Memahami Hakikat Kemaslahatan 2

By den_bagus on 00.45

Filed Under:

Merupakan anugerah yang besar yang diberikan kepada manusia adalah ia dijadikan sebagai makhluk yang mulia. Zat Yang Maha Kuasa telah memberikan segala kebutuhannya, baik kebutuhan di dunia maupun di akherat. Sebagai bukti akan hal tersebut, Dia telah mengutus para Rasul dan mengatur kehidupan ini dengan aturan yang selalu selaras dengan situasi dan kondisi. Bila melihat rentetan perjalanan syariat, maka dapat kita temukan adanya keselarasan antara syariat yang berlaku dengan kondisi yang berada pada saat itu. Hal ini bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan dan mencegah mafsadah. Di samping itu, perubahan dalam syariat, adanya nasakh, hingga risalah Muhammadiyyah semakin menambah kuat tentang adanya landasan dalam mengambil keputusan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan umat.

Tingkatan hukum didasarkan pada perbedaan tingkatan kemaslahatan, setiap maslahat yang besar, maka ia termasuk kategori wajib dan tingkatan di bawahnya adalah sunnat dan seterusnya. Demikian juga mafsadah, jika ia termasuk mafsadah yang besar, maka ia termasuk kategori haram dan begitu tingkatan seterusnya. Oleh karena itu, pahala dan siksa bertautan dengan tingkatan maslahah dan mafsadah. Seorang Muslim harus meyakini, Allah SWT tidak akan memerintahkan sesuatu perbuatan kecuali mengandung unsur maslahah, baik bersifat segera atau bersifat mendatang. Pada umumnya, maslahah dan mafsadah dapat diketahui manusia, kecuali beberapa perkara yang tidak bisa diketahui, karena ia bersifat ta'abbudi.

Hakekat Maslahah dan Mafsadah
Pada dasarnya, Maslahat adalah suatu makna tentang kenikmatan dan sebab-sebab yang membawa kepada kenikmatan. Sedangkan mafsadah adalah sesuatu yang membawa kesengsaraan dan sebab-sebab yang membawa dampak kesengsaraan.

Dalam pandangan syara', pemaknaan seperti ini tidak sesuai dengan hadits Rasul saw., "Surga dikelilingi dengan sesuatu yang tidak menyenangkan dan neraka dikelilingi dengan sesuatu yang menyenangkan." (HR Muslim).

Maka, terkadang sebab-sebab kemaslahatan merupakan mafsadah, akan tetapi ia diperintah karena ia termasuk sesuatu yang menuju suatu kemaslahatan yang lebih tinggi seperti hukum potong tangan dan sebagainya. Jika kita memperhatikan dengan baik, syariat Islam selalu menjaga kemaslahatan dalam pengambilan hukum. Hukum Allah selalu berdasarkan maslahah. Hal itu merupakan anugerah dan rahmat dari-Nya, bukan merupakan kewajiban yang harus Dia lakukan.

Seperti yang dikatakan oleh Asy Syathibi, bahwa hukum Allah berdasarkan maslahah syara', dan bukan kemaslahatan yang berdasarkan pada keinginan manusia. Manusia tidak mampu menemukan maslahah kecuali ada perantara syara'. Pendapati ini didukung oleh Al Amidi, Al Ghazali dan lain-lainnya.


Sebagaian Asy'ariyyah dan imam Ar Razi mengingkari pendapat tersebut. Mereka mengingkari jika hukum Allah tergantung dengan adanya ba'its (pendorong), artinya hukum Allah itu tergantung kepada maslahah. Mereka berpendapat illat merupakan tanda adanya hukum dan bukan penentu suatu hukum, karena Allah SWT bersifat sempurna dan tidak membutuhkan penyempurna.

Akan tetapi mereka sependapat apabila hukum yang diciptakan Allah itu mengandung maslahah. Adapun dalil yang rajih adalah pendapat pertama, sebab menurut dalil istiqra' hukum Allah selalu didasarkan pada suatu maslahah.

Definisi Maslahah
Menurut etimologi, maslahah mengandung dua makna:
1. Ia merupakan bentuk masdar yang bermakna shalaah, yaitu suatu perkara jika dilihat dari segi penggunaannya, ia berada dalam keadaan yang sempurna, seperti pena berfungsi sebagai alat tulis dan sebagainya. Ketika dikatakan maslahah, berarti mengandung makna menolak mafsadah.
Berdasarkan makna ini, maka arti maslahah sama dengan arti manfaat.
2. Perbuatan yang mengandung kemaslahatan dan menolak terhadap mafsadah. Ditinjau dari arti kedua, maslahah merupakan antonim dari mafsadah dan manfaat merupakan antonim dari dharar. Pemaknaan maslahah menurut arti kedua termasuk dalam bentuk majaz mursal dengan alaqah sababiyyah dan musabbabiyyah.

Sedangkan menurut terminologi, para pakar usul fiqh mendefinisikan maslahah di dalam dua tempat:
a. Ketika mereka mereka mengartikan makna munasib, yaitu suatu illat yang mengandung maslahah.
b. Ketika mereka membahas maslahah sebagai dalil syara':

1. Menurut Al Ghazali, yaitu menarik kemaslahatan dan menolak dharar (perkara yang membahayakan) atau dengan istilah lain menjaga maqhasid al syariah.
2. Menurut al Thufi, yaitu sebab yang menghantarkan kepada tujuan syara', baik berbentuk ibadah atau adat.

Segi persamaan dan perbedaan antara kedua ta'rif di atas:
- Kedua ta'rif sesuai dengan ta'rif lughawi.
- Kedua ta'rif membedakan antara tujuan syara' dengan tujuan manusia.
- Dalam ta'rif Al Ghazali didasarkan adanya munasib, disamping itu ia juga membagi maslahah menurut pandangan syara' menjadi: maslahah mulghah, mu'tabarah dan mursalah, baik mulâimah atau gharibah. Menurut beliau, maslahah mu'tabarah termasuk dalam bab qiyas dan ia tidak mengambil maslahat gharibah sebagai hujjah. Sedangkan maslahah mulâimah bisa sebagai hujjah dengan syarat ia termasuk jenis perbuatan syara' yang di perbolehkan.
- Sedangkan ta'rif At Thufi tidak membagi maslahah berdasarkan tinjauan syara', sehingga mungkin bisa terjadi pertentangan antara nash syara' dengan maslahah. Berbeda dengan Al Ghazali yang menjadikan maslahah sebagai dalil hukum apabila tidak ada nash yang berkaitan dengan hukum tersebut. Oleh karena itu, menurut At Thufi maslahah selalu didahulukan daripada nash dan ijma' dengan cara takhsis dan bayan, bukan dengan cara mengesampingkan keduanya (nasakh).

Pembagian Maslahah

Dari segi tempat:
1. Duniawi, seperti memperoleh kenikmatan yang sifatnya mubah
2. Ukhrawi, seperti melakukan ibadah
3. Gabungan antara keduanya, seperti mengeluarkan sedekah. Karena bila dilihat dari orang yang mengambil, ia merupakan bagian dunia sedangkan bagi pemberi, ia merupakan bagian dari akherat.

Dari segi tingkatan atau derajat.
1. Dharuriyat
2. Hajiyat
3. Tahsiniyat

Dari segi ruang lingkup.
1. Bersifat umum, seperti membunuh kafir zindiq.
2. mayoritas.
3. individu

Dari segi tinjauan syara'.
1. Mu'tabarah
2. Mulghah
3. Mursalah

Maslahah ada yang bersifat tetap, seperti maslahat dalam ibadah dan ada yang bersifat kondisional, seperti maslahat dalam muamalat dan adat.

Di samping itu maslahah juga terbagi menjadi: maslahah hakiki, yaitu kenikmatan dan kesenangan dan maslahah majazi, yaitu perantara yang menghantarkan kepada kenikmatan dan kesenangan.


Perbedaan antara Dharurat dengan Maslahat
Dharurat adalah suatu tingkat kebutuhan yang amat sangat penting, karena bisa mengancam jiwa, harta dan lain-lainnya. Sedangkan maslahat lebih bersifat umum, karena ia bertujuan untuk menarik manfaat atau menolak kerusakan. Maka maslahat bisa mencakup tiga tingkatan, yaitu dharurat, hajiyat dan tahsiniyat Berbeda dengan dharurat, ia merupakan salah satu tingkatan dari ketiga pembagian tersebut.

Imam Ghazali mengunakan istilah istishlah bukan dengan mashalih mursalah, karena mashalih mursalah hanya mengandung makna mashlahat saja, berbeda dengan istishlah, ia merupakan proses pembentukan hukum yang didasarkan pada maslahat. Di antara nama-nama yang serupa maslahah adalah maslahah mursalah, munasib mursal, istishlah, istidlal bil mursal, dan istidlal. Dasar-dasar yang mendorong untuk menggunakan maslahat adalah usaha untuk memperoleh kemaslahatan, menolak kerusakan, saddudz dzara'i' dan adanya perubahan dari segi waktu dan kondisi.

Teori Maslahat menurut Asy Syatibi
Meskipun menurut sejarah, Asy Syatibi bisa dibilang termasuk ulama periode akhir, akan tetapi ?a lebih terkenal dengan sebutan bapak maqashid. Dengan secara terperinci dan dibuktikan dengan dalil-dalil, ia mampu menyusun maqhasid dengan baik. Ini bukan berarti bahwa maqashid pada dekade sebelumnya belum muncul, karena sejak Al Juwaini dan Ghazali maqashidpun sudah ada.

Oleh karena itu, Asy Syatibi dalam maqasidnya banyak mengambil dari ulama' terdahulu, seperti Al Ghazali, Al Juwaini, Al Qarafi dan Ibnu Abd As Salam. Bahkan Imam Al Ghazali menduduki peringkat pertama dalam maqashid Asy Syatibi, yaitu sekitar empat puluh tempat Asy Syatibi menyebut Al Ghazali dalam Muwafaqot.

Membahas tentang teori maqashid Asy Syatibi berarti harus mempelajari dan mengakaji kitab Muwafaqot dan kitab Al I'tisham secara utuh dan menyeluruh agar hasil yang diperoleh bisa maksimal. Untuk mendapatkan hal tersebut membutuhkan kemampuan, tenaga , waktu dan yang super ekstra, wa lastu ahlan bidzâlik.

Dalam tulisan ini, saya hanya mengambil beberapa sample untuk sedikit mengetahui maqashid Asy Syatibi. Dalam kitab Muwafaqot bagian kedua, maqhasid Asy Syathibi terbagi menjadi dua bagian, Maqhashid syara' dan maqashid mukallaf. Maqhashid Syara' terbagi menjadi empat bagian, yaitu

1. Syariat berdasarkan pada kemaslahtan manusia di dunia dan di akherat,
2. Syariat memberikan pemahaman kepada mukallaf bahwa Al-Quran bisa dipaham lewat Lisan arab, karena ia diturunkan dalam bahasa Arab,
3. Syariat sebagai pembebanan terhadap mukallaf
4. Syariat diturunkan untuk ditaati dan seorang mukallaf termasuk objek dalam hukum syara' sehingga ia bisa masuk ke dalam aturan-aturannya.

Beberapa sample tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pembebanan dalam syariat Islam dimaksudkan untuk menjaga maqhasid syariah, yaitu dharurat, hajiyat dan tahsiniyat. Dari setiap bagian tersebut mempunyai lima bagian, yaitu menjaga agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Dharuriyat merupakan pokok dalam syariat sedangkan hajiyat dan tahsiniyat merupakan sifat pelengkap. Dengan kata lain dharurat merupakan pokok dari hajiyat dan hajiyat merupakan pokok dari tahsiniyat, sehingga ada sebuah kaedah Asy Syathibi, "Al Mukammilu lil mukammili mukammilun" mukammil pertama adalah tahsiniyat, mukammil kedua adalah hajiyat dan mukammil ketiga adalah dharuriyat.


2. Maslahat di dunia dapat ditinjau dari dua dimensi, yaitu dari segi realita yang ada dan dari hubungan khitab syara' terhadap maslahat tersebut. Menurut tinjauan pertama, maslahat tidak akan terlepas dari adanya beban atau kesusahan, baik dalam skala kecil atau besar, demikian halnya dengan mafsadah. Oleh karena itu, maslahat yang di anggap adalah maslahat yang lebih kuat menurut pandangan adat. Dan mafsadah yang harus ditinggalkan adalah mafsadah yang lebih kuat. Sedangkan maslahat yang dii'tibar menurut pandangan syara' adalah maslahat yang murni yang tidak tercampur dengan mafsadah.


3. Syara' tidak membebani mukallaf di luar kemampuannya, karena syara' menginginkan kemudahan dan memberikan keringanan, seperti adanya rukhshah di samping itu adanya ijma' yang menyatakan bahwa pembebanan syariat bukan untuk membuat masyaqqot.

4. Tujuan syara' memasukkan seorang mukallaf menjadi objek hukum adalah agar ia bisa menjadi hamba Allah yang baik, karena banyak dalil yang menjelaskan tentang hal tersebut.

5. Mendahulukan maslahat umum daripada maslahat individu. Ini merupakan kaedah yang berdasar pada dalil istiqra' dari nash.

6. Menolak di antara dua bahaya yang paling berat, seperti qishash dan had.

7. Maqhashid syariah terbagi menjadi dua, yaitu ashliyyah dan tâbiah. Maqhashid ashliyyah adalah maqhashid yang memperhatikn kemaslahatan hajat hidup orang banyak secara mutlak. Maqhashid ini terbagi menjadi dua: dharuriyyah ainiyyah dan dharuriyyah kifaiyyyah. Sedangkan maqhashid tâbiah adalah maqashid yang yang memperhatikan kebutuhan individu. Dalam maqhashid ini seseorang boleh melakukan pekerjaan sesuai keinginannnya, misalnya apakah ia ingin menjadi pedagang ataukah petani. Maqhashid tâbiah kedudukannya sebagai pelengkap dari maqhashid ashliyyah.

8. Syarat taklif dalam syariat adalah adanya kemampuan seseorang terhadap beban yang diberikan kepadanya. Setiap beban yang ia tidak mampu, maka taklif tersebut tidak dibenarkan menurut syara'. walaupun secara hukum akal diperbolehkan. Akan tetapi pendapat ini ditentang kelompok Hanafiyyah dan Mu'tazilah yang mengatakan tidak boleh secara hukum akal membebani seorang mukakallaf di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, jika sepintas ada taklif dari syara' kemudian taklif tersebut di luar batas kemampuan kita maka langkah yang diambil adalah mengembalikan pembebanan tersebut terhadap sawabiq, lawahiq atau qarain. Contoh sawabiq "maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". (QS. 2:132). Untuk lebih lanjut lihat contohnya dalam Muwafaqot.

Dalam kitab Al I'tisham Asy Syathibi juga memberikan pendapatnya tentang maslahat. Pendapat tersebut tertuang ketika membahas perbedaan antara bid'ah, mashalih mursalah dan istihsan.

Asy Syathibi dalam buku tersebut memberikan sepuluh contoh mashalih mursalah, kemudian ia memberikan kesimpulan:
1. Maslahah mursalah bisa dibuat dalil, jika selaras dengan tujuan syara' dan tidak ada dalil yang melarangnya.
2. Dalam bidang ibadah selalu merujuk kepada sifat ta'abbudi. Misalnya, debu (membuat badan kotor ketika tayammum) bisa menggantikan air (membuat badan bersih dalam berwudhu), Dalam sebagian shalat sunnat disunnatkan berjamah (shalat ied, shalat gerhana, shalat istisqa') berbeda dengan sebagian shalat sunnat yang lain. Sedangkan dalam bidang adat merujuk pada kemaslahatan selagi dalam koridor syara'.
3. Mashalih mursalah termasuk perantara yang menjaga dharuriyat al khamsah dan bertujuan menghilangkan masyaqqot.

sumber : revolusidamai

0 komentar for this post

Posting Komentar

 Blog Terbaik News & Journalism - Top Blogs Philippines Malaysian Topsites - TopMalaysia.OrG Journalist Blogs - Blog Catalog Blog Directory Indonesian Muslim Blogger