Soal Jawab Tentang Perjanjian Hudaibiyah
By den_bagus on 01.45
Filed Under:
Soal:
Ada kelompok atau partai yang menggunakan kasus Perjanjian Hudaibiyah (Sulh Hudaibiyyah)—saat Nabi saw. bersedia melakukan perjanjian damai dengan kaum kafir Quraisy, dengan meninggalkan beberapa hal yang dianggap prinsip, bahkan terkesan merugikan kepentingan Islam dan kaum Muslim—untuk melakukan koalisi atau manuver politik dengan kelompok atau partai sekular, termasuk berkoalisi untuk memerintah atau beroposisi. Bagaimana sesungguhnya fakta hukumnya?
Jawab:
Pertama-pertama harus didudukkan terlebih dulu, bahwa Sulh Hudaibiyyah sebagai dalil tafshîli (kasuistik) harus dipahami dan digunakan sesuai dengan konteks (manath)-nya. Penggunaan dalil tafshîli di luar konteksnya tentu tidak bisa diterima. Hal ini karena akan mengakibatkan hukum atau pandangan yang dihasilkannya bukan lahir dari dalil tersebut. Penggunaan dalil tafshîli di luar konteksnya, disebut syubhat ad-dalil saja tidak layak, apalagi disebut dalil. Karena itu, hukum atau pandangan yang dihasilkannya harus ditolak sebagai hukum dan pandangan syar’i. Karena itulah, konteks Sulh Hudaibiyyah tersebut harus dibaca, dipahami dan digunakan dengan cermat dan tepat, sesuai dengan manath-nya.
Secara faktual, perjanjian ini dilakukan oleh Nabi saw., enam tahun setelah Baginda hijrah ke Madinah, dan Negara Islam berdiri di sana.1 Pada titik ini, menurut Ibn Katsir, tidak ada ikhtilâf.2 Karena itu, dilihat dari segi manath-nya, penjanjian ini jelas dilakukan oleh Nabi saw. dalam kapasitasnya sebagai kepala Negara Islam dengan suku Quraisy, dalam posisinya sebagai negara kafir harbi fi’l[an], yaitu negara yang nyata-nyata memerangi Negara Islam.
Selain fakta di atas, sebagai kepala negara Nabi saw. melakukan sejumlah tindakan dan manuver di antaranya:
Pertama, mobilisasi pasukan sebelum berangkat ke Hudaibiyah. Saat itu Baginda Nabi saw. bukan saja memobilisasi kaum Anshar dan Muhajirin, tetapi juga kabilah-kabilan Arab Badui yang lain, sehingga jumlah mereka, sebagaimana catatan Ibn al-Atsir, mencapai 1300-1500 orang.3
Kedua, keputusan perang (harb) dan gencatan senjata (hudnah) yang diambil Nabi saw. pada saat meneken Sulh Hudaibiyyah ini adalah keputusan negara. Karena itu, konteks tindakan dan manuver Nabi saw. ini jelas dalam konteks negara, bukan konteks kelompok atau partai politik. Karena itu, menggunakan dalil tafshîli dalam kasus Sulh Hudaibiyyah untuk konteks partai atau kelompok jelas tidak relevan dan tidak tepat, karena manath-nya nyata-nyata berbeda.
Dengan demikian, partai atau kelompok Islam tidak bisa menggunakan dalil tafshîli dalam kasus ini untuk membenarkan tindakan atau menuvernya untuk membangun koalisi dengan partai atau kelompok sekular, baik untuk memerintah maupun menjadi oposisi. Mereka beralasan, misalnya, bahwa Nabi saw. pun, melalui Sulh Hudaibiyyah, pernah membentuk koalisi dengan Bani Khuza’ah, yang notabene kafir.4
Partai atau kelompok Islam juga tidak bisa menggunakan dalil tafshîli dalam kasus ini untuk membenarkan tindakan atau menuvernya untuk tidak mengusung syariah, karena Nabi saw. telah menghilangkan klausul-klausul penting, seperti: Bismillâhi ar-Rahmâni ar-Rahîm dan Muhammad Rasûlullâh diubah dengan dengan Bismika Allâhumma dan Muhammad ibn ‘Abdillâh, dengan alasan strategi politik.5
Mereka juga tidak bisa menggunakan dalil tafshîli dalam kasus ini untuk membenarkan kebohongan-kebohongan politik yang mereka lakukan, baik terhadap kawan, lawan maupun publik, dengan alasan Nabi saw. telah melakukannya, karena prinsip al-Habr Hid’ah (perang penuh tipu daya).6
Sebaliknya, Sulh Hudaibiyyah ini harus dilihat secara utuh sebagai strategi politik Nabi saw. yang brilian, dalam kapasitasnya sebagai kepala negara. Bahkan bisa dikatakan ini merupakan kunci kemenangan terbesar yang diberikan oleh Allah Swt.kepada Nabi saw. Meski secara kasatmata tindakan Nabi saw. ini awalnya dianggap merugikan kepentingan Islam dan kaum Muslim, akhirnya Allah justru membuktikan sebaliknya. Setelah peristiwa ini, Abu Bakar pun berkomentar:
Belum pernah Islam mendapatkan kemenangan, sebagaimana yang telah didapatkan melalui Sulh Hudaibiyyah. 7
Pelurusan
Lalu apa sebenarnya yang dilakukan oleh Nabi saw.? Apa motif dari tindakan dan manuver Baginda? Apa pula hasil yang diperoleh oleh Islam dan kaum Muslim setelah peristiwa ini? Pertanyaan-pertanyaan ini penting, agar kita bisa mendudukan peristiwa penting ini secara proporsional dan tepat.
Harus diakui, sejak Negara Islam berdiri di Madinah, kaum kafir memang tidak henti-hentinya berusaha menghancurkan negara yang baru berdiri itu, baik sendirian maupun dengan cara berkoalisi.8 Sebelum Sulh Hudaibiyyah ini terjadi, kaum kafir Quraisy di sebelah utara Madinah dan Yahudi Khaibar di sebelah selatan Madinah telah meratifikasi pakta militer. Jika ini dibiarkan, maka Negara Islam di Madinah posisinya akan benar-benar terancam, dan pada akhirnya bisa dihancurkan. Karena itu, pakta ini harus dihancurkan.
Untuk menghancurkan pakta militer ini, Nabi saw. sengaja tidak ingin berhadap-hadapan langsung, baik dengan kafir Quraisy maupun Yahudi Khaibar, dalam posisi ketika keduanya masih berkoalisi. Nabi saw. juga sengaja tidak menyerang Khaibar, meskipun posisinya lebih lemah, dibandingkan dengan suku Quraisy. Sebab, tindakan seperti ini sangat mudah dibaca musuh. Yang sulit dibaca musuh adalah ketika Nabi saw. memutuskan untuk umrah pada bulan Dzulqa’dah 6 H, tanpa membawa senjata, tetapi dengan jumlah rombongan yang sangat besar. Tujuan Nabi saw. yang sesungguhnya, sebagaimana yang tampak melalui statemen politik beliau, sebenarnya bukanlah umrah, melainkan untuk mendapatkan perjanjian damai tersebut.9
Akhirnya, perjanjian ini pun berhasil diraih oleh Nabi saw. Nabi saw. menugaskan Ali bin Abi Thalib sebagai penulis. Bersama Suhail bin Amr, wakil dari kafir Quraisy, Ali pun menulis titah Baginda Nabi saw. “Tulislah, Bismillâhirrahmânir-rahîm.” Suhail menyela, “Aku tidak mengenal kalimat ini, tetapi tulislah, Bismika-Llâhumma.” Ali pun menulisnya. Setelah itu, Baginda bersabda, “Tulislah, ini adalah naskah perjanjian yang telah disepakati oleh Muhammad utusan Allah dan Suhail bin Amr.” Suhail menyela, “Kalau aku bersaksi bahwa kamu adalah utusan Allah, pasti aku tidak akan memerangimu. Namun, tulislah nama ibu dan ayahmu.” Rasul pun bersabda, “Tulislah, ini adalah naskah perjanjian yang telah disepakati oleh Muhammad bin Abdillah dan Suhail bin Amr.”
Kedua belah pihak sepakat untuk tidak berperang selama 10 tahun. Sebab, masing-masing saling menahan diri satu sama lain. Siapa saja dari kalangan suku Quraisy yang datang kepada Muhammad saw. namun tidak mendapatkan izin dari walinya, ia harus dikembalikan kepada kaum Quraisy. Namun, siapa saja pengikut Muhammad saw. yang datang kepada kaum Quraisy tidak boleh dikembalikan.10
Perjanjian ini, baik dari segi redaksi maupun isinya, sama sekali tidak ada yang melanggar ketentuan syariah, apalagi merugikan kepentingan Islam dan kaum Muslim. Inilah yang ditunjukkan oleh Nabi saw. ketika para Sahabat, sebagaimana yang diwakili oleh Umar, memprotes tindakan Nabi saw. Saat itu dengan enteng Baginda menjawab:
Aku adalah hamba dan utusan-Nya; sekali-kali aku tidak akan menyalahi perintah-Nya. 11
Apa yang dianggap merugikan kepentingan Islam dan kaum Muslim oleh para Sahabat itu tidak lain karena mereka tidak tahu maksud tersembunyi di balik perjanjian tersebut. Mereka baru menyadari hal itu setelah turun surat al-Fath: 1-2 dan 27 dalam perjalanan dari Hudaibiyah ke Madinah. Tepat sekali, setelah itu, mereka bisa melihat hasilnya:
1. Kaum kafir Quraisy berhasil dikunci oleh Nabi saw. dengan perjanjian ini sehingga mereka tidak berkutik, apatah lagi membela kaum Yahudi Khaibar, ketika mereka diserang oleh Negara Islam. Dengan kata lain, Nabi saw. telah berhasil melumpuhkan pakta militer di antara keduanya.
2. Negara Islam berhasil meraih dukungan suku Khuza’ah, yang semula terikat dengan kaum kafir Quraisy. Ini tentu akan menjadi kekuatan tambahan bagi Negara Islam dalam menghadapi ancaman kafir Quraisy, bahkan bisa menjadi front pertahanan terdepan, apalagi posisi Khuza’ah yang sangat dekat dengan Makkah.
3. Dengan penghentian perang selama 10 tahun, dakwah Islam bisa disebarluaskan di tengah-tengah kaum kafir Quraisy dengan sebebas-bebasnya.
4. Kebijakan mengembalikan kalangan suku Quraisy yang datang ke Negara Islam justru bisa menjadi corong-corong Negara Islam yang efektif. Sebab, mereka bisa menyaksikan sendiri bagaimana Islam diterapkan di Madinah, lalu mereka bisa menceritakan pengalaman mereka kepada penduduk Makkah. Ini dikuatkan lagi dengan kebijakan tidak boleh memulangkan kaum Muslim yang datang ke Makkah. Dengan demikian, penyebaran dakwah Islam di Makkah bisa dilakukan secara simultan melalui dua arah, yaitu kaum Muslim yang menetap di sana, dan suku Quraisy yang terpaksa harus dikembalikan dari Madinah.
5. Bagi yang keberatan dikembalikan ke Makkah, karena keimanan dan loyalitasnya pada Islam, namun tidak boleh tinggal di Madinah, sebagaimana kasus Abu Basyir dan kelompoknya, mereka akan memilih tetap setiap pada Negara Islam. Abu Basyir dan kelompoknya inilah yang kemudian menteror dan menghambat jalur perdagangan kaum kafir Quraisy, sehingga menimbulkan kerugian materi yang sangat besar. Inilah yang mendorong mereka untuk membatalkan perjanjian tersebut.
Namun, ibarat nasi, semuanya telah menjadi bubur. Setelah semua tujuan dan target tersebut diraih oleh Nabi saw., meski perjanjian tersebut mereka batalkan sepihak, tetap saja kemenangan besar berpihak kepada Nabi saw. Kemenangan itu ditandai dengan penaklukkan kota Makkah pada tahun 8 H.
Jadi, dari mana kita bisa menyamakan tindakan Nabi saw. selaku kepala negara dengan tindakan kelompok atau partai, lalu menggunakan tindakan beliau dalam kasus Sulh Hudaibiyyah tersebut sebagai justifikasi untuk membenarkan tindakan berkoalisi dengan partai sekular? Sekali lagi, penggunaan dalil seperti ini jelas keliru, bahkan bisa dikatakan membajak dalil.
Na’ûdzubillâh!
Catatan Kaki:
1 Lihat, ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulk, Dar al-Fikr, Beirut, cet. I, 1987, III/212; Ibn Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah¸ Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut, cet. II, 1997, III/336; Ibn al-Atsir, Al-Kâmil fî at-Târîkh, Mu’assasah at-Tarikh al-‘Arabi, Beirut, cet. IV, 1994, I/582; Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Riyadh, cet. I, 2004, I/594; Ibn Khaldun, Al-‘Ibâr wa Dîwân al-Mubtada’ wa al-Khabar îi Ayyâmi al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Ashârahum min Dzawi as-Sulthân al-Akbar, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Riyadh, cet. I, t.t., hlm. 509.
2 Ibn Katsir, Ibid, I/594.
3 Ibn al-Atsir, Ibid, I/582.
4 Ibn Hisyam, Ibid, III/347; Rawwas Qal’ah Jie, Qirâ’ah Siyâsiyyah li as-Sîrah an-Nabawiyyah, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet. I, 1996, hlm. 219; Muhammad Khair Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl fî as-Siyâsah as-Syar’iyyah, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. II, 1996, III/1633.
5 Ibn Hisyam, Ibid, III/346.
6 HR al-Bukhari, Muslim, Ibn Hibban, at-Tirmidzi, al-Baihaqi, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad.
7 Lihat: Syit Mahmud Khatthab, Ar-Rasûl al-Qâ’id, Mansyurat Dar Maktabah al-Hayah, Beirut, t.t., hlm. 193.
8 Upaya kaum kafir untuk menghancurkan Negara Islam ini pernah dilakukan oleh kaum kafir Quraisy sendiri, sebagaimana dalam peristiwa Perang Badar, namun mereka kalah. Upaya yang sama kemudian juga mereka lakukan dengan berkoalisi, yang melibatkan kaum Yahudi dan munafik, sebagaimana peristiwa Perang Khandak.
9 Dalam statemennya, Nabi saw. menyatakan, “Alangkah celakanya kaum kafir Quraisy. Sungguh, peperangan telah membinasakannya. Kalau aku dan bangsa Arab yang lain sedang berkumpul, apa yang bisa mereka perbuat? Jika mereka bisa mengalahkanku, itulah yang sangat mereka harapkan. Jika Allah memenangkan aku atas mereka, mereka akan berbondong-bondong masuk Islam. Jika mereka tidak melakukannya maka perangilah mereka, meskipun mereka dalam kondisi yang kuat.” Lihat: Rawwas Qal’ah Jie, Ibid, hlm. 215.
10 Lihat: Rawwas Qal’ah Jie, Ibid, hlm. 215.
11 Ibn Hisyam, Ibid, III/346.
sumber
0 komentar for this post