Kritik Terhadap Bayanat Pilpres 2009

By den_bagus on 21.17

komentar (1)

Filed Under:

Bismillahirrohman ar rohiim

Bayanat Pilpres 2009 yang disampaikan oleh DPP PKS yang dianggap mengutamakan maqasid dan maslahat yang lebih besar. Berikut masukan terkait pertimbangan hukum (istidlal) yang menselisihi perkara yang lebih besar dan lebih mengutamakan perkara cabang (maslahat). Bayan tersebut dapat didownload disini atau dilihat disini.

1. Pengambilan keputusan tersebut didasarkan kepada kontrak politik dengan kecenderungan berkompromi serta mencampur adukkan kebenaran dengan keburukan dengan hukum, penguasa, dan etika politik yang menganut azas machiavelis dan mengesampingkan dalil dalil rajih penegakan syariat secara terang terangan dan kaffah. Sedangkan Islam melarang menyembunyikan al Haq (islam/ risalah) itu sendiri baik kepada musuh maupun kepada teman.

وَلاَ تَلْبِسُواْ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُواْ الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“ Janganlah kamu campur-adukkan antara kebenaran dan kebatilan, dan kamu sembunyikan yang benar padahal kamu mengetahuinya. “ (QS. Al Baqarah 42)

Imam Qatadah dan Mujahid mengartikan ayat ini : “ Janganlah kamu campur adukkan antara agama Yahudi dan Nasrani dengan Islam. “ ( Al Qurtubi , Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an , Juz 1, hlm : 233 , Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Adhim, juz I, hlm 133)

وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Padahal kamu mengetahui bahwa perbuatan mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan itu akan menjerumuskan orang-orang kepada kesesatan. ( Ibnu Katsir, Lo. Cit)

Dari ayat di atas, bisa disimpulkan bahwa di dalam dunia ini hanya ada dua ; Kebenaran dan Kebatilan, dan tidak ada yang lain. Jika ada yang mengatakan bahwa di sana ada istilah mubah yang terletak antara wajib dan haram ? Maka jawabannya adalah bahwa mubah harus dilihat dari dampaknya, apakah akan menguatkan kebenaran ( wajib ) atau kebatilan ( haram) , jika menguatkan kebenaran maka kita termasuk darinya dan begitu pula sebaliknya.

2. Hal tersebut menjadikan wali (pelindungan) kepada orang yang berada di luar garis perjuangan menegakkan Islam (wala' kepada taghut), sedangkan Allah berfirman :

"Sesungguhnya mereka telah mendustakan yang haq (Al-Quraan) tatkala sampai kepada mereka, maka kelak akan sampai kepada mereka (kenyataan dari) berita-berita yang selalu mereka perolok-olokkan." QS. Al An'aam 4.

Dan Allah lebih mengetahui (daripada kamu) tentang musuh-musuhmu. Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung (bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi Penolong (bagimu). QS. An Nisaa 46

Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah) QS. An Nisaa 138-139.

3. Menegakkan Islam dengan metodologi seperti ini (machiavelis) adalah perkara yang mengambil dalil furu' (maslahat) dan mencampakkan ushul dari agama yang merupakan perkara aqidah (wala' wal baro'). Sedangkan dalam perkara aqidah tidak ada perselisihan.

Ibnu Abdil Bar (wafat 463 H) berkata : “Sekiranya kebenaran itu terdapat di dalam dua hal yang bertentangan, maka tidak mungkin orang-orang salaf akan saling menyalahkan dalam ijtihad, keputusan, dan fatwa-fatwa mereka.

Imam Qardhawi dalam Fiqh Aulawiyatpun mendahulukan ushul daripada perkara furu'. Perkara tersebut juga menyelisihi prinsip Tawazun dalam Prioritas. Dalam Islam juga ada mabadi’ (prinsip asas/dasar) yang harus didahulukan daripada wasail (sarana), dalil qath’i yang harus didahulukan daripada dalil dhanni, kaidah kull daripada kaidah juz, mendahulukan ushul daripada furu’,

4. Menegakkan Islam dengan metodologi seperti ini (machiavelis) adalah perkara menghalalkan segala cara dan menjadikan tujuan sebagai 'berhala' serta mengesampingkan manhaj dakwah Rasul yang mengambil pelindung dari HANYA orang orang beriman.

Imam Asy-Syatibi membagi maqashid menjadi tiga bagian, yaitu: dharuriyat, hajiyat dan tahsinat. Dharuriyat artinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika tidak ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya Rukun Islam. Perkara menegakkan dengan cara seperti ini justru menimbulkan kerusakan aqidah dan kerusakan konsep syariah secara utuh.

Dharuriyat beliau jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu menjaga agama (hifzh ad-din); menjaga jiwa (hifzh an-nafs); menjaga akal (hifzh al-`aql); menjaga keturunan (hifzh an-nasl) dan menjaga harta (hizh al-mal) (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, II/4). Inilah sekilas konsep Asy-Syatibi tentang maqashid syariah (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, II/4-5; Az-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami, 11/1046-1051).

Dharuriyat beliau jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu menjaga agama (hifzh ad-din); menjaga jiwa (hifzh an-nafs); menjaga akal (hifzh al-`aql); menjaga keturunan (hifzh an-nasl) dan menjaga harta (hizh al-mal) (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, II/4). Inilah sekilas konsep Asy-Syatibi tentang maqashid syariah (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, II/4-5; Az-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami, 11/1046-1051).

Dalam perkembangan kontemporer, konsep maqashid syariah ternyata banyak dibelokkan untuk melegitimasi ide-ide Barat, bukan untuk menerapkan syariat seperti digagas Asy-Syatibi itu sendiri. Contoh, tujuan menjaga agama ditafsirkan oleh Ulil Abshar Abdalla (Jaringan Islam Liberal) sebagai perlindungan terhadap kebebasan beragama (the protection of the freedom of religion); tujuan menjaga akal diinterpretasikan sebagai perlindungan terhadap kebebasan berpikir (the protection of the freedom of thought). Jadi, konsep maqashid syariah dijadikan sekadar instrumen untuk menyusupkan ide-ide liberal yang sekuler (Shiddiq Al-Jawi, Menimbang Maqashid Syariah, jurnal al-Waie edisi 40).

6. Tiada Maslahat tanpa Syariah.
Pertama bahwa maslahat merupakan hikmah (akibat) penerapan syariat, bukan illat penetapan syariat. Menurut An-Nabhani memang ada hubungan maslahat dengan syariat. Hal ini beliau pahami dari Alquran yang menyatakan bahwa diutusnya Nabi SAW adalah untuk membawa rahmat, yaitu maslahat, misalnya dalam QS Al-Isra: 82 dan QS al-Anbiya’: 107. Namun demikian, An-Nabhani dengan hati-hati menekankan berulang-ulang, bahwa maslahat itu bukanlah illat atau motif (al-ba’its) penetapan syariat, melainkan hikmah, hasil (natijah), tujuan (ghayah), atau akibat (aqibah) dari penerapan syariat.

Kedua, maqashid syariah merupakan tujuan dari syariat secara keseluruhan (ka-kull), bukan tujuan syariat sebagai satu persatu hukum (li kulli hukmin bi ‘aynihi). Dengan kata lain, terwujudnya kemaslahatan merupakan hasil penerapan syariat secara keseluruhan, bukan hasil penerapan dari masing-masing hukum. Jika kita mengatakan bahwa tujuan setiap hukum (satu persatu) adalah untuk memperoleh maslahat, ini hanya ditunjukkan oleh dalil aqli (akal), bukan oleh dalil syariat. Padahal, berbicara tentang hukum syariat haruslah didasarkan pada dalil syariat, bukan dalil aqli.

Ketiga, konsep maqashid syariah mendudukkan hikmah (akibat) penerapan syariat kadang terwujud dan kadang tidak terwujud. Misalnya, mengenai khamar dan judi, Allah menerangkan keduanya dapat memunculkan kebencian dan permusuhan di antara manusia (QS Al-Maidah: 91). Namun faktanya, banyak penenggak khamar dan para penjudi rukun-rukun saja, tidak ada permusuhan dan kebencian di antara mereka.

Prinsip ketiga ini mengandung maksud, bahwa tujuan-tujuan hukum ini tidak boleh dijadikan sebagai illat. Keharaman khamar dan judi juga akan bergantung pada ada-tidaknya permusuhan dan kebencian di antara pelakunya. Jika ada permusuhan maka khamar dan judi haram, jika harmonis dan rukun-rukun saja maka khamar dan judi menjadi boleh. Tentu ini tidak benar.

Keempat, konsep maqashid syariah adalah hikmah dari penerapan syariat hanya diketahui berdasarkan nash syariat, bukan berdasarkan akal. Sebab, yang menetapkan syariat adalah Allah sehingga hanya Allah saja yang mengetahui tujuan pensyariatannya.

Sebagai penutup
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.[256]Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." [QS. Al Baqarah 256-257)
Sumber : revolusidamai

Selengkapnya...

Kapan Ghibah Diperbolehkan?

By den_bagus on 22.52

komentar (1)

Filed Under:

(DARI KITAB RIYADUSH-SHOLIHIN IMAN AN NAWI)

باب ما يباح من الغيبة
Ketahuilah bahwa Ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang sah menurut syari’at, di mana ada suatu keperluan yang tidak dapat tercapai kecuali dengan melakukan ghibah tersebut. Ada enam kondisi yang membolehkan ghibah dilakukan:

Pertama, mengadukan kezhaliman (at-tazhallum). Boleh bagi orang yang dizhalimi untuk mengadukan kezhaliman yang menimpa dirinya kepada penguasa, qadhi, atau yang memiliki otoritas hukum ataupun pihak yang berwajib lainnya. Ia dapat menuntut keadilan ditegakkan, misalnya dengan mengatakan Si Fulan telah melakukan kezhaliman terhadapku dengan cara seperti ini dan itu
Kedua, permintaan bantuan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiyat pada kebenaran (al isti’ânah ‘ala taghyîril munkar wa raddal ‘âshi ila ash shawâb). Maka seseorang boleh menyampaikan kepada orang yang diharapkan mampu menghilangkan kemungkaran tersebut dengan mengatakan Si Fulan telah berbuat begini, hingga selamatlah orang tersebut dari kemaksiyatan atau kemungkaran. Ataupun dengan pernyataan lain yang sejenis dengan itu, yang jelas maksudnya adalah mengarah kepada terhilangkannya suatu kemungkaran. Tapi jika tidak mengarah kepada hal semacam ini, maka tersebut adalah haram

Ketiga, permintaan fatwa (al istiftâ`). Misal seseorang mengatakan kepada seorang mufti (pemberi fatwa), ayahku (atau saudaraku atau suamiku atau fulan) telah menzhalimi aku dengan cara begini. Lalu apa yang harus aku perbuat padanya?; bagaimana cara agar aku terlepas darinya, mendapatkan hakku, dan terlindung dari kezhaliman itu? Atau pernyataan apapun yang semacam itu. Maka ini hukumnya boleh jika diperlukan. Tapi lebih tepat dan lebih afdhal jika ia mengatakan, bagaimana pendapat Anda tentang orang atau seoseorang, atau seorang suami yang telah memperbuat hal seperti ini? Maka ini dapat membuatnya mencapai hasil (jawaban) tanpa harus menyebutkan rinciannya (tanpa perlu menyebut siapa orangnya, red). Meskipun demikian, tetap diperbolehkan untuk melakukan rincian (at ta’yîn), sebagaimana yang akan kami sebutkan dalam hadits dari Hindun nanti, insyaallah.

Keempat, memperingatkan kaum muslimin agar waspada terhadap suatu keburukan dan menasihati mereka (tahdzîrul muslimîn min asy syarr wa nashîhatuhum). Ini ada beberapa bentuk, diantaranya adalah menyebutkan keburukan sifat orang yang memang pantas disebutkan keburukannya (jarhul majrûhîn) yakni dari kalangan para perawi hadits dan saksi-saksi (di pengadilan, red). Hal ini diperbolehkan menurut ijma’ kaum muslimin. Bahkan bisa menjadi wajib untuk suatu keperluan tertentu. Contoh lainnya adalah meminta masukan atau pendapat (musyawarah) tentang rencana melakukan pernikahan dengan seseorang (mushâharah), kerjasama, memutuskan kerjasama, mua’amalat dan lain sebagainya, atau tentang hubungan ketetanggaan. Maka wajib bagi orang yang dimintai masukan untuk tidak menyembunyikan informasi seputar orang yang ingin diketahui keadaan dirinya. Bahkan ia mesti menyebutkan perangai-perangai buruknya yang memang diniatkan untuk melakukan nasehat. Contoh lainnya lagi adalah jika seseorang melihat orang lain yang belajar agama yang berulang kali datang kepada orang yang berbuat bid’ah atau orang fasik dengan maksud mengambil ilmu dari pelaku bid’ah dan orang fasik tersebut, lalu dengan itu dikhawatirkan ia akan mendapat madharat, maka ia harus menasehatinya dan memberikan penjelasan mengenai keadaan sebenarnya. Dengan syarat hal itu betul-betul dimaksudkan untuk memberi nasehat. Ini memang berpotensi untuk terjadi kekeliruan, sebab terkadang si pemberi nasehat memiliki tendensi kedengkian, hingga syaithan mencampuradukkan antara nasehat dengan kedengkian itu. Syaithan menghadirkan bayangan padanya bahwa hal itu adalah nasehat, akhirnya ia terjerumus dalam fitnah.

Yang juga termasuk dalam point ini adalah bahwa ia memiliki kekuasaan yang tidak ia tegakkan dengan semestinya. Boleh jadi karena memang ia tidak layak. Atau boleh jadi karena ia fasiq maupun lalai, atau yang sejenis dengan itu. Maka wajib hal itu diungkapkan kepada orang yang memiliki kewenangan lebih tinggi di atasnya agar kelalaian itu dihilangkan atau orangnya diganti dengan yang lebih kompeten. Atau diinformasikan mengenai apa saja agar pemilik otoritas yang lebih tinggi dapat mengambil treatment sesuai tuntutan keadaan orang yang lalai tersebut. Ia tidak boleh lengah. Ia harus berusaha untuk mendorongnya agar istiqomah atau menggantinya.

Kelima, seseorang memperlihatkan secara terang-terangan (al- mujâhir) kefasiqan atau perilaku bid’ahnya sebagaimana orang yang yang memperlihatkan perbuatan minum khamr, menyita, mengambil upeti, pengumpulan harta secara zhalim, memimpin dengan sistem yang bathil. Maka ini boleh untuk disebutkan dikarenakan perbuatan itupun dilakukan terang-terangan (mujâharah). Adapun hal-hal lain yang merupakan aib yang disembunyikan tidak boleh turut disebut-sebut, kecuali adanya kebolehan yang disebabkan oleh alasan yang telah kami sebutkan pada empat point sebelumnya.

Keenam, penyebutan nama (at-ta’rîf). Jika seseorang telah dikenal luas dengan nama laqab (julukan) seperti al-A’masy (Si Kabur Penglihatannya) atau al-A’raj (Si Pincang), atau al- Ashamm (Si Tuli), al-A’maa (Si Buta), al-Ahwal (Si Juling), dan lain sebagainya maka boleh menyebut nama mereka dengan sebutan itu. Dan diharamkan menyebutkan sisi kekurangannya yang lain. Maka, jika memungkinkan untuk menyebutkan namanya selain dengan menggunakan julukan seperti itu, maka tentu lebih diutamakan.

Inilah enam sebab yang disebutkan oleh para ulama dan sebagian besarnya mereka sepekati. Adapun dalil-dalilnya adalah dari hadits-hadits shohih yang masyhur, diantaranya adalah,

عن عائشة رضي الله عنها أن رجلا استأذن على النبي صلى الله عليه وسلم فقال‏:‏ “ائذنوا له، بئس أخو العشيرة‏؟‏ ‏”‏ ‏(‏‏(‏متفق عليه‏)‏‏)‏‏.‏

Dari Aisyah r.anha bahwa seseorang meminta izin pada Nabi SAW, lalu beliau berkata: izinkanlah ia, seburuk-buruk saudara suatu kabilah. (Muttafaq Alaih)

Al Bukhori berhujjah dengan hadits ini mengenai kebolehan berghibah terhadap ahlul fasad (pembuat kerusakan) dan ahlu ar rayb (menciptakan keraguan).

وعنها قالت‏:‏ قال رسول الله صلى الله عليه وسلم‏:‏ ‏”‏ما أظن فلانًا وفلانًا يعرفان من ديننا شيئًا‏”‏ ‏(‏‏(‏رواه البخاري‏)‏‏)‏‏.‏ قال الليث بن سعد أحد رواة هذا الحديث‏:‏ هذان الرجلان كانا من المنافقين

Dan masih dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, aku melihat si fulan dan si fulan tidaklah mengetahui sedikitpun dari perkara agama kami. (HR al Bukhari). Al Layts ibn Sa’ad—salah seorang perawi hadits ini—berkata: kedua orang yang disebut di sini adalah orang munafiq.

وعن فاطمة بنت قيس رضي الله عنها قالت‏:‏ أتيت النبي صلى الله عليه وسلم، فقلت‏:‏ إن أبا الجهم ومعاوية خطباني‏؟‏ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم‏:‏‏”‏أما معاوية، فصعلوك لا مال له ، وأما أبوالجهم، فلا يضع العصا عن عاتقه‏”‏ ‏(‏‏(‏متفق عليه‏)‏‏)‏

Dari Fathimah binti Qays r.anha, ia berkata: aku mendatangi Nabi SAW lalu aku berkata, sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah mengkhitbahku. Lalu Rasulullah SAW berkata, adapun Mu’awiyah adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya. (Muttafaq alaih)

Dan dalam riwayat Muslim, haditsnya berbunyi:

‏”‏وأما أبو الجهم فضراب للنساء‏”‏

Adapun Abul Jahm ia suka memukul wanita.

Ini merupakan penjelasan dari riwayat sebelumnya yang mengatakan ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya. Juga dikatakan bahwa makna ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya adalah katsiirul asfaar, yakni banyak bepergian.

وعن زيد بن أرقم رضي الله عنه قال‏:‏ خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر أصاب الناس فيه شدة، فقال عبد الله بن أبي‏:‏ لا تنفقوا على من عند رسول الله حتى ينفضوا وقال‏:‏ لئن رجعنا إلى المدينة ليخرجن الأعز منها الأذل فأتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأخبرته بذلك، فأرسل إلى عبد الله بن أبي ، فاجتهد يمينه‏:‏ ما فعل، فقالوا‏:‏ كذب زيد رسول الله صلى الله عليه وسلم فوقع في نفسي مما قالوا شدة حتى أنزل الله تعالى تصديقي ‏{‏إذا جاءك المنافقون‏}‏ ثم دعاهم النبي صلى الله عليه وسلم، ليستغفر لهم فلووا رءوسهم‏.‏ ‏(‏‏(‏متفق عليه‏)‏‏)

Dari Zaid bin Arqam r.a, ia berkata: kami pernah keluar bersama Rasulullah SAW dalam sebuah perjalanan di mana orang-orang ditimpa kesulitan. Lalu Abdullah bin Ubay berkata, jangan engkau memberi infaq kepada orang-orang yang bersama Rasulullah supaya mereka bubar. Lalu ia berkata lagi, “sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya”. Kemudian aku mendatangi Rasulullah SAW, lalu aku mengemukakan hal tadi, maka beliau mengutus kepada Abdullah bin Ubay, namun ia bersumpah bahwa ia tidak melakukannya. Lalu orang-orang mengatakan¸ “Zaid telah membohongi Rasulullah SAW”. Lalu beliau mencelaku dengan keras atas apa yang orang-orang katakan hingga Allah SWT menurunkan apa yang dapat membenarkanku ‏{‏إذا جاءك المنافقون‏} “apa bila datang orang-orang munafiq” (QS Al Munaafiquun). Kemudian Nabi SAW memanggil mereka untuk memintakan ampun bagi mereka, tapi mereka memalingkan wajah mereka. (Muttafaq alayh)

وعن عائشة رضي الله عنها قالت‏:‏ قالت هند امرأة أبي سفيان للنبي صلى الله عليه وسلم ‏:‏ إن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه، وهو لا يعلم‏؟‏ قال‏:‏ ‏”‏خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف‏”‏ ‏(‏‏(‏متفق عليه‏)‏‏)‏

Dari Aisyah r.anha, ia berkata: Hindun istri Abu Sufyan berkata kepada Nabi SAW, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit, ia tidak memberikan kepadaku apa yang mencukupi aku dan anakku kecuali apa yang aku ambil secara diam-diam tanpa sepengetahuannya”. Lalu Nabi SAW berkata “Ambillah apa yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik (bil ma’ruf)” (Muttafaq Alayh). (Zendarr)
sumber

Selengkapnya...

Ichsanudin Noorsy: Siapa pun Pemenang Pilpres 2009, Neolib Berkuasa

By den_bagus on 04.35

komentar (0)

Filed Under:

“Siapa pun pemenangnya neolib yang berkuasa!” ujar Pengamat Kebijakan Publik Ichsanuddin Noorsy kepada mediaumat.com Kamis (21/5) di Jakarta. Lebih lanjut Noorsy menyebutkan usai dijajah secara militer kini Indonesia dijajah secara ekonomi. Dalam penjajahan ekonomi ini sudah pasti terjadilah kejahatan kemanusiaan sehingga bangsa ini kehilangan harga dirinya. Jadi neoliberalisme adalah kejahatan kemanusiaan. “Paling tidak dalam penjajahan ekonomi ini bukan lagi fisik yang dibunuh tetapi harga diri. Itulah yang disebut dengan economic slavery, ekonomi perbudakan,” tandasnya.
Bila suatu negara sudah diduduki secara ekonomi, ujar Noorsy, hidupnya akan seperti di Indonesia ini. Semua tata ruang bangsa ini diisi oleh barang asing. “Bahkan dompet kita tergantung kepada asing,” katanya. Isu yang menyertai dikembangkannya neolib ini adalah demokrasi liberal, country risk, gender, good corporate governance,indeks korupsi, indeks persaingan, multikultur, kearifan lokal, pemerintah gagal dan buruk dalam pemberian layanan publik, dan HAM. “Tentu saja HAM tanpa Ekosob yaitu tanpa memperoleh penghidupan yang lakak, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan layanan publik,” ujar Noorsy.

Oleh karena itu, kejahatan kemanusiaan itu akan tetap lestari bukan karena Boedioni an sich menjadi wapres. Karena banyak pengamat yang menuding Boediono sebagai antek IMF, bahkan Gus Dur menyebutkan bahwa Boediono itu masih stafnya IMF. ”Saya tidak menyebut dia antek tapi saya akan menyebutkan pengalaman pribadi,” ujar Noorsy.

Noorsy pun menyebutkan, suatu hari ketika Boediono tidak menjadi menteri dia mikir, mengapa Pengamat Ekonomi Revrison Bazwier menjadi staf ahli MenHAM. Boediono bertanya, Kok bisa Revrison menjadi staf ahli MenHAM? “Artinya apa? Berarti dia tidak mengerti hak ekonomi termasuk di dalam Hak Asasi Manusia. Kalau begitu dia menjalankan apa? Jelas dipisahkannya antara hak politik dengan hak ekonomi, sosial dan budaya,” tuding Noorsy karena dalam ekonomi neolib itu ekonomi dipisahkan dari HAM.

Pengalaman lainnya, ketika Noorsy meminta agar pemerintah Indonesia merestruktur kembali pembayaran utangnya atau bahkan minta penghapusan utang. Karena aturan mainnya begitu ketika negara dalam keadaan krisis, utang luar negeri yang tidak digunakan untuk kepentingan publik–dengan kata lain uang yang disalahgunakan oleh pejabat– bisa dihapuskan. Sehingga Indonesia tidak perlu membayarnya. Lalu Boediono menjawab “Saya mengerti kemauan Anda tetapi saya bisa ditendang IMF”, ujar Noorsy menirukan ucapan Boediono.

Noorsy pun mengkritik konsep ekonomi kemandiriannya Wiranto. ”Meretas Jalan Baru yang ditulis Wiranto itu belum sepenuhnya bisa diuji dalam ekonomi konstitusi. Sehingga tidak jelas bicara ekonomi kemandiriannya. Kan harus ada juga indikator-indikator yang dibangun dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana terkait kemandirian. Diantaranya, kemandirian di bidang pangan bagaimana? Kemandirian di bidang energi bagaimana? Kemandirian di bidang keuangan kayak apa? Kemandirian di bidang fiskal kayak bagaimana? Dari empat hal itu saya tambah satu, kemandirian di bidang pembangunan dan infrastruktur. Saat ini infrastruktur telekomunikasi saja siapa yang miliki? Jalan tol, yang tarifnya akan naik lagi bulan Agustus, siapa yang pegang? Energi? “Nah, itu semua belum terjawab tuntas oleh bukunya Wiranti itu!” tandasnya.

Demikian juga dengan Prabowo walaupun dia berbicara tentang ekonomi kerakyatan tetapi masih terkontaminasi oleh tiga orang, yaitu, Sri Adiningsih, Rini Suwandi, Bungaran Saragih, “ya susah dong!” keluh Noorsy.

Walhasil, meskipun yang menang nanti JK Win atau Mega Pro yang berkuasa adalah para pengusaha atau koorporat. Karena memang ada enam peristiwa yang mengikat pemerintah Republik Indonesia, sejak krisis ekonomi Amerika, Oktober 2008 lalu. Diantaranya pertemuan G20 Oktboer 2008 dan 1-2 April 2009 yang menyebutkan mari lanjutkan globalisasi, Pertemuan Washington 25-26 April yang dihadiri Paskah Suzetta.

Jadi pemerintahan yang akan datang akan diikat dan tergantung dari perjanjian yang sudah dibuat oleh pemerintahan SBY-JK itu. Itu akan terjadi bila pinjaman siaga tidak direstrukturisasi. Global medium yang lima dan sepuluh tahun dengan tingkat suku bunga 10,5 dan 11,5 persen tidak direstrukturisasi. Tambahan utang ADB tidak direstrukturisasi dan seterusnya.

Itulah tantangan untuk JK Win atau Mega Pro bila terpilih nanti. Sehingga ternyata pemerintahan yang akan datang sudah diperangkap oleh pinjaman-pinjaman yang dibuat pada tahun 2009 ini. Padahal lembaga donor itu adalah garda-garda neolib dunia. Jadi siapa dong yang bisa dipilih? Kasus pengusaha mendikte penguasa ini sebelumnya telah

terjadi di Amerika. Itulah sebabnya sistem demokrasi di Amerika disebut dengan demokrasi basa-basi. Obama sekalipun begitu, ia termasuk terkena jebakan neolib. Ada sebuah buku di Amerika yang baru saja diterbitkan mengkritik Obama. ”Kalimat ledekannya begini Change? No! Karena penguasanya tetap saja korporasi,” simpul Noorsy. Dan nampaknya hasil pilpres 2009 nanti pun menunjukkan gejala yang sama.[] -mediaumat.com-

Selengkapnya...

Ya Allah, Berikanlah Kepada Kami Sulthanan Nashira (Kekuasaan yang Menolong)

By den_bagus on 20.24

komentar (0)

Filed Under:

Ada tiga peristiwa yang akhir-akhir ini mengusik pikiran dan perasaan kita:

Pertama, kita menyaksikan, bagaimana jagat perpolitikan negeri kita hampir setiap hari diisi pemberitaan tentang pencalonan capres dan cawapres, berikut koalisi dan manuver tokoh partai dan partai politik yang akan menghadapi Pemilu Presiden, awal Juli 2009 yang akan datang. Begitu massifnya pemberitaan tersebut, yang nyaris tanpa jeda, membuat seolah-olah tidak ada hal lain dalam jagat perpolitikan negeri ini, selain itu-itu juga.

Lalu, kita bertanya, apa relevansinya kekuasaan yang mereka perebutkan dan mereka dapatkan selama ini dengan kondisi Islam dan umatnya? Hampir pasti tidak ada. Sebab, kekuasaan yang selama ini mereka miliki, nyatanya tidak bisa menjaga kehormatan agama mereka, ketika al-Qur’an, Hadits, Nabi dan ajarannya dinistakan begitu rupa. Kekuasaan mereka juga tidak pula bisa menjaga kehormatan umat, bahkan melalui kekuasaannya, mereka justru bekerjasama dengan kaum Kafir penjajah untuk menyerang keyakinan dan akhlak saudara-saudara mereka, melalui proyek liberalisasi agama dan gender. Kekuasaan mereka juga tidak bisa menjaga kekayaan alam negara mereka, sehingga begitu mudahnya kekayaan alam mereka dikuras, siang dan malam oleh negara Kafir penjajah. Lalu, untuk apa kekuasaan mereka? Padahal, kekuasaan itu esensinya adalah untuk semuanya itu.
Kedua, kita menyaksikan bagaimana kebiadaban AS, bersama para penguasa bonekanya, Pakistan dan Afganistan, melakukan serangan brutal terhadap para ulama’ dan pengemban dakwah di Lembah Suwat, semata karena mereka ingin syariat Islam diterapkan di sana. Lebih dari 180 pejuang Muslim telah gugur sebagai syuhada’, selebihnya lebih dari ratusan ribu kaum Muslim, baik tua, muda, anak-anak, dewasa, laki dan perempuan terpaksa harus mengungsi (al-Jazeerah TV, 10/05/2009). Ironisnya, pembantaian ini terjadi setelah kedua penguasa boneka itu menghadap tuannya, Barack Obama, di Gedung Putih. Seolah ingin membuktikan kesetiaan mereka kepada titah sang tuan. Kalau begitu, untuk apa kekuasaan mereka? Apakah untuk ini, mereka mendapatkan kekuasaan dari umat?

Ketiga, kita menyaksikan bagaimana Masjid al-Aqsa tengah menghadapi proses Yahudinisasi. Bagian bawah masjid ini pun telah digali oleh orang-orang Yahudi. Di tengah proses Yahudinisasi itu, Paus Benecditus XVI, melakukan kunjungan ke kawasan tersebut atas undangan PM Israel, Benyamin Netanyahu. Dalam pernyataan yang dikeluarkannya pun, sang Paus bukan saja menyakiti hati umat Islam, dengan menyatakan bahwa al-Quds untuk kaum Yahudi dan Nasrani, tetapi pernyataan itu sekaligus melegalkan proses Yahudisasi yang tengah terjadi. Kaum Muslim yang tinggal di sana sebagai pemilik sah atas tanah Kharajiyyah itu pun seolah-olah harus hengkang, dan tidak mempunyai hak hidup di tanah suci itu. Padahal, justru karena al-‘Ahd al-‘Umari-lah orang-orang Nasrani masih diberi hak hidup di sana, meski mereka kala itu sebagai pihak yang kalah.

Ironisnya, tak satu pun penguasa kaum Muslim yang ada, baik di kawasan tersebut, maupun dunia Islam, melawan, atau setidak-tidaknya memprotes tindakan orang-orang Yahudi dan Nasrani terhadap saudara-saudara mereka? Kalau begitu, untuk apa kekuasaan yang ada di tangan mereka itu? Bukankah mereka mempunyai kekuasaan, personil tentara yang banyak, persenjataan dan peralatan tempur mutakhir, lalu untuk apa semuanya itu, jika kehormatan Islam dan umatnya diinjak-injak begitu rupa, mereka tetap saja tidak melakukan apa-apa?

Iya, kekuasaan mereka memang tidak ada artinya. Kekuasaan itu justru telah menjadi fitnah bagi mereka, sehingga mereka saling jatuh-menjatuhkan dan saling bunuh-membunuh, semata untuk mendapatkan kekuasaan itu. Kekuasaan itu telah menjadi fitnah, karena ia telah berubah menjadi tujuan, bukan sarana untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan. Padahal, Allah SWT telah mengajarkan kepada Nabi saw. terkait dengan kekuasaan ini:

“Dan Katakanlah (Muhammad): “Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (Q.s. al-Isra’ [17]: 80).

Pertama, Nabi diperintahkan agar mempunyai kekuasaan. Karena, kekuasaan itu juga penting bagi Islam dan umatnya, jika digunakan untuk menolong, mendaulatkan dan memartabatkan keduanya. Karena itu, kekuasaan ini tidak boleh berdiri sendiri. Tidak boleh dijadikan tujuan. Tetapi, ia hanyalah sarana untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan. Lalu, apa sesungguhnya tujuan dari kekuasaan itu? Tujuannya tak lain adalah untuk menolong, mendaulatkan dan memartabatkan Islam dan umatnya. Kedua, Nabi diperintahkan, agar kekuasaan yang dimiliki benar-benar untuk menolong, mendaulatkan dan memartabatkan Islam dan umatnya. Inilah sulthan[an] nashira yang dibutuhkan oleh umat. Kekuasaan yang benar-benar harus dimiliki dan diwujudkan oleh umat ini.

Allah pun mengabulkan doa Nabi. Nabi saw. benar-benar telah diberi oleh Allah sulthan[an] nashira dari sisi-Nya, setelah melalui perjuangan yang panjang dan melelahkan. Kekuasaan yang diberikan oleh Allah itu diawali saat Nabi menerima bai’at ‘Aqabah II, dilanjutkan dengan hijrah Nabi ke Madinah, dan diproklamasikannya Negara Islam di sana. Itulah sulthan[an] nashira yang benar-benar diberikan oleh Allah kepada Nabi. Benar sekali, setelah itu, posisi Islam dan umatnya pun kokoh. Diawali hanya dari satu titik, yaitu Madinah, wilayah negara mereka pun berkembang hingga meliputi seluruh Jazirah Arab, hanya dalam waktu tidak kurang dari 8 tahun.

Para penentang Islam dan umatnya pun satu per satu takluk dan tunduk di hadapan mereka.

Setelah Nabi wafat, kekuasaan itu pun masih tetap utuh, bahkan semakin kokoh dan mantap. Itulah Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah, yang dipimpin oleh Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali dan al-Hasan. Ketika fase ini berakhir, kekuasaan pun berpindah kepada generasi berikutnya secara berturut-turut. Dari ‘Umayyah, ‘Abbasiyyah hingga ‘Utsmaniyah. Semuanya ini masih bisa kita sebut sebagai sulthan[an] nashira yang diminta dan diwariskan oleh Nabi saw. Maka, tidak heran, kala itu Islam pun tersebar di tiga benua, dan Khilafah Islam telah menjadi adidaya dunia tak tertandingi selama 10 abad. Umatnya pun dihormati dan dinobatkan sebagai pemimpin bangsa dan umat lain di seluruh dunia.

Tetapi, setelah Khilafah diruntuhkan pada 3 Maret 1924 M/28 Rajab 1342 H, sulthan[an] nashira itu pun hilang. Kekuasaan yang begitu besar dan perkasa itu pun seperti lenyap di telan bumi. Negara adidaya itu akhirnya dikerat-kerat menjadi 50 lebih negara-negara kecil. Untuk bertahan saja tidak bisa, apalagi mempertahankan Islam dan umatnya. Satu-satunya yang membuat negara-negara kecil itu masih tetap bisa bertahan adalah dukungan negara-negara Kafir penjajah. Wajar, jika kekuasaan yang melekat padanya tidak akan mungkin digunakan untuk menjaga, mendaulatkan dan memartabatkan Islam dan umatnya. Sebaliknya, kekuasaan itu akan senantiasa digunakan untuk melayani kepentingan negara-negara Kafir penjajah itu. Jadi, kekuasaan seperti ini tidak ada gunanya. Karena ada dan tidaknya sama saja. Bahkan, keberadaannya akan selalu menjadi fitnah bagi Islam dan umatnya.

Contohnya adalah Pakistan. Ketika kekuasaan di tangan Musharraf, kekuasaan itu digunakan untuk merusak agama dan akhlak tentaranya sendiri, setelah itu tentaranya digunakan untuk membantai umat Islam di Masjid Merah. Di tangan Musharraflah, wilayah Pakistan telah digunakan oleh negara-negara Kafir penjajah, pimpinan AS dan sekutunya untuk menyerang kaum Muslim di Afganistan. Setelah Musharraf kehilangan kekuasaannya, orang berharap Pakistan menjadi lebih baik, nyatanya tidak. Di tangan Asif Ali Zardari, mantan suami Butho yang korup itu, kekuasaan telah digunakan untuk menodai kehormatan Islam dan umatnya, sebagaimana yang terjadi di Lembah Suwat itu.

Maka, doa Nabi, “Berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” sekaligus permohonan, agar semua kekuasaan yang tidak bisa dan tidak digunakan untuk menolong Islam dan umatnya itu segera ditumbangkan dan dienyahkan dari muka bumi, digantikan dengan kekuasaan yang benar-benar bisa menolong Islam dan umatnya. Karena hanya dengan itulah, akhirnya doa Nabi itu benar-benar dikabulkan oleh Allah. Lalu kapan semuanya itu akan terwujud? Ketika Khilafah berdiri. Karena, Khilafahlah sesungguhnya sulthan[an] nashira yang diminta oleh Nabi. Wallahu a’lam. (Hafidz Abdurrahman)

Selengkapnya...

 Blog Terbaik News & Journalism - Top Blogs Philippines Malaysian Topsites - TopMalaysia.OrG Journalist Blogs - Blog Catalog Blog Directory Indonesian Muslim Blogger