Hukum Melibatkan Diri dalam Perayaan Natal dan Perayaan Agama Lainnya
By den_bagus on 02.55
Filed Under:
Perayaan Natal Bersama yang melibatkan umat Islam masih saja marak terjadi. Kendati Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa haramnya umat Islam terlibat dalam perayaan Natal, namun banyak yang tidak mengindahkan fatwa itu. Bahkan, hampir tidak ada perayaan Natal Bersama yang tidak dihadiri pejabat publik atau tokoh politik. Toleransi dan persatuan kerapkali dijadikan sebagai dalihnya. Keadaan semakin runyam ketika ada sejumlah ’ulama’ atau ’tokoh Islam’ yang melegitimasi sikap tersebut dengan berbagai dalil yang telah disimpangkan sedemikian rupa.
Bagaimana sesunguhnya hukum melibatkan diri dalam perayaan natal dan hari raya agama-agama lainnya?
Haram Hadir dalam Perayaan Kufur
Pada dasarnya, Islam telah melarang kaum muslim melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup aktivitas: mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya. Sedangkan perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh perayaan hari raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang berkaitan dengan hari perayaan orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul kitab).
Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah swt;
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا (الفرقان: 72).
Menurut sebagian besar mufassir, makna kata al-zûr (kepalsuan) di sini adalah syirik (Imam al-Syaukani, Fath al-Qadîr, juz 4, hal. 89). Beberapa mufassir seperti Abu ‘Aliyah, Thawus, Muhammad bin Sirrin, al-Dhahhak, al-Rabi’ bin Anas, dan lainnya, memaknai al-zûr di sini adalah hari raya kaum Musyrik. Lebih luas, Amru bin Qays menafsirkannya sebagai majelis-majelis yang buruk dan kotor (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hal. 1346).
Sedangkan kata lâ yasyhadûna, menurut jumhur ulama’ bermakna lâ yahdhurûna al-zûr, tidak menghadirinya (Imam al-Syaukani, Fath al-Qadîr, juz 4, hal. 89). Memang ada yang memahami ayat ini berkenaan dengan pemberian kesaksian palsu (syahâdah al-zûr) yang di dalam Hadits Shahih dikatagorikan sebagai dosa besar. Akan tetapi, dari konteks kalimatnya, lebih tepat dimaknai lâ yahdhurûnahu, tidak menghadirinya. Dalam frasa berikutnya disebutkan:
وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan apabila mereka melewati (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya” (QS al-Furqan [25]: 72).
Dengan demikian, keseluruhan ayat ini memberikan pengertian bahwa mereka tidak menghadiri al-zûr. Dan jika mereka melewatinya, maka mereka segera melaluinya, dan tidak mau terkotori sedikit pun oleh nya (lihat Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hal. 1346).
Berdasarkan ayat ini pula, banyak fuqaha’ yang menyatakan haramnya menghadiri menghadiri perayaan hari raya kaum kafir. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Kaum Muslim telah diharamkan untuk merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan Nasrani. “ (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.201).
Imam Baihaqi menyatakan, “Jika kaum muslim diharamkan memasuki gereja, apalagi merayakan hari raya mereka.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.201).
Imam al-Amidi dan Qadli Abu Bakar al-Khalal menyatakan,”Kaum Mmuslim dilarang keluar untuk menyaksikan hari raya orang-orang kafir dan musyrik.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.201).
Al-Qadhi Abu Ya’la al-Fara’ berkata, “Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik”. (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 201)
Imam Malik menyatakan, “Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang musyrik atau kafir, atau memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual sesuatu kepada mereka, atau naik kendaraan yang digunakan mereka untuk merayakan hari rayanya. Sedangkan memakan makanan yang disajikan kepada kita hukumnya makruh, baik diantar atau mereka mengundang kita.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 201).
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, “Sebagaimana mereka (kaum Musyrik) tidak diperbolehkan menampakkan syiar-syiar mereka, maka tidak diperbolehkan pula bagi kaum Muslim menyetujui dan membantu mereka melakukan syiar itu serta hadir bersama mereka. Demikian menurut kesepakatan ahli ilmu.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, juz 1. hal. 235).
Abu al-Qasim al-Thabari mengatakan, “Tidak diperbolehkan bagi kaum Muslim menghadiri hari raya mereka karena mereka berada dalam kemunkaran dan kedustaan (zawr). Apabila ahli ma’ruf bercampur dengan ahli munkar, tanpa mengingkari mereka, maka ahli ma’ruf itu sebagaimana halnya orang yang meridhai dan terpengaruh dengan kemunkaran itu. Maka kita takut akan turunnya murka Allah atas jama’ah mereka, yang meliputi secara umum. Kita berlindung kepada Allah dari murka-Nya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, juz 1. hal. 235).
Abdul Malik bin Habib, salah seorang ulama Malikiyyah menyatakan, “Mereka tidak dibantu sedikit pun pada perayaan hari mereka. Sebab, tindakan merupakan penghormatan terhadap kemusyrikan mreka dan membantu kekufuran mereka. Dan seharusnya para penguasa melarang kaum Muslim melakukan perbuatan tersebut. Ini adalah pendapat Imam Malik dan lainnya. Dan aku tidak mengetahui perselisihan tentang hal itu” (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatâwâ, juz 6 hal 110).
Pada masa-masa kejayaan Islam, pemerintahan Islam saat itu –sejak masa Rasulullah saw –, kaum muslim tidak diperbolehkan merayakan hari raya ahlul Kitab dan kaum musyrik. Dari Anas ra bahwa ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari raya yang mereka rayakan, beliau pun bersabda:
قَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“Sungguh Allah swt telah mengganti dua hari itu dengan dua hari yang yang lebih baik daripada keduanya, yaitu Idul Adha dan idul Adha.” (HR. Abu Dawud dan al-Nasa’i dengan sanad yang shahih).
Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab, beliau juga telah melarang kaum muslim merayakan hari raya orang-orang kafir. Imam Baihaqiy telah menuturkan sebuah riwayat dengan sanad shahih dari ‘Atha’ bin Dinar, bahwa Umar ra pernah berkata,
لَا تَعَلَّمُوا رَطَانَةَ الْأَعَاجِمِ وَلَا تَدْخُلُوا عَلَى الْمُشْرِكِينَ فِي كَنَائِسِهِمْ يَوْمَ عِيدِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَ يَنْزِلُ عَلَيْهِمْ
“Janganlah kalian menmempelajari bahasa-bahasa orang-orang Ajam. Janganlah kalian memasuki kaum Musyrik di gereja-gereja pada hari raya mereka. Sesungguhnya murka Allah swt akan turun kepada mereka pada hari itu.” (HR. Baihaqiy).
Umar bin al-Khaththtab ra juga mengatakan:
اجْتَنِبُوا أَعْدَاءَ اللَّهِ فِي عِيدِهِمْ
“Jauhilah musuh-musuh Allah pada di hari raya mereka.”
Demikianlah, Islam telah melarang umatnya melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup perbuatan; mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya. Adapun perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh perayaan hari raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang berkaitan dengan hari perayaan orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul kitab).
Melenyapkan Syubhat
Di antara ayat sering digunakan untuk melegitimasi bolehnya mengucapkan selamat natal adalah firman Allah Swt:
وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا
“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali” (QS Maryam [19]: 33).
Memang dalam ayat ini disebutkan tentang keselamatan pada hari kelahiran Isa. Akan tetapi, itu tidak ada kaitannya dengan ucapan selamat natal. Sebab, Natal adalah perayaan dalam rangka memperingati kelahiran Yesus di Bethlehem. Sejak abad keempat Masehi, pesta atau perayaan natal ditetapkan tanggal 25 Desember, menggantikan perayaan Natalis Solis Invioti (kelahiran matahari yang yang tak terkalahkan).
Telah maklum, bahwa keyakinan Nasrani terhadap Isa as –yang mereka sebut Yesus– adalah sebagai Tuhan. Dan keyakinan ini menjadi salah satu penyebab kekufuran mereka. Banyak sekali ayat menegaskan hal ini, seperti firman Allah Swt:
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putra Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzalim itu seorang penolong pun.” (QS al-Maidah [5]: 72).
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Maidah [5]: 73-74).
Bertolak dari fakta tersebut, perayaan Natal yang merayakan ‘kelahiran Tuhan’ merupakan sebuah kemunkaran besar. Sikap yang seharusnya dilakukan kaum Muslim terhadap pelakunya adalah menjelaskan kesesatan mereka dan mengajak mereka ke jalan yang benar, Islam. Bukan malah mengucapkan selamat terhadap mereka. Tindakan tersebut dapat dimaknai sebagai sikap ridha dan cenderung terhadap kemunkaran besar yang mereka lakukan. Padahal Allah Swt berfirman:
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (QS Hud [11]: 113).
Menurut Abu al-Aliyah, makna kata al-rukûn adalah ridha. Artinya ridha terhadap perbuatan orang-orang zhalim. Ibnu Abbas memaknainya al-mayl (cenderung). Sedangkan menurut al-Zamakhsyari, al-rukûn tak sekadar al-mayl, namun al-mayl al-yasîr (kecenderungan ringan). Ini berarti, setiap Muslim wajib membebaskan dirinya dari kezahliman. Bukan hanya dalam praktik, namun sekadar kecenderungan sedikit saja sudah tidak diperbolehkan.
Jelaslah, haram hukumnya kaum Muslim terlibat dalam perayaan hari raya kaum kaum kafir, baik Musyrik maupun Ahli Kitab. Wal-Lâh a’lam bi al-Shawâb[hti]
0 komentar for this post