mereka. Padahal, Allah Swt. sebagai Pencipta manusia, alam semesta, dan kehidupan telah menganugerahi naluri fitri beragama (Lihat: TQS ar-Rum: 30) dan akal (Lihat: TQS al-A’raf: 179; TQS an-Nahl: 78) agar manusia dapat berjalan menempuh kehidupannya di jalan agamanya yang lurus.

7. Memelihara keamanan, yakni dengan menetapkan hukuman berat sekali bagi mereka yang mengganggu keamanan masyarakat, misalnya dengan memberikan sanksi hukum potong tangan plus kaki secara silang serta hukuman mati dan disalib bagi para pembegal jalanan (Lihat: TQS al-Maidah: 33). Hukum syariat demikian diberikan kepada semua warga negara, baik muslim atau non-muslim tanpa diskriminatif. Bahkan, siapapun yang mendalami syariat Islam akan menyimpulkan bahwa keamanan merupakan salah satu kebutuhan pokok kolektif warga yang dijamin oleh Daulah Islamiyah.

Bandingkan dengan sistem hukum pada negara-negara demokrasi dan penganut sistem hukum Barat yang tidak tegas terhadap para pengganggu keamanan masyarakat. Akibatnya, para residivis bisa menjadi raja preman di luar penjara. Bahkan, sudah sangat masyhur bahwa mafia dan kelompok gangster justru memiliki hubungan “persahabatan” dengan polisi sehingga keberadaan perampok, penjahat, jalanan, dan berbagai mafia kejahatan tetap eksis di seluruh dunia.

8. Memelihara negara, yakni dengan menjaga kesatuannya dan melarang orang atau kelompok orang melakukan pemberontakan (bughat) dengan mengangkat senjata melawan negara (Lihat: TQS al-Maidah: 33 dan Hadis Nabi). Juga hadits Nabi Muhammad saw: “Siapa yang datang kepada kalian dimana urusan pemerintah kalian di tangan seorang amir, lalu dia berusaha memecah belah jama’ah kalian, maka potonglah leher orang itu” (lihat An Nabhani, Nizhomul Hukmi fil Islam). Paradigma dasarnya Islam hendak menyatukan seluruh umat manusia, bukan memecah-belahnya.

Bandingkan dengan sistem demokrasi yang memberikan hak untuk menentukan nasib sendiri dari suatu bangsa atau daerah. Hal itu sering dipakai sebagai alat untuk melakukan gerakan sparatis. Apa yang terjadi di Indonesia dan Irak adalah contoh nyata. Barat mengopinikan kepada dunia bahwa masing-masing bangsa berhak untuk hidup merdeka. Mereka ikut campur dengan motif-motif politik ataupun ekonomi untuk mengambil untung dari konflik antara suatu daerah atau etnis dengan pemerintahan pusat tersebut. Apalagi Konggres AS siap meratifikasi UU Perlindungan Minoritas yang memberikan kewenangan kepada Angkatan Bersenjata AS untuk mengintervensi negara mana pun yang dianggap melakukan penindasan kepada minoritas. Kini dunia Islam dipecahbelah, dikerat-kerat menjadi lebih dari 50 negara.

Nampaklah, setiap hukum Islam bila diterapkan akan menghasilkan goal setting seperti itu. Kesemuanya itu akan dirasakan dan menjadi hak setiap orang yang tunduk kepada aturan syariat Islam tersebut, baik muslim ataupun bukan. Dengan demikian, melalui penerapan syariat Islam secara total kemaslahatan akan dirasakan oleh semua umat manusia. Islam benar-benar merupakan rahmatan lil ‘âlamîn.
{mospagebreak}



Beberapa Contoh

Banyak sekali contoh hukum syariat yang secara kasat mata menunjukkan keberpihakkannya pada siapapun (muslim atau non-muslim) yang mendukung syariat Islam. Diantaranya adalah:

Pertama, Kebijakan ekonomi umum. Islam memandang bahwa masalah ekonomi adalah buruknya distribusi kekayaan di masyarakat dan pemenuhan kebutuhan di masyarakat bukanlah pepenuhan total kebutuhan, tapi pemenuhan per individual secara menyeluruh. Dari sini kebijakan ekonomi yang dibuat adalah, pertama: negara wajib memenuhi kebutuhan dasar (hajat asasiyah), yakni sandang, pangan, papan, bagi seluruh rakyat per individual. Tidak boleh ada yang lapar, telanjang, dan tidak bisa berteduh di suatu rumah (dimiliki maupun disewa). Nabi bersabda: “Penduduk mana saja yang membiarkan salah seorang warganya kelaparan, Allah akan melepas jaminannya kepada mereka semua”. Dalam hadits lain beliau saw. bersabda: Tidaklah beriman kepadaku, orang yang tidur nyenyak di malam hari sementara tetangganya kelaparan, padahal dia tahu”. Dalam hal ini negara memberikan peluang kerja seluas-luasnya, dan menyantuni mereka yang lemah dan papa. Kedua, negara memberi peluang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara tanpa membedakan satu dengan yang lain, untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan penyempurna hidup (hajat kamaliyah). Dalam hal ini negara memberi fasilitas seluas-luasnya, termasuk bebas beaya administrasi untuk usaha masyarakat mengembangkan modalnya, tanpa membedakan antara Marwan dengan Martin, tanpa membedakan antara Jamilah dengan Jenifer. Semua diberi kemudahan. Dan pemerintah tidak berbisnis, tapi mengayomi semua. Ketiga, negara wajib memberikan pengarahan dan batas kepada masyarakat agar dalam menikmati kekayaan yang dimilikinya mengikuti pola kehidupan yang khas, yakni senantiasa di dalam koridor kehalalan. Dan apabila terjadi ketidak seimbangan ekonomi antara warga negara, dikarenakan kemampuan yang berbeda-beda, negara wajib melakukan penyeimbangan dengan memberikan bantuan cuma-cuma kepada kelompok masyarakat yang lemah dan papa (fakir miskin) agar mampu bangkit menjadi mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Allah SWT berfirman: “Agar jangan harta itu hanya berputar di kalangan orang kaya di antara kalian” (TQS. Al hasyr 7).

Kedua, Jaminan Kesejahteraan umum, pendidikan, kesehatan, dan keamanan gratis bagi semua warga negara Islam. Islam memerintahkan negara untuk menjamin kebutuhan kolektif masyarakat (tanpa membedakan kaya maupun miskin). Masyarakat dipelihara oleh negara hingga menjadi masyarakat yang cerdas, sehat, kuat dan aman. Pendidikan secara umum diwujudkan untuk membentuk pribadi-pribadi yang memiliki jiwa yang tunduk kepada perintah dan larangan Allah SWT, memiliki kecerdasan dan kemampuan berfikir memecahkan segala persoalan dengan landasan berfikir Islami, serta memiliki kemampuan ketrampilan dan keahlian untuk bekal hidup di masyarakat. Semua diberi kesempatan untuk itu dengan menggratiskan pendidikan dan memperluas fasilitas pendidikan, baik itu sekolah universitaa, masjid, perpustakaan umum, bahkan laboratorium umum. Rasulullah saw. menerima tebusa tawanan perang Badar dengan jasa mereka mengajarkan baca tulis anak-anak kaum muslimin di Madinah. Rasul juga pernah mendapatkan hadiah dokter dari Raja Najasyi lalu oleh beliau saw. dokter itu dijadikan dokter umum yang melayani pengobatan masyarakat secara gratis (lihat Abdurrahman Al Baghdadi, Sistem Pendidikan di masa Khilafah, juga Abdul Aziz Al Badri, Hidup Sejahtera di bawah naungan Islam).

Ketiga, Politik keuangan. Islam menetapkan emas (dinar) dan perak (dirham) dijadikan sebagai mata uang. Berbagai hukum Islam dalam penerapannya berkaitan dengan mata uang tersebut, seperti diat misalnya, 1000 dinar. Dan fakta menunjukkan bahwa standar alat tukar itu tidak terkena inflasi, tidak lapuk oleh zaman, dan tak akan terguncang nilainya oleh perubahan sosial politik. Andai Indonesia menggunakan emas dan perak sebagai mata uangnya, tentulah tidak akan terjadi krisis moneter seperti yang terjadi pada tahun 1997.

Islam juga mengajarkan bahwa uang sebagai alat tukar itu tidak boleh diam, harus produktif. Allah mengancam orang-orang yang menimbun emas dan perak dalam firman-Nya:

]وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ@يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ ِلأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ[

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, nmaka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapatkan sisksa yang pedih pada hari dipanaskan emas dan perak itu di dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengan-Nya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka lalu dikatakan kepada mereka, :Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari apa yang kamu simpan itu”. (TQS. At Taubah 34-35).

Diriwayatkan bahwa di masa Rasul ada seorang ahli shuffah (orang yang tinggal di dalam satu ruangan masjid Nabawi yang telah berikrar hanya berdakwah dan hidup mereka ditanggung kaum muslimin, artinya tidak perlu uang lagi) meninggal lalu di tempat tidurnya terdapat uang logam satu dinar/dirham, lalu rasul menyebut potongan uang logam itu dengan sebutan: kayyah, artinya : sepotong api neraka!

Juga Islam menetapkan bahwa uang sebagai alat tukar tidak boleh diputar dalam bisnis non riil, seperti dipinjamkan untuk mendapatkan ribanya. Jelas Allah SWT mensifati bisnis riba ini sebagai yang bisnis yang tidak bakal stabil. Allah mengumpamakan orang-orang yang makan riba bagaikan orang yang sempoyongan kemasukan syetan. Dia berfirman:

]الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا[

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan demikian disebabkan mereka mengatakan sesungguhnya jual beli sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamlkan riba…” (TQS. aL Baqoroh 275).

Bila hal ini diterapkan maka ekonomi akan stabil. Dampaknya, bukan hanya dirasakan oleh kaum muslim melainkan juga oleh semua orang.

Begitu pula seluruh hukum lainnya. Berdasarkan hal ini maka mereka yang memahami realitas syariat Islam akan rindu untuk dihukumi dengannya. Betapa tidak, tanpa syariat Islam kehidupan menunjukkan berada dalam kesengsaraan dan kejahiliyahan.

Minoritas non-Muslim Sejahtera dibawah Daulah Islamiyah

Salah satu perkara yang sering disodorkan untuk menolak syariat Islam adalah adanya non-muslim di masyarakat. Mereka mengira bila Islam diterapkan semua orang harus beralih agama, hak beragama non-muslim diabaikan. Padahal, siapapun yang memahami sejarah Nabi akan menolak pandangan seperti tadi.

Negara Islam yang dimulai sejak Rasulullah saw. mendirikan negara Islam di kota Yatsrib (Madînah ar-Rasul atau al-Madînah al-Munawwaroh) terbukti memberlakukan hukum secara sama kepada semua warga negara, baik muslim maupun non-muslim. Orang-orang non-muslim yang menjadi warga negara di dalam sistem negara Islam dikenal sebagai ahlu dzimmah, yakni penduduk non-muslim yang menjadi warga negara yang tunduk kepada sistem hukum Islam. (Lihat: TQS at-Taubah: 29).

Kesamaan hukum di depan pengadilan Islam ini tampak jelas dalam kasus baju besi Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Diriwayatkan bahwa sekembali beliau dari Perang Shiffin, Khalifah Ali merasa kehilangan baju besi (dzira’), baju perlengkapan perang, dan beliau malah menemukan baju miliknya itu di toko seorang Yahudi ahlu dzimmah. Ali mengatakan kepada pemilik toko Yahudi itu, “Ini baju besiku. Aku belum pernah menjualnya dan belum pernah memberikan kepada orang lain. Bagaimana bisa ada di tokomu?”

Orang Yahudi itu membantahnya. Ia mengklaim baju itu miliknya sebab ada di tokonya. Ali, penguasa yang memiliki wilayah kekuasaan yang sangat besar, tidak serta merta mengambil paksa harta milknya. Akan tetapi, ia mengajak Yahudi itu menyelesaikan perkara tersebut di pengadilan. Qadhi Syuraih, yang mengadili perkara itu, meminta Ali menghadirkan saksi atas kepemilikan tersebut. Beliau mengemukakan Hasan, putranya, dan Qonbar pembantunya. Akan tetapi, Qadhi Syuraih menolak saksi tersebut. Ali menegaskan, “Apakah Anda menolak kesaksian Hasan yang oleh Rasul dikatakan sebagai pemuda penghulu surga?”

Meskipun demikian, Qadhi Syuraih bersikukuh dengan ketetapannya dan Ali pun menerima kalah dalam perkara tersebut. Saat itulah, orang Yahudi pemilik toko itu angkat bicara, “Duhai Khalifah Ali, Amirul Mukminin, Anda berperkara denganku tentang baju besi milikmu. Akan tetapi, hakim yang engkau angkat ternyata memenangkan aku atasmu. Sungguh, aku bersaksi bahwa ini adalah kebenaran dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang patut disembah) kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” (Lihat: Imam as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’).

Sungguh, keadilan hukum Islam dan persamaan hukum seluruh warga negara di hadapan hukum Islam telah membuka hati orang Yahudi itu untuk menerima hidayah Islam. Allahu Akbar!

Di samping persamaan di dalam hukum, Khilafah tidak diam terhadap kezaliman yang menimpa orang-orang non muslim. Diriwayatkan bahwa ada kasus kezaliman seorang anak penguasa di wilayah propinsi Mesir di masa Khalifah Umar ibn al-Khaththab r.a. Beliau segera memanggil anak Gubernur dan bapaknya (Amr bin A’sh r.a.). Dalam sidang yang ditegakkan keadilannya, tanpa membedakan agama warga negara, anak gubernur Mesir itu mengaku bahwa dia mencambuk anak Qibthi yang beragama Nasrani (Koptik). Sesuai hukum acara pidana Islam, Khalifah memberikan pilihan kepada korban, apakah membalas cambuk (qishash) ataukah menerima bayaran ganti rugi (diyat) atas kezaliman itu. Anak Qibthi itu memilih Qishash. Ia pun mencambuk anak Gubernur. Setelah pelaksanaan hukum Qishash itu, Khalifah Umar mengatakan: “Hai anak Qibthi, orang itu berani mencambukmu karena dia anak Gubernur, oleh karena itu, cambuk saja Gubernur itu sekalian!”

Akan tetapi, anak Qibthi Nasrani itu menolaknya dan telah menyatakan kepuasannya dengan keadilan hukum yang diperolehnya dalam hukum Qishash. Umar pun berkomentar, “Hai Amr (Gubernur Mesir di masa Khalifah Umar), sejak kapan engkau memperbudak anak manusia yang dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka?” (Lihat: Manaqib Umar).

Fakta-fakta sejarah di atas menggambarkan kepada kita bahwa konsep dan pelaksanaan hukum Islam di masa khilafah itu penuh dengan keadilan. Oleh karena itu, bohong besar apa yang dikatakan oleh orang anti-Islam yang memprovokasi bahwa kalau berdiri negara Islam, maka orang-orang Nasrani akan mendapat bahaya atau diskrimansi.

Provokasi murahan demikian bertentangan sekali dengan isi surat Nabi Muhammad saw. kepada penduduk Yaman yang sebelum masuk Islam merupakan mayoritas Yahudi dan Nasrani: “Siapa saja yang masih tetap dalam agama Yahudi dan Nasrani yang dipeluknya, dia tidak akan difitnah, dan wajib baginya membayar jizyah.” (Lihat: Ahkam adz-Dzimmi, An-Nabhani, As-Syakhsihiyyah Islamiyyah, juz 2/237). Begitu pula tindakan Nabi Muhammad saw. yang menerapkan hukum rajam kepada dua orang Yahudi yang berzina, sebagaimana beliau juga pernah menjatuhkan hukum rajam kepada seorang wanita muslimah dan seorang pria muslim (Lihat: Abdurrahman al-Maliki, Nizhom al Uqubat).

Begitulah ajaran Islam yang telah diterapkan oleh Rasul Saw. beserta para sahabatnya. Karenanya, jelas bahwa sejak awal Islam hidup dan berhasil memimpin masyarakat di tengah pluralitas (bukan pluralisme) agama. Manakah yang hendak dipilih menerapkan syariat Islam untuk menyelesaikan berbagai problematika kemanusiaan dewasa ini ataukah menolaknya hanya sekedar kekhawatiran –yang senyatanya berhenti pada kekhawatiran semata- atas beragamnya masyarakat dengan tetap membiarkan umat manusia meluncur menuju jurang kehancuran ke arah kebinatangan? Adalah tidak layak umat Islam menolak penerapan syariat Islam dengan alasan adanya pluralitas masyarakat, padahal Rosullulah telah menerapkan syariat Islam justru pada masyarakat yang plural (beragam) .

Menepis Keberatan

Hambatan‑hambatan dalam menerapkan Syariat Islam dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pertama, kebencian orang‑orang kafir, fasik, dan zhalim akan Syariat Islam, dan kedua, kesalahan kaum Muslimin dalam memahami Syariat Islam. Akibatnya, muncullah ‘keberatan’ yang sebenarnya lebih mencerminkan ketakberhasilannya dalam mengapresiasi ajaran Islam. Hambatan dari orang-orang kafir, jelas bukan dalam kendali kaum muslim. Karenanya, yang lebih penting adalah bagaimana menata sikap kaum muslim yang masih miring terhadap syariat Islam sebagai ajaran agama yang dianutnya.

Secara umum, kendala yang ada pada kaum muslim dalam menerapkan syariat Islam adalah masalah kekurangpahaman atau kebelumpahaman saja. Hal ini dapat dilihat dari ‘keberatan’ yang seringkali diungkapkan.

Dalam hal konsepsi, diantara ‘keberatan’ itu adalah:

1. Islam itu yang penting substansinya, bukan formalitasnya. Pendapat seperti ini bukan hanya berbahaya tapi juga bertentangan dengan realitas. Pertama, tidak ada aturan yang diterapkan sekedar substansinya saja. Mengapa mereka begitu getol memperjuangkan sekularisme, demokrasi dan berupaya mempertahankan formalitas sistem tersebut yang nota bene warisan kolonial? Padahal, jika mereka konsisten dengan pendapatnya tadi semestinya cukup hanya substansi demokrasi saja yang dituntutnya, dan substansi sekulerisme saja yang diinginkannya?!. Tapi, kenyataannya tidaklah demikian. Kedua, tidak diformalkannya syariat Islam hanya berarti memberikan peluang untuk main hakim sendiri. Padahal, semua sepakat bahwa tidak boleh main hakim sendiri.

2. Penduduk yang hidup di suatu negara bukan hanya muslim, tetapi juga non-muslim; tidak homogen tapi heterogen. Pertama, dalih ini sebenarnya mencerminkan kegagalan pihak tersebut memahami realitas masyarakat. Dalam kenyataannya, hukum yang diterapkan bukan berarti harus di kalangan yang homogen. Contoh, di Amerika tidak semua penduduknya Kristen, tetapi aturan yang diterapkannya kapitalisme. Di Indonesia, terdapat 4 agama resmi yang diakui, tapi hukum yang diterapkan juga kapitalisme atas dasar sekularisme. Di Cina, puluhan juta umat Islam tinggal di sana, namun aturan yang diberlakukan aturan sosialisme-komunisme. Jadi, tidak rasional menolak ditegakkannya syariat Islam dengan alasan heterogenitas penduduknya. Tetapi, tidak pernah manyatakan dilarang menerapkan sistem kapitalisme karena tidak semua penduduk berideologi kapitalisme; tidak pernah juga berteriak tidak boleh menerapkan sosialisme-komunisme dengan alasan tidak semua penduduknya berideologi sosialisme-komunisme. Sebenarnya persoalannya bukan terletak pada homogen atau heterogen, tetapi terletak pada sistem aturan mana yang akan diterapkan untuk mengatur penduduk (apapun agamanya) demi terciptanya keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat. Dan, jawabannya: Islam! Kedua, tidak paham terhadap kenyataan hidup Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya. Sejarah menunjukkan bahwa penduduk negara Islam saat itu bukan hanya muslim, ada juga Yahudi dan Nasrani. Buktinya, lebih dari 10 abad syariat Islam bertahan. Ketiga, tidak menghayati bahwa syariat Islam itu untuk kebaikan bersama. Contoh, ketika riba dilarang sebagai landasan perekonomian, hal ini bukan ditujukan hanya bagi kepentingan kaum muslim, melainkan juga untuk penduduk non-muslim. Dan, faktanya, akibat riba kini Indonesia dijerat hutang luar negeri. Yang rugi? Semua penduduk, muslim dan non-muslim.

3. Dalih lain yang diajukan pihak yang menolak syariat Islam adalah adanya ragam pendapat tentang sistem politik dan kenegaraan Islam; sistem mana yang akan diterapkan? Alasan ini pun terlihat ‘genit’. Sebab, dalam sistem manapun sulit hanya ada satu pendapat saja. Misalnya, banyak beragam pendapat tentang sistem republik, presidentil ataukah parlementer. Bentuknya pun pro kontra, apakah kesatuan, federalisme, ataukah kesatuan dengan otonomi daerah. Pendapat dalam sistem pemilihan pun berbeda-beda, apakah harus pemilihan langsung (seperti keyakinan J. J. Roussau), perwakilan, distrik, dan sebagainya. Realitasnya, perbedaan pendapat ini tidak menghalangi mereka menerapkan sistem demokrasi kapitalisme dalam berbagai bidang, termasuk politik. Mengapa, adanya perbedaan pandangan tentang beberapa hal politik dan sistem kenegaraan Islam dijadikan dalih untuk tidak ditegakkannya syariat Islam? Sementara untuk sistem selain Islam tidak diungkapkan alasan serupa?

4. Tuduhan lain yang kerap ditujukan untuk menentang syariat Islam adalah stigmatisasi bahwa hukum Islam itu kejam, diskriminasi, dan ‘primitif’. Tuduhan ini sebenarnya lebih menggambarkan ketakutan terhadap syariat Islam. Padahal, jika kita pikirkan, misalnya, antara masyarakat yang rata-rata kehidupan seksual para anggotanya bersih karena diberlakukan hukum Islam dengan masyarakat yang permisif dan kacau; yang didalamnya industri seks sudah dianggap sebagai hal yang lumrah, aurat tidak boleh dihalangi untuk dipamerkan karena diskriminatif; hukum ditentukan oleh yang kuat (hukum rimba); maka bagaimanakah kesimpulannya? Tentu, masyarakat jenis pertama merupakan masyarakat yang lebih luhur dan lebih sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Sedangkan yang kedua pada hakikatnya menjurus pada masyarakat binatang yang hidup di hutan belantara dengan hukum rimba, yang tidak jauh berbeda dengan hewan ternak (lihat TQS. Al A’râf [7]:179). Tapi, anehnya, banyak masyarakat masih memandang bahwa masyarakat dan negara sekuler-kapitalistik yang serba permisif itulah yang dianggap masyarakat modern (lebih tepat ‘sok modern’), sedangkan masyarakat yang menerapkan dan berupaya untuk menegakkan hukum Islam dipandang sebagai masyarakat tradisional, konservatif, bahkan ‘primitif’. Mana yang lebih kejam, hukum yang memotong tangan pencuri yang betul-betul terbukti dalam pengadilan ataukah hukum yang memenjarakannya yang justru lebih mendidiknya menjadi seorang penjahat kawakan? Aturan mana yang lebih diskriminatif apakah hukum yang memberlakukan semua orang sama ataukah hukum yang memenjarakan seorang pencuri sandal seharga Rp 4000 selama 4 bulan; sedangkan, para perampok BLBI sebesar Rp 164 milyar bebas berkeliaran penuh percaya diri? Padahal, kalau tolok ukurnya pencurian sandal tadi, seharusnya mereka dihukum 41.000.000 bulan atau 3.416.667 tahun?

5. Alasan lain adalah masyarakat tidak siap. Kita layak untuk bertanya, ketika di Indonesia diterapkan lebih dari 80% hukum Belanda (hingga sekarang), apakah rakyat ditanyai sudah siap atau belum? Ketika aturan untuk menerapkan syariat Islam bagi muslim Indonesia dihapus oleh PPKI, apakah rakyat ditanya dulu siap atau tidak dengan penghapusan itu? Dulu, saat diterapkan demokrasi terpimpin dan demokrasi parlementer, apakah rakyat ditanyai kesiapannya terlebih dahulu? Tidak! Mengapa, alasan masyarakat tidak siap itu hanya ditujukan kepada Islam. Padahal, benarkah masyarakat tidak siap? Ataukah, pihak yang tidak siap itu adalah hanya mereka yang kini memegang kekuasaan, duduk di kursi empuk, dan banyak kejahatannya hingga takut kezhalimannya itu terbongkar bahkan diadili?

Itulah sebagian dalih yang diungkapkan untuk menolak syariat Islam. Namun, ternyata semuanya tidak sesuai dengan realitas yang ada.

Akhirnya, nampak betapa syariat Islam merupakan pilihan syar’iy sekaligus rasional untuk diterapkan dalam rangka mengubah kezhaliman menjadi keadilan di tengah-tengah umat manusia, menyingkirkan kejahiliyahan dan hewani diganti oleh cahaya Islam. Tanpa syariat Islam, jangan harap keberkahan dari langit dan bumi dinikmati oleh umat manusia. Alhamdulillâh.

]وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ[

“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (TQS. Al A’raf [7] : 96).

sumber
Selengkapnya...

 Blog Terbaik News & Journalism - Top Blogs Philippines Malaysian Topsites - TopMalaysia.OrG Journalist Blogs - Blog Catalog Blog Directory Indonesian Muslim Blogger