Kritik Terhadap Bayanat Pilpres 2009
By den_bagus on 21.17
Filed Under:
Bismillahirrohman ar rohiim
Bayanat Pilpres 2009 yang disampaikan oleh DPP PKS yang dianggap mengutamakan maqasid dan maslahat yang lebih besar. Berikut masukan terkait pertimbangan hukum (istidlal) yang menselisihi perkara yang lebih besar dan lebih mengutamakan perkara cabang (maslahat). Bayan tersebut dapat didownload disini atau dilihat disini.
1. Pengambilan keputusan tersebut didasarkan kepada kontrak politik dengan kecenderungan berkompromi serta mencampur adukkan kebenaran dengan keburukan dengan hukum, penguasa, dan etika politik yang menganut azas machiavelis dan mengesampingkan dalil dalil rajih penegakan syariat secara terang terangan dan kaffah. Sedangkan Islam melarang menyembunyikan al Haq (islam/ risalah) itu sendiri baik kepada musuh maupun kepada teman.
وَلاَ تَلْبِسُواْ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُواْ الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“ Janganlah kamu campur-adukkan antara kebenaran dan kebatilan, dan kamu sembunyikan yang benar padahal kamu mengetahuinya. “ (QS. Al Baqarah 42)
Imam Qatadah dan Mujahid mengartikan ayat ini : “ Janganlah kamu campur adukkan antara agama Yahudi dan Nasrani dengan Islam. “ ( Al Qurtubi , Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an , Juz 1, hlm : 233 , Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Adhim, juz I, hlm 133)
وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Padahal kamu mengetahui bahwa perbuatan mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan itu akan menjerumuskan orang-orang kepada kesesatan. ( Ibnu Katsir, Lo. Cit)
Dari ayat di atas, bisa disimpulkan bahwa di dalam dunia ini hanya ada dua ; Kebenaran dan Kebatilan, dan tidak ada yang lain. Jika ada yang mengatakan bahwa di sana ada istilah mubah yang terletak antara wajib dan haram ? Maka jawabannya adalah bahwa mubah harus dilihat dari dampaknya, apakah akan menguatkan kebenaran ( wajib ) atau kebatilan ( haram) , jika menguatkan kebenaran maka kita termasuk darinya dan begitu pula sebaliknya.
2. Hal tersebut menjadikan wali (pelindungan) kepada orang yang berada di luar garis perjuangan menegakkan Islam (wala' kepada taghut), sedangkan Allah berfirman :
"Sesungguhnya mereka telah mendustakan yang haq (Al-Quraan) tatkala sampai kepada mereka, maka kelak akan sampai kepada mereka (kenyataan dari) berita-berita yang selalu mereka perolok-olokkan." QS. Al An'aam 4.
Dan Allah lebih mengetahui (daripada kamu) tentang musuh-musuhmu. Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung (bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi Penolong (bagimu). QS. An Nisaa 46
Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah) QS. An Nisaa 138-139.
3. Menegakkan Islam dengan metodologi seperti ini (machiavelis) adalah perkara yang mengambil dalil furu' (maslahat) dan mencampakkan ushul dari agama yang merupakan perkara aqidah (wala' wal baro'). Sedangkan dalam perkara aqidah tidak ada perselisihan.
Ibnu Abdil Bar (wafat 463 H) berkata : “Sekiranya kebenaran itu terdapat di dalam dua hal yang bertentangan, maka tidak mungkin orang-orang salaf akan saling menyalahkan dalam ijtihad, keputusan, dan fatwa-fatwa mereka.
Imam Qardhawi dalam Fiqh Aulawiyatpun mendahulukan ushul daripada perkara furu'. Perkara tersebut juga menyelisihi prinsip Tawazun dalam Prioritas. Dalam Islam juga ada mabadi’ (prinsip asas/dasar) yang harus didahulukan daripada wasail (sarana), dalil qath’i yang harus didahulukan daripada dalil dhanni, kaidah kull daripada kaidah juz, mendahulukan ushul daripada furu’,
4. Menegakkan Islam dengan metodologi seperti ini (machiavelis) adalah perkara menghalalkan segala cara dan menjadikan tujuan sebagai 'berhala' serta mengesampingkan manhaj dakwah Rasul yang mengambil pelindung dari HANYA orang orang beriman.
Imam Asy-Syatibi membagi maqashid menjadi tiga bagian, yaitu: dharuriyat, hajiyat dan tahsinat. Dharuriyat artinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika tidak ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya Rukun Islam. Perkara menegakkan dengan cara seperti ini justru menimbulkan kerusakan aqidah dan kerusakan konsep syariah secara utuh.
Dharuriyat beliau jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu menjaga agama (hifzh ad-din); menjaga jiwa (hifzh an-nafs); menjaga akal (hifzh al-`aql); menjaga keturunan (hifzh an-nasl) dan menjaga harta (hizh al-mal) (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, II/4). Inilah sekilas konsep Asy-Syatibi tentang maqashid syariah (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, II/4-5; Az-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami, 11/1046-1051).
Dharuriyat beliau jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu menjaga agama (hifzh ad-din); menjaga jiwa (hifzh an-nafs); menjaga akal (hifzh al-`aql); menjaga keturunan (hifzh an-nasl) dan menjaga harta (hizh al-mal) (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, II/4). Inilah sekilas konsep Asy-Syatibi tentang maqashid syariah (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, II/4-5; Az-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami, 11/1046-1051).
Dalam perkembangan kontemporer, konsep maqashid syariah ternyata banyak dibelokkan untuk melegitimasi ide-ide Barat, bukan untuk menerapkan syariat seperti digagas Asy-Syatibi itu sendiri. Contoh, tujuan menjaga agama ditafsirkan oleh Ulil Abshar Abdalla (Jaringan Islam Liberal) sebagai perlindungan terhadap kebebasan beragama (the protection of the freedom of religion); tujuan menjaga akal diinterpretasikan sebagai perlindungan terhadap kebebasan berpikir (the protection of the freedom of thought). Jadi, konsep maqashid syariah dijadikan sekadar instrumen untuk menyusupkan ide-ide liberal yang sekuler (Shiddiq Al-Jawi, Menimbang Maqashid Syariah, jurnal al-Waie edisi 40).
6. Tiada Maslahat tanpa Syariah.
Pertama bahwa maslahat merupakan hikmah (akibat) penerapan syariat, bukan illat penetapan syariat. Menurut An-Nabhani memang ada hubungan maslahat dengan syariat. Hal ini beliau pahami dari Alquran yang menyatakan bahwa diutusnya Nabi SAW adalah untuk membawa rahmat, yaitu maslahat, misalnya dalam QS Al-Isra: 82 dan QS al-Anbiya’: 107. Namun demikian, An-Nabhani dengan hati-hati menekankan berulang-ulang, bahwa maslahat itu bukanlah illat atau motif (al-ba’its) penetapan syariat, melainkan hikmah, hasil (natijah), tujuan (ghayah), atau akibat (aqibah) dari penerapan syariat.
Kedua, maqashid syariah merupakan tujuan dari syariat secara keseluruhan (ka-kull), bukan tujuan syariat sebagai satu persatu hukum (li kulli hukmin bi ‘aynihi). Dengan kata lain, terwujudnya kemaslahatan merupakan hasil penerapan syariat secara keseluruhan, bukan hasil penerapan dari masing-masing hukum. Jika kita mengatakan bahwa tujuan setiap hukum (satu persatu) adalah untuk memperoleh maslahat, ini hanya ditunjukkan oleh dalil aqli (akal), bukan oleh dalil syariat. Padahal, berbicara tentang hukum syariat haruslah didasarkan pada dalil syariat, bukan dalil aqli.
Ketiga, konsep maqashid syariah mendudukkan hikmah (akibat) penerapan syariat kadang terwujud dan kadang tidak terwujud. Misalnya, mengenai khamar dan judi, Allah menerangkan keduanya dapat memunculkan kebencian dan permusuhan di antara manusia (QS Al-Maidah: 91). Namun faktanya, banyak penenggak khamar dan para penjudi rukun-rukun saja, tidak ada permusuhan dan kebencian di antara mereka.
Prinsip ketiga ini mengandung maksud, bahwa tujuan-tujuan hukum ini tidak boleh dijadikan sebagai illat. Keharaman khamar dan judi juga akan bergantung pada ada-tidaknya permusuhan dan kebencian di antara pelakunya. Jika ada permusuhan maka khamar dan judi haram, jika harmonis dan rukun-rukun saja maka khamar dan judi menjadi boleh. Tentu ini tidak benar.
Keempat, konsep maqashid syariah adalah hikmah dari penerapan syariat hanya diketahui berdasarkan nash syariat, bukan berdasarkan akal. Sebab, yang menetapkan syariat adalah Allah sehingga hanya Allah saja yang mengetahui tujuan pensyariatannya.
Sebagai penutup
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.[256]Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." [QS. Al Baqarah 256-257)
Sumber : revolusidamai
1 komentar for this post
afwan kadang ummat bingung dengan dalil karena tidak semuanya faham seperti ana yang masih awam
mereka hanya ingin mengetahui saran langkah kongkritnya seperti apa akhi,....
tolong ditanggapi